10/02/2024

Menua Sedunia

Tersenyum saya melihat topik tantangan bulan ini. Setelah 3 kali gagal dan menyisakan tumpukan draft terbengkalai yang semakin tinggi pada dashboard blog saya, marilah kali ini kita mulai sejak hari pertama tantangan. Kalau sampai gagal submit lagi, ampun deh Rin. 


Tentu saja, cerita kali ini ditujukan untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Oktober 2024, berjudul Hari Tua. Ide tulisan kali ini lagi-lagi dari tempat kerja saya. Entah karena kerjaan saya se -absurd-menarik itu, atau karena saya sekudet itu, kerja melulu sampai-sampai tidak ada hal lain yang bisa diceritakan selain tentang pekerjaan. hahaha -ketawa miris sambil was was.

12 tahun berlalu, pekerjaan saya tidak jauh-jauh dari isu menjaga lingkungan. Bukan karena cinta almamater TL garis keras, tapi karena ya rejekinya disitu.hehehe. Merupakan pengalaman yang tidak biasa ketika 4 bulan ini saya tiba-tiba tercemplung ke dalam topik Jaminan Sosial. Jamkes, Jamket, JKP, JHT, je je je je terbata-bata saya mengingat semua singkatan itu karena selama ini berbicara jaminan sosial yang ada di kepala saya hanya jamsostek. Hahahaha. Sekarang jadi BPJS, dan ternyata di dalamnya ada segambreng program pemerintah. Sebetulnya, banyak sekali jaminan sosial yang digelontorkan pemerintah. Baru tau :)

Konferensi bikin tua?

Belum selesai mencerna je je je tadi, saya terseret dalam koordinasi persiapan Ageing Conference. Bloon total soal ini, saya berguman dalam hati, apakah saya salah dengar. Ageing conference? Konferensi penuaan? Apakah pemerintah juga menyediakan jaminan sosial skin care untuk menghilangkan flek ageing? Atau ini konferensi untuk kakek nenek berkumpul? Atau bisa juga, konferensi yang membuat pesertanya mendadak tua setelah keluar dari ruangan?

Ageing conference
Sumber: https://baliconventioncenter.com/

Sungguh malu dengan kekudetan saya, ternyata ageing, alias penuaan ini, menjadi isu global yang hangat. Fokusnya adalah untuk memikirkan bagaimana nasib negara-negara yang laju kelahirannya menurun, sehingga akan tiba masanya negara itu berisi orang-orang tua. Indonesia sendiri diprediksi akan diisi 25% populasi tua di tahun 2026. 

Usia 60 atau lebih selama ini hanya dilihat sebagai kelompok dengan produktivitas yang menurun, dan butuh pertolongan dari orang lain. Intinya, menjadi beban bagi kelompok usia lainnya. Masih cukup jauh dari hari tua, tapi belum apa-apa saya sudah sedih memikirkannya. 

Apakah menyerah dengan hari tua?

Sungguh konferensi ini adalah refleksi diri. Hari tua sudah pasti datangnya. Tapi ternyata ada cara-cara yang katanya bisa meningkatkan kualitas hari tua kita. Aktif berkomunitas adalah salah satu caranya. Konon katanya, orang tua bisa tetap produktif bila aktif berperan dalam komunitas. Bukan hanya mengikuti arus, tetapi komunitas tersebut berjalan dengan memikirkan kebutuhan elderly. Dengan memberikan ruang dan kesempatan, beberapa komunitas bahkan menjadi maju setelah dipimpin oleh anggota mereka yang sepuh. Wah!

Cara lainnya adalah dengan intergenerational sharing alias ngobrol, mah! Berkomunitas saja sudah baik, tapi kalau mau lebih ajaib lagi, banyak-banyak lah ngobrol dengan lintas generasi. Jadi ingat kembali film Live to 100: Secret of the Blue Zone yang saat itu direkomendasikan Mamah May. Ternyata bukan hanya di blue zone, mengobrol dengan anak-anak muda menjadi cara yang globally proven untuk meningkatkan kualitas hari tua. 

Mengobrol lintas generasi untuk menolak tua
Sumber: https://faithachiaa.com/

Bukan hanya untuk mencegah pikun, ternyata ngobrol lintas generasi ini dianggap bisa membantu ketahanan terhadap perubahan iklim dan adaptasi teknologi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ngobrol menjadi sesuatu yang berfaedah bahkan didorong. Konon katanya, melalui obrolan ini, yang sepuh bisa menceritakan pengalaman bertahan di masa lalu dengan wisdom yang seringkali anak muda tidak ketahui. Sebaliknya, anak muda juga bisa berbagi cara-cara mereka untuk bertahan dalam kehidupan yang semakin menantang saat ini, terlebih dalam hal bagaimana mereka menggunakan teknologi. Inspirasi bisa didapat oleh kedua belah pihak. Menjadi refleksi bagi saya yang menuju tua, jangan malu mendengar dari anak-anak yang lebih muda.

Kembali ke realita

Lepas dari mengurusi seantero dunia yang sedang memikirkan hari tuanya, suatu hari saya duduk bersama teman kantor saya, menunggu kereta kembali ke Jakarta. Duduk sekitar 2,5 jam di foodstall stasiun KCIC karena salah perhitungan jam, dengan latar belakang matahari senja yang cerah. Entah terbawa suasana atau memang ya mencari topik obrolan saja, tiba-tiba teman saya bergumam tentang hari tuanya. Beliau sekitar 15 tahun lebih tua dari saya dan sudah berkeluarga. "Nanti saat tua diurus siapa" adalah isu yang berputar dalam benaknya. 

"Kamu sih ada anak, Rin," 

"Yah ada anak juga nggak menjamin ada yang ngurus 24 jam," saya menimpali, teringat kembali bagaimana kedua orang tua saya melewatkan hari-hari terakhirnya.

"Iya sih," sepertinya kali ini gantian beliau yang teringat orang tua yang saat ini masih ada.

Obrolan lantas berlanjut ke senior living care alias "panti jompo" modern yang saat ini mulai muncul di Indonesia. Bukan panti yang sesungguhnya tapi lebih ke rumah full service. Saya sendiri belum terbayang seperti apa bentuknya, tapi memang kalau curi-curi intip dokumen pemerintah sih, konon katanya akan ada kota-kota pusat pertumbuhan, yang fokusnya menjadi retirement city. Kota pensiun, salah satunya Batam. Mungkin rumah full service tadi ada di kota semacam ini. Biayanya sekitar 12-15 juta rupiah per bulan. 

"Semahal itu, udah pensiun gimana cara bayarnya coba, Rin?" terlihat raut wajah teman saya yang seperti memikirkan apakah harus mulai puasa setiap hari untuk berhemat hingga bisa menyisakan 15 juta per bulan hingga meninggal dunia. 

Padahal pada level beliau, seharusnya ya enggak segitunya sih😂.

Memikirkan senja
Sumber: kompasiana.com


Di kesempatan lainnya, saat break acara pelatihan, 2 teman saya membicarakan topik ini juga. Bagaimana mereka gelisah memikirkan hari tua. Yang satu lebih slow santai aja, mungkin karena masih sibuk memikirkan putra putri-nya, alih-alih sudah bisa konsentrasi memikirkan hari tua. Yang satu lagi, kebetulan belum berkeluarga. Mereka berdua membahas peluang hidup orang Indonesia yang saat ini rata-rata ada di usia maksimal 60-65 tahun. Saya cuma angguk-angguk khusyuk mendengarkan. Mereka berdua ini memang berkecimpung dengan isu sosial di pekerjaannya, jadi lumayan bisa dipercaya lah, pikir saya.

Obrolan makin hangat ketika mereka berhitung kebutuhan biaya untuk hidup hingga usia 65 tahun. Hidup saja mungkin tidak menjadi masalah. Tapi pertanyaannya, berapa yang dibutuhkan kalau tidak ingin mengurangi kualitas hidup setelah pensiun?

Mereka komat kamit sambil ketak ketik kalkulator. Es kelapa di mulut saya hampir tersembur, keselek, mendengar teman saya tiba-tiba berteriak dengan suara menggelegar, UMUR SUDAH SEGINI KEK MANA MAU NGUMPULIN EMPAT MILIAR BUAT HIDUP SAMPAI UMUR 65. MASA HARUS JADI ANI-ANI?!

Memikirkan diri sendiri

Senyam-senyum saya mengingat kembali obrolan dengan teman kantor. Tidak berapa lama sebelum itu, saya dan suami adu argumen cukup panjang, tentang bagaimana kami harus mulai menyiapkan hari tua. Tentang mau dimana, dengan siapa, dan tentunya berapa uangnya. 

Pengetahuan minim saya menggiring ke pikiran sederhana. Intinya, tidak mau merepotkan anak-anak. Yang penting, kapan pun ingin mengunjungi mereka saya bisa melakukannya. Suami saya yang lebih futuristik sudah memikirkan banyak angan. Tinggal di desa dengan kolam ikan dan air mancur mengalir kricik kricik adalah salah satu tujuan hidupnya yang hakiki. Keinginan lainnya adalah bisa set up ruangan game dan menghabiskan waktu main game - sesuatu yang sangat mewah untuk dilakukan sekarang. Mengingat, baru 5 menit menghilang minum teh saja sudah ada yang teriak Babaaaaa... baba dimanaaaa??? 😂

Menutup dengan kembali lagi ke bumi

Perdebatan antara saya dan suami semakin memanas ketika memikirkan berapa banyak yang harus kami tabung hari ini untuk mempersiapkan kondisi pensiun yang kami harapkan. Kepala realistis saya penuh sanggahan seperti apakah di desa ada internet yang bagus untuk main game? apakah kita bisa rajin menyapu halaman dan membersihkan rumah karena sepertinya untuk menjadi orang desa idealnya harus rajin bekerja. Yang sudah pasti, hidup di desa akan minim bantuan seperti mamang gojek, eceu goclean, atau penyedia jasa lainnya. Sebaliknya, kepala pragmatis suami saya mengatakan, ya intinya harus menabung sebanyak-banyaknya agar tidak gelisah dan punya pilihan yang lebih luas. Harus merencanakan sebaik-baiknya agar tidak was-was dan zonk di akhir. 

Pusing sekali memikirkan hari tua setelah pensiun ini. Padahal ketika mencoba membahas topik ini dengan kakak saya, dia cuma tanya: 

"Orang tua kita meninggal umur berapa?"
            
"58 dan 60."

"Sudah pensiun?"

"Belum."

"Nah, ya udah."

-selesai-

9/24/2024

Zero Waste, cerita dari sisi lainnya

Maju mundur memikirkan apakah akan ikut Zero Waste Blog Challenge adalah salah satu aktivitas penting saya sebulan ini. Memang sungguh kurang berfaedah, kenapa nggak langsung nulis aja, Rin😂. Mengetahui bahwa batas pengumpulan tantangan mundur, marilah kita bulatkan tekad untuk maju.. maju ikut tantangan maksudnya, hehehe. Kita coba dulu ya mah, semoga sukses.

Zero waste adalah istilah yang sering sekali berseliweran di kepala saya. Entah dari teks yang saya baca, dari mendengarkan orang lain berbicara, atau dari mulut saya yang sedang bekerja memberikan ceramah saran. Saking seringnya lewat, sampai terkadang saya bingung sendiri zero waste iki opo tho yo jane- zero waste itu apa sih sebetulnya ?


Ketika kantor ikut mengatur

Masih terseok-seok belajar dan gagap mendengar kata zero waste, apalagi untuk menerapkannya di rumah, sekitar 9 tahun yang lalu, tempat saya bekerja sudah mulai menerapkan aturan pengurangan penggunaan kemasan plastik. Salah satu cara yang paling didorong adalah dengan melarang penggunaan air mineral dalam kemasan botol plastik sekali pakai saat kami mengadakan acara.

Kantor saya biasa mengadakan acara di berbagai tempat, mayoritas dengan menyewa ruang pertemuan di hotel, atau meminjam ruang pertemuan di kantor-kantor pemerintahan. Saat itu, isu pengurangan sampah belum sehangat sekarang. Beberapa hotel dengan jaringan internasional sudah melek dengan isu ini, jadi ketika kami meminta penyajian air minum dengan gelas dan teko atau dispenser, meskipun belum terbiasa, mereka bisa memenuhi permintaan kami. Beda cerita dan sungguh jadi tantangan ketika harus menyelenggarakan acara di hotel minim bintang atau hotel di luar Jakarta. Saat itu, permintaan kami biasanya ditanggapi dengan tatapan tercengang.

Ketika kami bilang tidak boleh pakai air mineral dalam kemasan sekali pakai

sumber: MakeAMeme.org

Tatapan ini bisa berakhir dengan beberapa skenario. Pertama, JJP alias Janji Janji Palsu. Di depan bilang iya, di belakang botol plastik masih muncul juga dalam acara. Kedua, JJBB alias Janji Janji tapi Bisanya Begini. Gelas-gelas dan teko yang jarang dipakai muncul di permukaan. Dispenser yang entah diambil dari mana terpasang di ruang pertemuan. Kalau sudah begini, bersiap untuk puasa minum karena setelah melewati peralatan-peralatan jarang dipakai ini, air minum biasanya beraroma agak aneh. Atau pilihan lainnya ya tetap minum, dengan memanfaatkan previllage sebagai bangsa Indonesia: kebal makan minum tidak higienis😂. 

Skenario ketiga yang berakhir bahagia. Hotel dapat menyajikan dengan baik permintaan kami, entah hasil meminjam gelas hotel lain atau mungkin dari rumah salah satu pegawainya, kami tutup mata. Yang jelas, hotel-hotel dengan hasil yang ketiga ini akan masuk daftar hotel recommended untuk didatangi lagi.

Zero waste dari hati

Masih dalam rangka mengikuti peraturan dari kantor, tantangan makin meningkat ketika lokasi acara bukan di hotel. Melainkan di kantor pemerintahan. Untuk beberapa instansi yang terdepan dalam prestasi, isu minim sampah ini sudah mulai terinternalisasi. Meskipun masih on off, paling tidak mereka sudah siap dengan segala umbo rampe perlengkapannya. Gawatnya, banyak juga lembaga yang berprinsip hidup yang biasa-biasa, low profile saja. Nah, kalau sudah begini, berarti siap-siap dakwah zero waste harus benar-benar keluar dari hati. 

Bukan hanya "menasehati" tetapi biasanya kerja dengan hati itu artinya saya ikut terjun mengerjakan bersama. Kejadian paling epic adalah ketika tiba-tiba saya jadi tukang inventori di suatu kantor pemerintahan. Bukan, bukan karena saya ahli pendataan dokumen atau semacamnya. Saya mendadak bikin daftar inventori untuk memuluskan kebijakan kantor saya, mengadakan pertemuan minim sampah. Iya, saya mendadak sibuk ikut menghitung jumlah gelas, piring saji, dan teko yang ada di kantor itu.  Masih mending kalau gelas piringnya sudah ditumpuk dan tinggal dihitung saja. Yang ini harus buka-buka lemari. Mana bukan di kantor sendiri, saya kodok-kodok sudut berdebu, dan tiap menemukan piring atau gelas rasanya seperti emas. 

Yah, kalau kata para ahli mah, ini semacam pemetaan kondisi eksisting untuk mengetahui kapital atau modal sebelum menerapkan skenario kebijakan, agar rekomendasi kebijakannya applicable.😂   

Kreativitas yang Teruji

Senang sekali ketika akhirnya isu pengurangan sampah ini menjadi hangat dibicarakan. Tidak ada lagi tatapan are you crazy ketika memberikan saran untuk menghindari kemasan botol plastik sekali pakai. Lebih dari itu, mengadakan pertemuan, terutama yang berlokasi di gedung pemerintahan, sempat menjadi hal yang saya tunggu-tunggu. Bukan selain karena konten-nya, saya menunggu-nunggu sajian apa yang mereka hidangkan. 

Ubi, singkong, dan jagung rebus tersaji di atas piring rotan beralas daun pisang. Mereka naik pangkat jadi hidangan mewah di atas meja pertemuan. Di hari lainnya muncul buah potong yang tersaji di dalam mangkok keramik cantik. Aneka kue jajan pasar, dihidangkan dengan manis dalam piring-piring kecil. Lebih hebatnya lagi, mereka menggunakan alternatif pembungkus daun untuk beberapa kue yang biasanya saya lihat terbalut plastik. Selama ini saya hanya tahu daun pisang yang bisa digunakan untuk kemasan berbagai kue. Ternyata ada banyak daun lainnya yang bisa digunakan. Daun kelapa dan daun kunyit salah satunya. Tidak hanya cantik tetapi aroma kue jadi haruuuum.
Dengan asumsi sampah organik lebih mudah terurai dari sampah plastik, boleh lah upaya-upaya ini kita acungi jempol👍    

Beyond expected result

Ternyata kreativitas yang muncul akibat semangat zero waste belum berhenti pada isian piring saji. Ide lainnya muncul saat saya berkesempatan mengunjungi lokasi pilot di luar Jakarta, yang kegiatan utamanya adalah meningkatkan kesadaran anak-anak usia sekolah terkait isu kelestarian lingkungan. 

Bekerjasama dengan pemerintah daerah dan pengelola sekolah, tadinya saya hanya berekspektasi menjumpai deretan piring dan botol minum yang disediakan oleh sekolah, atau dibawa dari rumah oleh para siswa. Untuk makan siang, biar tidak banyak sampah kardus, mungkin caranya akan seperti sistem makan siang di pabrik, atau di penjara ala film Peddington 2. Maksudnya, yang mau makan antri membawa piring, dan makanan disendokkan ke piring oleh petugas. Rasanya langsung kurang selera makan membayangkan kondisi ini. Memang kadang perkara mengurangi sampah ini jadinya tarik ulur dengan hygiene. Tapi demi perintah kantor zero waste, ya sudahlah mau bagaimana lagi. 

Saat yang dinantikan tiba, apalagi kalau bukan waktu istirahat makan siang. Bersiap antri sambil membawa nampan, saya terbelalak melihat tumpukan nasi kotak yang disajikan oleh pihak sekolah. Tidak kotak sempurna, karena wadahnya terbuat dari besek. Isinya nasi, pepes telur asin dengan lembaran daun kemangi, nasi liwet, ayam goreng kampung, sambal, serta potongan lalap dan buah. Semua tertata dalam besek beralas daun pisang. Bukan hanya layak, tetapi memikat.

Lebih hebohnya lagi, besek-besek ini dikumpulkan setelah makan, dicuci, dan dijemur di terik matahari sampai kering kerontang. Jadilah seperti besek baru, bisa digunakan lagi dalam acara di hari lainnya. Kalau sudah begini rasanya acara peningkatan kesadaran ini mencapai ultimate outcome-nya. Penduduk sekolah belajar menjaga lingkungan bukan hanya dari teori-teori di tayangan power point, tetapi juga praktek langsung. 

Salah kaprah

Masalahnya, kisah zero waste tidak selalu berakhir bahagia seperti kebanyakan cerita dongeng. Seperti yang banyak terjadi di Indonesia, terkadang kita latah mengikuti trend tanpa tahu apa maksud dan tujuannya. Bukan hanya untuk yang viral, tetapi mengikuti regulasi juga ternyata bisa salah kaprah bila tidak paham betul apa maksudnya. 

Masih di kota yang sama tetapi dalam kesempatan yang berbeda, kami berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk menyelenggarakan pertemuan, yang seperti biasa harus minim sampah. 

Hari pertemuan tiba, kotak kertas berisi cemilan terhidang, dengan satu kotak teh kemasan UHT di sampingnya. Dibagikan ke setiap orang di dalam ruang pertemuan, saya pikir minuman manis ini terhitung sebagai cemilan. Berniat melihat ada kue menarik apa hari itu, saya membuka kotak kue, dan mendapati satu lagi minuman teh dengan kemasan UHT di dalamnya. Tiba waktu makan siang, tak sabar lagi saya menghampiri rekan saya yang menangani langsung perkara makanan-minuman ini.

Teman saya yang nyengir kuda melihat saya datang dengan alis naik sebelah, langsung sigap menyodorkan kota nasi untuk makan siang sambil memberikan klarifikasi. 

    "Mbak, mereka nggak ada dispenser yang bisa dibawa ke ruangan ini. Kita kan tidak mau pakai botol plastik, jadi mereka ganti dengan minuman kemasan UHT".
    
    "Lalu, karena khawatir kurang, mereka beli 3 kotak untuk masing-masing orang".

Saya lantas membuka kotak nasi, dan mendapati 1 lagi kemasan UHT. Kali ini minuman sari bau buah #tepok jidat.   

Menelan ludah karena tahu betul belum ada pengolahan kemasan multi-layer UHT di Indonesia. Sementara, yang namanya pabrik plastik daur ulang itu bisa ditemukan dimana-mana. Yang lebih gawat, zero waste yang diterapkan dengan salah kaprah ternyata bisa berasosiasi dengan meningkatnya resiko diabetes di Indonesia😂. 

Bisa karena terbiasa

Berawal dari tuntutan pekerjaan, lama-lama menjadi beban moril sendiri. Walk the talk, begitu kata teman kantor saya yang suaranya menggema di kepala setiap saya sibuk nyeramahin orang tentang pengelolaan sampah, tetapi ingat di rumah sendiri juga masih acak adut. Botol minum dan tas belanja menjadi barang wajib di tas saya. Kalau tidak ada dua barang ini rasanya seperti kurang lengkap saja. 
Tumbler dan tas belanja, penenang hati di saat pergi

Motifnya sederhana. Kalau haus, dimanapun tinggal buka botol dan minum. Kalau belanja, tidak repot bawa barang belanjaan karena mayoritas toko/supermarket di Jabodetabek saat ini tidak lagi menyediakan kantong belanja sekali pakai. Motif lainnya tentu saja kesukaan mamah-mamah, yaitu masalah ekonomis. Daripada beli air mineral, lebih baik bawa air dari rumah. Daripada beli paper bag atau tas belanja spunbond, lebih baik bawa tas belanja sendiri.     

Penutup

Zero waste bisa hadir dalam berbagai sudut pandang. Ada yang terlihat melalui aksi-aksi nyata dengan dampak langsung mengurangi sampah, ada pula yang terbalut dalam upaya tidak langsung mengurangi sampah. Semoga cerita yang saya bagikan kali ini cukup menghibur dan mendorong kita untuk mendukung zero waste.