12/22/2021

Perjalanan Menyambut Anak Kicik bagian Pertama

 Melahirkan anak pasti menjadi momen tak terlupakan bagi setiap ibu. Perasaan bahagia, haru, sedih, was-was, pasti ada. Takut? bukan lagi, jangan ditanya. Campur aduk, begitu kira-kira rasanya. Untuk saya, salah satu hal pertama yang perlu dipikirkan begitu tahu sedang hamil adalah: akan kontrol dengan dokter siapa dan dimana? Setelah tertunda 5 tahun cukup lama, akhirnya tergerak juga untuk menuliskan pengalaman melahirkan anak pertama ini sebagai catatan. Sebagai kenang-kenangan untuk saya, dan tentunya bisa menjadi informasi untuk siapapun yang membutuhkan.

dr. Aswin Sastro Wardoyo di RS Puri Cinere

Saya tinggal di daerah Jakarta Selatan pada kehamilan anak pertama di tahun 2016. Berdasarkan rekomendasi dari sepupu, saya memutuskan untuk kontrol ke dokter Aswin di RS Puri Cinere. Untuk saya yang baru pertama kali datang ke rumah sakit di Jakarta, cukup menyenangkan datang ke rumah sakit ini. Tidak terlalu besar, bersih, mekanisme administrasi sederhana dan cukup cepat.

Antrian pendek, cukup menunggu 15 menit, nama saya dipanggil oleh perawat. Masuk ke dalam ruang dokter rasanya deg-degan. Berhubung baru pertama kali ke obgyn, bingung juga harus ngomong apa. Apalagi sudah dapat doktrin dari sepupu saya yang heboh menceritakan dokter Aswin ini gitaris dan suara beliau ketika bilang: "Selamat ya Ibu.. positif hamil" akan terdengar sangat merdu dan membuat kita melayang. Ketika masuk ruang dokter, saya menjumpai dokter sepuh-yang memang tetap ganteng sih meskipun sepuh- dan sangaaaaaat lembut. No wonder dokter Aswin cukup jadi favorit ibu-ibu hamil yang rata-rata perlu seseorang yang menenangkan-dan ganteng? #eh 

Sayangnya, ketika kontrol pertama, layar USG baru menunjukkan titik, jadi perlu periksa ulang 2 minggu lagi untuk memastikan titik itu adalah kantong berjanin, atau kantong kosong. Jadi, mohon maaf saya nggak bisa cerita apakah suara beliau ketika mengucapkan selamat di pertemuan pertama itu benar-benar membuat melayang atau tidak.hahaha



dr. Aswin-mungkin banyak ibu-ibu terpikat karena membayangkan proses melahirkan yang mules itu ditemani konser gitar. 
sumber:    https://singolion.wordpress.com/2013/11/24/ngayogjazz-2013-rukun-agawe-jazz-jazz-agawe-rukun/


Pindah ke RSPI Pondok Indah

Karena dapat value dari orang tua bahwa melahirkan itu urusan hidup dan mati, saya selalu ingin memastikan rumah sakit tempat saya melahirkan menyediakan ICU dan NICU untuk keadaan-keadaan kritis tidak terduga. Karena alasan inilah saya pindah ke RSPI Pondok Indah. Selain fasilitas, tentunya juga dengan pertimbangan disana murah ada dokter Aswin yang praktik di akhir pekan. ICU, NICU, dokter Aswin, dan akhir pekan. Tidak perlu drama bolak balik izin kantor setiap mau kontrol. Cocok sudah!

Satu hal yang saya suka dari RSPI Pondok Indah adalah mereka menerapkan shift antrian per 30 menit. Jadi, seramai apapun pasiennya, rata-rata saya hanya perlu menunggu 30 menit saja untuk bertemu opa obgyn kesayangan. Selain itu, ada kasir dan farmasi khusus di poli obgyn, jadi ibu hamil  tidak perlu was-was harus berkumpul dengan pasien-pasien poli penyakit lainnya.

Bisa dikatakan, dokter Aswin cukup detail dalam memeriksa kondisi ibu dan janin. Sesi pemeriksaan dengan USG cukup panjang dan santai tidak terburu-buru. USG 3G dan 4G di ruangan juga  diperlihatkan for free karena yang muncul di tagihan hanya USG 2D. Diluar itu  dokter Aswin sangat cocok bagi ibu-ibu yang ingin menjalani kehamilan dengan perasaan santai kayak di pantai. Beliau tipikal dokter yang tidak over treatment

"Kalau tidak ada masalah, kenapa harus was-was? Ibu sehat, janin baik. Yang lain tidak usah terlalu dicemaskan. Cukup minum folavit saja ya buuu". Saya yang sedang sibuk membayangkan nonton konser musik pun angguk-angguk manut saja. 

Nah, sebaliknya, menurut saya dokter Aswin kurang cocok bagi ibu-ibu yang perlu perhatian extra semacam kontrol kenaikan berat badan. Menurut dokter Aswin, selama kenaikan masih wajar dan janin berkembang dengan baik, bebaskeeuuuun. Apalagi duet maut dengan kantin RSPI yang makanannya entah mengapa layaknya tempat wisata kuliner-menarik dan enak semua. Buyaaar sudah buyaaar masalah berat badan ideal.

Mengungsi ke RS Telogorejo atau Semarang Medical Center (SMC)

8 bulan berjalan, kehamilan saya baik-baik saja. Namun, dengan pertimbangan kehebohan melahirkan anak pertama, saya dan suami memutuskan untuk pindah sementara ke Semarang, kota tempat tinggal orang tua saya. Apalagi dalam kondisi suami terkena lay-off alias PHK tepat ketika kehamilan saya memasuki bulan ke-9. Suami pengangguran tidak perlu ke kantor, dan saya sudah mulai cuti melahirkan. Tidak ada alasan lagi untuk stay di Jakarta.

Sama seperti pencarian rumah sakit di Jakarta, saya fokus kepada ICU dan NICU. Bukannya berfikiran negatif yaa, hanya preventif saja, dan persiapan preventif ini membuat saya lebih tenang. 

Rumah Sakit Telogorejo selalu menjadi andalan keluarga saya sejak dulu. Fasilitasnya lengkap dan pelayanannya bagus. Tempat saya dirawat ketika terserang demam berdarah saat kelas 2 SD, dan tempat bapak saya selamat mendapat pertolongan sigap saat serangan stroke. Well, tempat bapak saya menghebuskan nafas terakhir juga sih tapi di moment ini pun saya tetap merasa rumah sakit ini adalah opsi terbaik di Semarang untuk keadaan gawat darurat.

Kesan menyenangkan saya dapat ketika melahirkan anak pertama di rumah sakit ini. Kamar menginap yang bersih, perawat yang sigap membantu, ramah, dan cekatan. Apalagi setelah berkutat dengan daftar harga kamar dan paket melahirkan di RSPI Pondok Indah (yang saya sendiri tidak terbayang bagaimana cara bayarnya, hahaha), tentunya melihat perkiraan biaya melahirkan di rumah sakit ini cukup melegakan. Dengan tujuan menghibur bapak dan ibu saya yang excited luar biasa menyambut cucu pertama, saya memilih kamar VIP B dengan extra bed yang lebarnya sama dengan kasur double di hotel. Jadilah, moment menunggu cucu lahir lebih mirip stay cation bagi suami, bapak, dan ibu saya.  Semua senang! 

Saat akan masuk ruang operasi dan ketika akan membawa bayi pulang, petugas keamanan berjaga di sepanjang lorong rumah sakit dan lift untuk clearing. Memastikan perjalanan saya (yang hanya dari 1 ruangan ke ruangan lainnya) kala itu bebas lancar tanpa hambatan.  Selepas operasi, begitu masuk ke kamar saya disambut tumpeng mini sebagai ucapan selamat menyambut kedatangan buah hati ke dunia. Beberapa gimmick kecil yang membuat saya cukup gembira kala itu. 

Terlepas dari harga, kebersihan, pelayanan yang memuaskan, saya rasa SMC perlu meningkatkan prosedur operasional terkait menyusui dan edukasi lainnya untuk ibu. Di rumah sakit itu, karena operasi, saya tidak bisa melakukan IMD. Selain itu, tidak terlalu banyak informasi yang saya terima terkait menggendong bayi, menyusui, memandikan, dan lainnya. Untuk saya yang baru pertama punya anak, akan lebih menyenangkan bila rumah sakit bisa menyediakan informasi tersebut.

dr. Besari Adi

Karena sudah menentukan pilihan rumah sakit, saya mengerucutkan daftar "belanja" obgyn pada dokter-dokter yang pratik di SMC. Pilihan saya jatuh kepada dokter Besari Adi. Alasan utama saat itu hanya karena sejauh googling, saya tidak menemukan review negatif tentang dokter ini. Cukup dengan tidak ada review negatif, karena ternyata sesulit itu menemukan review obgyn di Semarang. Kontrol pertama, tidak jauh dari kesan yang saya tangkap dari dokter Aswin. Dokter Besari Adi ini lembuuuuuuttt dan tenaaaaaaang sekali. 

dr. Besari Adi Pramono- lembut dan menenangkan jiwa
sumber: https://www.alodokter.com/cari-dokter/dr-besari-adi-pramono-sp-og-msi-med


Hasil pemeriksaan di pertemuan pertama menunjukkan tensi saya tinggi. Melejit ke 170/120, padahal 8 bulan sebelumnya normal. Dokter Besari, dengan sangat tenang menjelaskan kepada saya yang panik, bahwa kondisi ini bukan harga mati untuk suatu tindakan operasi c-section. "Masih bisa kita usahakan normal. Usia kandungan Ibu 39 minggu, ukuran janin sudah cukup aman untuk dilahirkan. Karena jalan lahirnya masih kaku sekali dan tanda-tanda lahir belum ada, kita akan coba induksi. Bila merespon dengan baik, kita lanjutkan dengan proses melahirkan alami. Selain itu, kita bicarakan nanti ya bu..". Beliau mengambil kertas dan menggambarkan mekanisme pemilihan prosedur sederhana yang akan saya jalani. Pertama adalah cek laboratorium untuk mendeteksi gejala eclampsia. Setelah hasilnya keluar dan negatif, dokter Besari kembali berbicara kepada saya. Ibu, saya menyarankan Ibu untuk mondok malam ini. Tapi kalau Ibu punya pemikiran lain yaa tidak apa-apa kita tunggu.  

Suami saya yang sudah rungsing makin sakit kepala dihadapkan pada statement dokter yang sangat njawani. Akhirnya, kami mencari second opinion terkait tensi. Barangkali tensimeter di rumah sakit itu eror. Datanglah kami dokter umum kenalan orang tua yang  begitu selesai cek tensi langsung teriak-teriak panik: NGAPAIN KAMU MASIH DISINI?? GA TAKUT MATI?? HARUS KE RUMAH SAKIT SEKARANG JUGA!!! alamak

Belakangan, setelah masuk IGD dan  masih bisa scrolling internet, saya baru menyadari bahwa eclampsia, yang ciri utamanya adalah tensi tinggi dan kaki bengkak, se-berbahaya itu. Saya bisa kejang kapan saja, mengancam keselamatan janin dan saya tentunya. alhasil karena kebanyakan googling saya tidak bisa tidur dan begitu dokter Besari datang ke UGD saya langsung teriak heboh: dokter, saya nggak kejang kan, saya nggak kejang?

Dokter Besari dengan senyum bijaksananya itu hanya menjawab: Ibu saat ini tidak kejang. Sudah saya kasih obat anti kejang juga, Bu. Jadi tenang saja. Ibu tidur saja ya, istirahat.

Dipikir-pikir, dokter Besari pasti setengah mati menahan ketawa menghadapi ibu-ibu yang sudah tidak jalan lagi logikanya. kalau sedang kejang mana bisa ngajak ngomong dokter.

Selepas dari IGD, masuk kamar perawatan, saya mendapat injeksi induksi. Tidak seperti cerita kebanyakan orang yang merasakan sakit luar biasa, kala itu saya tidak merasakan apapun dan malah tidur dengan sangat nyenyak ketika diinduksi. Well, itu bukan pertanda baik. Ternyata, tidak ada rasa sakit menunjukkan badan saya tidak merespon terhadap induksi. Ketika batas waktu tunggu reaksi induksi sudah habis, dokter Besari masuk ke dalam ruangan dan menjelaskan bahwa saya harus menempuh prosedur operasi. Seketika juga saya menangis. Tentunya karena perasaan campur aduk tidak berhasil melahirkan normal, dan karena saya akan punya anak dalam waktu kurang dari 1 jam kedepan, insya Allah.

Saya menangis diatas tempat tidur yang membawa saya ke ruang operasi. tanpa ditemani suami saya yang harus pergi ke bagian administrasi mengurus segala keperluan operasi. Dokter Besari berjalan di samping saya, sambil berusaha menenangkan. Sampai di ruang operasi, dokter Besari berdiri di samping saya ketika prosedur injeksi anestesi di tulang punggung-yang terkenal sakit itu- berlangsung, memastikan pasiennya yang panik dan takut akut ini merasa lebih baik.

Proses operasi berjalan lancar, dan anak pertama saya lahir ke dunia dengan selamat dan sehat. Alhamdulillah, fasilitas preventif pun tidak perlu digunakan. Saya pulih dengan cukup cepat dan tidak ada masalah pada luka jahitan operasi. Saya tidak merasakan kesakitan pasca c-section seperti yang banyak orang ceritakan. Seminggu setelah operasi, saat tiba kontrol lepas perban. Jahitan sudah kering dan saya bisa beraktivitas kembali secara normal. terima kasih dok!

Penutup

Tentunya pilihan melahirkan dimana, dengan siapa, dan bagaimana mekanismenya akan sangat bergantung kepada masing-masing orang dan rejekinya ada dimana. Saya salut pada setiap orang yang bisa melahirkan secara normal dengan sederhana, di rumah, atau cukup ditemani oleh bidan tanpa kehebohan mencari rumah sakit. Bagaimanapun jalannya, untuk saya, bisa melahirkan dengan sehat, selamat, dan bahagia adalah yang utama. Saya bersyukur karena mendapatkan itu semua. 
   

12/06/2021

Kenang-kenangan 2021 yang akan berlalu

Wah, sudah Desember (lagi)! Memasuki bulan ke-12 di setiap tahun selalu membuat ingatan saya berputar kembali. Suka, duka, saya sudah melakukan apa saja ya satu tahun ini. Menerawang jauh, saya jadi geli sendiriDulu, saya suka iseng buka tabloid Nova yang cukup sering dibeli ibu saya dari agen koran di dekat rumah. Padahal, ibu juga langganan Intisari -yang informasinya jelas-jelas lebih berfaedah- tapi setiap awal bulan atau menjelang tahun baru, tabloid Nova ini lah yang menarik untuk saya. Tidak seperti ibu-ibu yang membeli tabloid Nova untuk mengetahui gossip terkini, saya yang kala itu masih usia SD, mencari kolom zodiak. 




Tabloid Nova dan Majalah Intisari

sumber: https://www.tokopedia.com/zagabookz/tabloid-nova-no-766-nov-2002-cover-agnes-monica-agnezmo, diakses 29.11.2021;
https://www.olx.co.id/item/majalah-intisari-oktober-1995-iid-793890820, diakses 29.11.2021


Girang tak terkira saat membaca tulisan "Karirmu akan melesat, seseorang yang kamu harapkan sejak lama akan datang dalam waktu dekat". Sebaliknya, was-was gelisah saat yang muncul adalah kalimat bernada suram semacam "Keuangan mandek. hati-hati bersikap bila tidak ingin bisnismu mengalami kebuntuan". Dipikir-pikir sekarang, apaaa coba maknanya.hahaha. Heran juga, padahal sejak TK saya rajin ikut pesantren ramadhan dan langganan jadi juara. Sayangnya, "membaca tabloid Nova dan percaya ramalan zodiak itu berdosa" tidak masuk dalam kurikulum pesantren ramadhan yang saya ikuti,hahaha. 

Perkara berdosa atau tidak memang bukan urusan manusia, tapi percayalah, membaca Majalah Intisari jauh lebih bermanfaat dibanding buka-buka kolom zodiak di Tabloid Nova. Berkat bacaan bermanfaat, ibu saya berhasil menyelematkan bapak saya yang mengalami serangan stroke di tahun 2002. Saat kebanyakan orang panik dan membiarkan pasien stroke tergeletak tanpa pertolongan karena rumor yang beredar menyatakan salah pergerakan saat mengangkat akan berakibat fatal, ibu saya  dengan yakin langsung meminta bantuan tetangga untuk mengangkat bapak saya dan membawanya ke rumah sakit, SEGERA. Ternyata, beberapa hari sebelum kejadian itu, ibu membaca artikel Intisari berisi "golden hour penanganan pertama stroke". Merinding juga membayangkan saya terlalu banyak menghabiskan waktu dengan nyekrol medsos tanpa tujuan setahun belakangan. Bila saya ada di posisi ibu saya, alih-alih cepat melakukan pertolongan, isi kepala saya hanya: "Nagita Slavina beli gelang seharga rumah mewah" atau "5 seleb ini punya panggilan sayang untuk suami". Alamak!

Refleksi kejadian setahun belakangan untuk saya yang temenan sama ikan dory-sesama short term memory- ini memang bukan perkara mudah. Perlu kerja keras untuk memutar kembali ingatan 11 bulan terakhir demi ikut tantangan MGN Bulan November 2021 tentang Pengalaman di Tahun 2021. Gagal submit tantangan Bulan November karena perilaku deadliner dan ternyata ketiduran di detik-detik terakhir tentunya akan jadi satu kenangan tahun 2021 untuk saya. Selain itu, yang saya ingat betul, tahun 2021 bukanlah tahun yang mudah untuk saya, keluarga dan banyak orang lainnya. 

Ternyata bisa juga...

Saya kira, saya sudah menjadi superwomen tercanggih abad ini karena berhasil menjalani kehidupan awal pandemi di tahun 2020 dengan kondisi hamil trimester I, mengurus balita kelebihan energi yang tidak bisa diam tapi harus terkurung di rumah, dan tidak ada asisten rumah tangga. Mengurus semua sendiri dengan kondisi suami full WFF-Working from Factory. Kerjanya di pabrik, jadi kurang cocok disebut WFO, hahaha. Bukan hanya melakukan pekerjaan rumah tangga-sesuatu yang saya sangat tidak lincah untuk melakukannya-, saat itu saya juga memasak makanan keluarga. 

Tidak hanya makanan pokok, tapi juga membuat kudapan. Bukan yang cuma potong-potong kosreng yah. Saat itu, bisa-bisanya saya bikin roti sobek, bakpao, marmer cake, caramel cake, bolu ketan hitam, pempek. Lebih heboh lagi, saya dan suami sama-sama tidak pernah tinggal di luar negeri. Kemampuan bertahan hidup kami sangat minim dan lidah masih sangat Indonesia. Berharap sehari-hari bisa makan sayur mentah tanpa bumbu cuma disiram saos atau roti isi praktis menjadi khayalan belaka. Setelah seminggu bolak balik makan telur dadar telur ceplok, akhirnya saya masak makanan yang pakai uleg-uleg itu. Untungnya, belakangan saya mendapat hidayah bahwa di dunia ini ada yang namanya bumbu jadi atau bubuk😝. Hasilnya, tentu saja tetap tidak instagramable, tapi paling tidak berhasil jadi makanan favorit anak dan suami saya (plok plok plok, bangga). Bisa memasak disela kerepotan mencuci atau menyemprot segala paket yang datang dengan alkohol dan adaptasi jadi guru sekolah online anak sambil tetap handle pekerjaan kantor. Dipikir-pikir sekarang sudah punya asisten dan kehidupan tidak lagi sesulit di awal pandemi dulu, tapi malah nggak mau bisa masak, duh!

Memang betul, di atas langit masih ada langit, jadi jangan sombong. Ternyata pengalaman jadi super woman di tahun 2020 baru tahap pemanasan sodara-sodara!

Bila di tahun 2020 pekerjaan kantor cukup slowing down karena sedang menunggu masa transisi proyek dan menjelang cuti melahirkan, tahun 2021 ini load pekerjaan meroket. Wuuuussssss... Ditambah, mengurus dua anak ternyata tidak sesederhana mengurus satu anak. Mungkin kalau anaknya sekalian ada lima atau enam jadi gampang mengurusnya karena jadi mirip daycare 😝. Di masa seperti ini saya berandai-andai, andaikan anak diciptakan dengan remot. Saat kita luang bisa play, dan saat ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan, bisa pause. Sayangnya itu hanya imajinasi super ngawur saya. Tentunya saya akan makin bingung, pusing dan nangis-nangis kalau anak-anak saya tiba-tiba diam tak bergerak. Sungguh saya tidak mau itu. Tapi menghadapi anak-anak yang perlu ini dan itu sambil meladeni pekerjaan kantor yang seperti antrian IKEA Alam Sutra saat baru buka itu rasanya sesuatu yah. 

gambaran ramainya pekerjaan saya-agak lebay

https://apps.housingestate.id/read/2014/10/15/ikea-alam-sutera-gerai-ke-364-di-dunia-resmi-dibuka/

Online meeting, tangan menggendong anak kedua yang pengen nyusu, kaki bergerak kesana kemari ngejar anak pertama yang kabur dari kamera sekolah online-nya. Seringkali, tidak bersamaan dengan sekolah online anak, tapi anak pertama ingin sayur bayam bikinan saya. Saya kelimpungan duduk berdiri, mencatat diskusi meeting sambil menengok dapur. 

Rasanya skill working mom saya benar-benar diuji disini, dimana sering kali saya merasa terbenam gagal. Kerja setengah-setengah, ngurus anak pun kepikiran yang lain-lain.   

Malu lantas menjadi Bubuzilla

Pandemi menyadarkan saya pada kondisi diri yang menjadi ekstrim, yaitu bagaimana saya menjadi amat sangat pemarah, kepada orang-orang yang ada di sekitar saya, terutama anak saya. Dari dulu, saya adalah orang yang cenderung sulit menahan emosi. Ngamukan, kata orang Jawa. Sewaktu kecil, kalau ada hal yang membuat saya tidak nyaman, saya akan masuk kamar, menangis, dan berteriak-teriak sambil ndudutin-menarik sprei kasur. Itu dirumah. Diluar rumah, saya tampil sebagai orang yang sangat dewasa. 

Hal tersebut berlangsung sampai sekarang. Well, meskipun tidak lagi ndudutin sprei karena saya tahu akan kerepotan harus merapikan sprei sendiri setelahnya (hahaha), saya seringkali berteriak dan membentak dirumah. Di luar rumah, terutama di lingkungan bekerja, saya adalah sosok yang sangat sangat sabar. Bahkan, bisa dikatakan saya cukup jadi andalan untuk menghadapi client-client yang suka heboh karena kesabaran saya. You are wiser than your age, kata teman saya. Padahal, dirumah, saya seringkali mendapat nasihat dari anak saya yang baru berumur 5 tahun: 

"Bubu, kalau bubu pengen marah, di kepala bubu akan ada 3 pilihan. Marah, marahin, atau nggak jadi marah. Lain kali bubu harus pilih yang nggak jadi marah yaa"

Padahal saat itu saya marah karena lelah menghadapi dia tantrum menjerit-jerit dalam waktu yang cukup lama. Dia dengan bersahaja dan bijaksana memberikan nasihat, seolah tidak ada apa-apa sebelumnya 😪. 

Saya mencoba memikirkan penyebab kemarahan saya. Akhirnya saya sadari, yang pertama adalah kelelahan. Yang kedua dan menjadi main cause adalah perasaan malu.

Malu kepada tetangga ketika anak mulai menjerit-jerit. Malu kepada rekan kerja karena saat meeting online anak saya ribut minta sesuatu tepat ketika saya harus berbicara dan menyalaan mic. Malu dilihat orang nggak bisa ngurus anak dan ngajarin  sopan santun. Dipikir-pikir, lelah sekali hidup dengan memikirkan apa yang orang lain pikirkan terhadap kita. Padahal, belum tentu orang tersebut punya waktu untuk memikirkan kita.hahaha   

Let it go..
Saya rasa, pelajaran paling bermakna di tahun 2021 adalah keputusan untuk lebih berdamai dengan perasaan sendiri. Sedih karena kehilangan orang tersayang, saya belajar untuk menikmati persasaan itu. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, belum bisa menerima takdir, nikmati saja. Berdamai dengan perasaan membuat saya lebih ikhlas dan tenang di hari-hari berikutnya. Let it go..

Perasaan malu karena ada kejadian-kejadian tak terduga, tetaplah tenang. Online meeting, ada kaki kecil muncul-muncul di kamera, atau tiba-tiba kerudungmu disibak terbuka oleh anak bayi yang pengen ikut nampil, let it go..

Termasuk ketika ingin tampil sempurna saat interview observasi seleksi sekolah anak. Harus melompat dari 1 zoom link  ke link lainnya tanpa jeda. Maksud hati re-touch lipstik, tapi yang ada hanya krayon anak bentuk lipstik yang tanpa sadar saya pakai. Alhasil begitu buka kamera, alih-alih orang tua bersahaja, sang observer menjumpai lady gaga.. let it go..

Penutup

Harapan pasti ada, rencana pasti banyaknya tak terduga. 2021 dengan pandemi di dalamnya mengajarkan saya bahwa manusia hanya bisa berencana. Semoga tahun 2022 menjadikan saya manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Jaga hati, atur ekspektasi, dan let it go..



10/31/2021

Komunitas Tanpa Syarat yang Mengikat Erat

Saya dibesarkan oleh orang tua yang menganut aliran "ojo neko-neko": on track, nggak usah aneh-aneh, hidup yang biasa saja. Kamu sekolah bener, berkecukupan, jangan berlebihan, dan tidak perlu ngoyo. Sebetulnya maksud ngoyo versi orang tua saya disini mirip dengan definisi KBBI: memaksakan diri melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan kemampuan, kondisi, dan waktu. Sayangnya, saya kebablasan menginterpretasikan petuah ojo ngoyo ini. 

Mempertimbangkan setiap keinginan, saking terlalu banyaknya pertimbangan, sampai-sampai enggan melangkah. Karena terbiasa meredam keinginan, saat ini, saya ada di titik tidak punya fanatisme terhadap apapun. Jangankan fanatisme partai politik, ditanya hobipun saya bingung😆. Suami saya adalah orang yang paling prihatin menyadari bahwa dirinya menikahi butiran debu, tentu saja bukan karena berat badan saya yang mirip butiran debu-sungguh saya jauh dari itu- tapi lebih karena istrinya ini hanya menjalani hidup dengan melayang-layang, tidak tahu sukanya apa, tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri, melayang-layang saja. Well, mungkin dibanding butiran, kondisi saya lebih mirip gumpalan. Ya, gumpalan debu yang menggeletak dilantai, hanya bergerak ketika disapu.

Sumber: https://www.cbc.ca/radio/quirks/

Saya rasa, karena tidak punya hobi ini lah, saya jarang bisa eksis di komunitas. Lebih tepatnya, untuk menentukan komunitas mana yang saya ingin ikuti pun saya bingung.hahaha. Beruntungnya saya dikelilingi oleh orang-orang yang dengan baik hati menawarkan beberapa ide berkomunitas dan setelah bergabung saya merasa senang. Senang bukan berarti saya jadi memukau di dalamnya. Karena saya bukan tipikal manusia berbakat charming, perlu usaha khusus untuk bisa menonjol. Masalahnya, saya tidak punya energi untuk ngoyo melalukan itu

Selain tidak punya hobi, saya juga merasa tidak sanggup untuk berkomitmen. Bukan tidak mau, tetapi karena merasa belum punya time management yang baik -membuat saya jiper duluan ketika menjanjikan sesuatu. Saya menghindari komunitas-komunitas yang mengharuskan saya melakukan sesuatu, dan saya merasa lebih nyaman berada di komunitas yang memungkinkan anggotanya berada dalam silent mode-mode sunyi, membaca atau mengamati saja tapi sewaktu-waktu ingin berbicara bisa mengaktifkan microphone. Tentunya orang-orang seperti saya ini bukan tipikal yang diminati oleh admin-admin komunitas, ibarat sedang rapat online, kalau isinya orang-orang seperti saya, pemimpin rapatnya harus teriak teriak menghalau semua orang untuk menyalakan video dan menekan tombol unmute microphone.

meeting online

Meskipun tidak punya hobi, saya-menurut cukup banyak orang- adalah orang yang peduli dan SKSD-sok kenal sok dekat. Bukan saya yang sok kenal lalu dekat-dekat ya, tapi banyak orang yang baru kenal dengan saya, lalu merasa sudah dekat. Karena itulah, selain di komunitas yang legowo dengan kesunyian anggotanya, saya cenderung dapat bertahan dengan baik dalam komunitas yang anggotanya perlu non-block party, alias sedang berseteru dan perlu pihak yang tidak memihak. Komunitas tempat tinggal saya yang terdahulu adalah salah satu contohnya. 

Saya, sebagai satu-satunya ibu-ibu berusia kurang dari 30 tahun saat itu, hidup sebagai pendatang baru, bertetangga dengan bapak ibu yang usia-nya sekitaran orang tua saya. Alih-alih di-emong, saya menjadi tempat berlabuh curahan hati ibu ketua RT yang pusing mengatur warga. Keesokan harinya, bapak ibu sepuh yang curhat ke saya sebagai warga. Begitu seterusnya, bergantian. Tentunya menjadi bagian dari komunitas yang seperti ini bukanlah sesuatu yang saya inginkan, tapi lebih kepada kewajiban. Mau nggak mau, karena tinggal disitu, yah terima saja lah.

Karakter saya ini sebetulnya sudah saya sadari sejak SD dan berlanjut ke SMP lalu SMA. Semasa sekolah, saya adalah siswa yang aktif berorganisasi. Pramuka, Palang Merah Remaja, Kegiatan Ilmiah Remaja, bahkan saya menjadi ketua OSIS ketika SMP. Bukan, bukan karena saya hobi berorganisasi. Tetapi, lebih karena saya merasa mengikuti semua organisasi dan berprestasi di dalamnya adalah suatu bagian dari menjalani kehidupan lurus tidak neko-neko ala orang tua saya. Sifat "tidak punya passion" membuat saya menjadi anggota yang biasa-biasa saja di setiap organisasi tersebut. Tetapi, karakter mudah akrab membuat saya memiliki hubungan personal yang relatif dekat dengan banyak sekali orang di organisasi tersebut. Bisa dikatakan, bila sedang kumpul bersama saya diam saja, atau bahkan saya sering kali tidak ikut kumpul-kumpulnya. Tetapi, begitu ada sesuatu, orang-orang tersebut akan menghubungi saya secara personal, meminta tolong, meminta saran, atau sekedar curhat. Kondisi ini berlanjut hingga sekarang, saat saya dan teman-teman sekolah tidak pernah bertemu lagi. Sebaliknya, meskipun di dalam perkumpulan komunitas saya malu-malu kucing, ketika butuh bantuan, saya tidak merasa segan untuk menghubungi orang-orang tersebut dan mereka dengan tangan terbuka membantu saya.

Lepas SMA, masuk ke ITB membuat mata saya terbuka, bahwa ada sekian juta bentuk dan karakter manusia yang belum pernah saya lihat sebelumnya, begitu juga komunitasnya. Saat kuliah, sifat tidak ngoyo membuat saya tidak mudah diterima oleh banyak komunitas. Saya lahir dan besar di Semarang. Masuk ke komunitas anak-anak Jakarta tidak cocok, karena suara saya medhok. Tetapi, mencoba akrab dengan komunitas Jawa juga canggung karena begitu mereka bicara bahasa Jawa saya hanya bisa menimpali dengan mesam mesem. Cerita kehidupan saya dengan bahasa Jawa mirip-mirip cerita kakak saya. Ibu saya orang Sunda dan setiap lebaran saya beredar dari satu rumah ke rumah lainnya, mendengarkan percakapan bahasa Sunda. Tapi, begitu harus bergabung ke komunitas Sunda di kampus, aduh rasanya mendekat ke pintu sekre-nya saja sudah tak sanggup, takut belum apa-apa sudah disuruh bilang peuyeum.


Peuyeum dan Cimbeuleuit: 2 kata yang selalu berusaha dilatih oleh ibu saya setiap menjelang lebaran agar saat bertemu saudara tidak dikira bawa-bawa anak tetangga dari Jawa 

sumber: https://anantoep.wordpress.com/2011/07/02/rute-angkutan-umum-angkot-bandung-gambar/; https://www.kompas.com/food/read/2020/06/19/131344875/4-cara-membedakan-tapai-singkong-dan-peuyeum?page=all

Dengan pakem jangan ngoyo, saya tidak melanjutkan proses pencarian jatidiri komunitas ini dan memutuskan melanjutkan hidup apa adanya. Sejak TPB, atas saran kakak, saya bergabung di komunitas majalah kampus Boulevard ITB. Tapi lagi-lagi, karena saya tidak mahir menulis dan selalu ketiduran saat membaca, meskipun menjabat posisi pemimpin redaksi, saya tidak menjadi kontributor ataupun editor yang handal bagi Boulevard kala itu. 

Selanjutnya, saat masuk tingkat II dan kegiatan himpunan mulai heboh, saya bergeser mendekat kepada golongan sejenis saya: orang-orang yang rumahnya jauh dan susah pulang tengah malam karena tidak punya kendaraan pribadi. 

Selama kuliah di ITB, saya tinggal di rumah bude,  berjarak sekitar 7 KM dari kampus. Pulang pergi rumah-kampus mengharuskan saya menyandarkan hidup pada mamang angkot yang hobi ngetem (tentu saja penumpang yang kuliah  jam 7 pagi, di GKU Timur ruang 4XXX, dengan dosen yang kurang bersahaja, dan bangun kesiangan pula, bukanlah urusan mereka). Angkot di jalur yang saya lewati hanya beroperasi mulai pukul 05.00 hingga 20.00 WIB. Diluar itu, adaaaa sih tapi sangat tergantung pada keberuntungan Anda. Bila sedang ikut acara himpunan dan jam sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB, saya dan teman-teman yang senasib sepenanggungan ini sudah mulai tak bisa duduk tenang. Kusak kusuk kanan kiri, ngedumel kenapa rapatnya nggak selesai-selesai

Karena kebutuhan pribadi berangkot ria dan menyuarakan kegiatan himpunan jangan terlalu malam-atau minimal jangan lupa antarkan kami pulang- inilah saya semakin dekat dengan beberapa orang teman kuliah saya. Beberapa diantaranya memang asli bandung dan tinggal di rumah yang searah dengan lokasi rumah bude saya, membuat kami punya waktu kongkow bersama di dalam angkot. Kalau sedang macet, satu atau dua, bahkan pernah 3 jam terjebak di jalanan, bisa dibayangkan banyaknya waktu yang kami habiskan bersama. hahaha.

 
Angkot Ledeng-Cicaheum, tempat kami kongkow bersama dimulai dari sini.hahaha
 
https://jabar.tribunnews.com/2017/10/11/sebelum-melakukan-aksi-demo-sopir-angkot-di-terminal-cicaheum-tetap-cari-penumpang

Kehidupan kuliah dengan kesibukan acara himpunan terus berjalan dan membuat saya dekat dengan beberapa orang lainnya, yang juga merasa kurang nyaman pulang malam. Selain 3 orang sesama pengguna angkot Caheum-Ledeng, ada 7 orang lainnya yang akhirnya juga menjadi lingkaran kecil kehidupan pertemanan saya. Terdiri dari dua orang Bandung yang juga tidak punya kendaraan pribadi; Satu orang Bandung yang punya motor tapi tipikal alim ulama -ogah pulang malam khawatir subuh kesiangan; Satu orang Jawa tapi tinggal di Lampung -dewasa sekali jadi setiap harus pulang malam gelisah khawatir teman-temannya masuk angin; Satu orang bekasi, tidak punya kendaraan dan jadwal himpunan selalu bentrok dengan jadwal MBWG; dan Satu orang Jakarta yang punya kendaraan pribadi, kos dekat kampus, dan saya juga bingung kenapa dia bergabung disini, huahaha.

Menulis tentang komunitas membuat pikiran saya menerawang. Saya tidak punya komunitas favorit, tetapi mengingat suka duka kehidupan, saya jadi tersadar komunitas ternyaman saya adalah yang paling sering hadir dalam setiap episode kehidupan saya. Menjalani kehidupan kuliah, meskipun saya juga cukup dekat dengan beberapa teman satu angkatan lainnya, bisa dibilang dengan 9 orang inilah saya paling banyak menghabiskan waktu. Entah bersama semuanya, atau hanya dengan 1-2 orang diantaranya. Mengerjakan tugas, belajar saat akan ujian, jajan kuliner, main ke mall, tracking ala-ala, atau sekedar ngobrol. Tentu saja sebagian besar diantara mereka rela pernah menampung saya menginap berhari-hari di kos-nya. 

Ulang tahun saat kuliah menjadi istimewa karena mereka-lah yang entah bagaimana caranya selalu ingat saja untuk memberi kejutan. Sebagai "anggota" perempuan pertama yang akhirnya menikah, mereka merancang bridal shower untuk saya. Selanjutnya, mereka beramai-ramai datang ke Semarang untuk menghadiri pernikahan saya. Heboh! Maklum, kami golongan orang-orang yang susah tidak punya pacar selama kuliah. Tentu saja, selain piala bergilir angkatan, kami juga punya piala menikah "geng"-yang ketika dilihat lagi sekarang, betapa alay-nya piala ini. 

Piala bergilir geng "After huricance, comes rainbow": Setelah berpuluh tahun hidup menjomblo akhirnya bahagia bisa menikah. Kalau sekarang dibahas lagi, tidak ada satupun dari kami yang mau mengakui diri mencetuskan ide slogan alay ini. hahahahaha

Memasuki detik-detik menjelang melahirkan anak pertama, 9 orang kawanan inilah yang paling sibuk ngoceh di grup whatsapp: berdoa, berharap cemas, sambil tebak-tebakan nama anak saya dan wajahnya akan mirip siapa. Sementara saya yang sedang diinduksi kala itu bisa-bisanya malah tidur nyenyak ditemani suami saya yang maksudnya mau siaga tapi malah mendengkur lebih kencang dari saya. Ketika anak pertama lahir, kawanan om tante inilah yang dengan sangat excited mengatur pertemuan- hanya untuk menyimpulkan akhirnya anak saya mirip siapa. Setelah saya, satu per satu teman lainnya menikah, dan setiap acara pernikahan itu menjadi moment yang istimewa dimana saya merasa sangat wajib untuk hadir.    

Komunitas terdekat saya ini bukan hanya tempat terbaik untuk tertawa bersama, tetapi juga paling siaga saat saya berduka. Enam bulan setelah melahirkan anak pertama, ibu saya meninggalkan dunia untuk selamanya. Ketika ibu saya meninggal, tentu saja yang terpikir adalah memberi tahu salah satu dari 9 orang ini. Jangan ditanya kecepatan mereka dalam menyebarkan berita. Wuss wuss wuss, lintas kota lintas provinsi, bahkan sampai ke luar negeri. Menyusul kemudian beberapa hari selanjutnya pesan pendek tiada henti dari mereka, memastikan saya yang jelas sedang tidak baik-baik saja, berada dalam kondisi terbaik saya. Berpulangnya ibu yang cukup mendadak menjadi titik terendah dalam hidup saya. Untungnya, ada bayi lucu yang menunggu untuk segera diurus kembali, dan grup whatsapp geng yang setia memberikan lawakan menghibur di setiap saya ingin menangis lagi.

Setelah hampir 9 tahun jarang berjumpa, ternyata mereka masih menjadi pendukung terkuat saya saat dirundung awan mendung. Awal tahun 2021 merupakan tahun yang sangat menempa saya untuk tumbuh kuat. Hampir 3 bulan pasca melahirkan anak kedua, saya dinyatakan positif Covid. Bergegas pindah ke rumah yang ada di pinggiran kota Jakarta adalah pilihan satu-satunya, mengingat saat itu saya tinggal di tengah Kota Jakarta yang lumayan padat dan berjarak sangat dekat dengan tetangga. 

Double masker  24 jam, handsanitizer selalu ditangan, dan entah berapa menit sekali saya cuci tangan. Semua itu menjadi suatu kewajiban karena saya harus tetap menyusui bayi kecil saya yang tidak bisa minum susu formula. ASIP? jangan ditanya. Kondisi sehat saja ASIP pas-pasan, begitu sakit dan stress, mencoba memerah sampai perih sana sini, keluar setetes pun tidak. Saya menjalani isolasi dengan kondisi tetap mengurus kedua anak saya. Tidak semua pasien Covid bisa cukup istirahat. Saya di kala itu ingin minum saja sulit karena harus naik ke lantai atas, masuk kamar isolasi, dan baru bisa buka masker. Saat pasien Covid cenderung dijauhi saat itu, tidak dipungkiri, kelakuan 9 orang teman inilah yang menjadi salah satu booster recovery paling manjur untuk saya. 

"Eh Gimana kabarnya?"
                                                                  "nggak sesak kan?"
               "Pengen makan apa?"
                                    "Anak lo mau makan apa?"
                                                                               "Vitamin udah ada belum?"
       oxymeter? 
                         habbatussaudah? 
                                                        obat cina?  
           teh herbal?  
                                                                                            madu? masker?"
"sarung tangan?"                          "mukena udah ada buat ganti?"

                                 "baju, kerudung udah cukup belum? jangan lupa rajin ganti"

Di tengah berjuang memaksakan tetap makan meskipun rasa tidak karu-karuan, saya mulai mempertanyakan hidup. Apakah betul saya masuk dan berteman dengan anak-anak ITB, atau sebetulnya mereka ini para pemilik kios di tanah abang yang selama ini mencoba mendekati saya untuk membangun pasar bagi usahanya😂. Berbagai tawaran ini saya tolak dan sebagai gantinya saya minta mereka ngelawak saja, itu yang paling membantu penyembuhan sebetulnya,hahaha. 

Selang 10 hari saya menjalani isolasi mandiri, rumah yang saya tinggali untuk karantina dibobol pencuri. Laptop milik suami yang menjadi satu-satunya hiburan mendampingi istri yang sedang frustasi, laptop kantor, handphone kantor, beberapa tas, uang, bahkan sebuah Al Quran besar yang menjadi penenang menjalani ujian karantina, diangkut pencuri. 

                 Ujian apa lagi ini?

Saat pikiran berkecamuk kesana kemari, sambil mencoba menenangkan diri, kembali saya update kondisi kepada teman kongkow yang memang tidak pernah absen tanya bagaimana kondisi saya, Maklum, saya orang pertama yang kena Covid dalam komunitas itu. Kali ini, tanpa banyak bertanya, mereka kembali membuka "Dompet peduli Ririn". Tidak terbayang rasanya bagaimana saya ingin menangis, bukan karena barang-barang saya hilang, tapi ketika menerima "sumbangan" dari teman-teman saya ini. Lebih dari sekedar memperingan beban ekonomi yang sudah terhimpit akibat tetek bengek isolasi, dukungan ini menyadarkan kembali bahwa "masih ada yang peduli dengan saya, dan saya juga harus ada untuk mereka".

Sebulan kemduian, saya dinyatakan negatif. Pesan singkat dari kawanan erat ini masih menemani saya, menjalani hari-hari awal kembali bekerja, setelah 3 bulan maternity leave yang diperpanjang dengan 1 bulan isolasi mandiri. Mencoba bangkit, masih terseok-seok karena supporting system belum sepenuhnya bekerja. Satu bulan saya menjalani masa pemulihan ini. Pemulihan fisik, dan tentunya mental. Long covid effect tentu saja masih ada. Saat isolasi mandiri saya survive dengan berada di rumah saja, seminggu setelah dinyatakan negatif saya harus bolak balik IGD karena asam lambung naik dan diare. Tapi, diluar itu, saya merasa pemulihan batin inilah yang menjadi tantangannya, dan disinilah fungsi komunitas terdekat saya kembali bekerja. Sebuah pertemuan online sengaja diadakan dengan judul "berbagi lesson learned Covid dan menjenguk Ririn"-saya baru sadar kalau mereka bisa so sweet seperti ini.

Belum cukup tegak untuk berdiri, dunia kembali menghempaskan saya. Selang 1 bulan saya menjalani tahap recovery, giliran bapak saya yang terserang Covid. Usia lanjut dan kondisi fisik yang tidak fit membuat bapak menyerah pada Covid hanya dalam 2 minggu saja. Dua minggu paling berat dalam kehidupan saya dan kakak. Membujuk bapak untuk kerumah sakit, memantau kondisi bapak dan mencoba mencukupi kebutuhannya dari jarak jauh, berusaha merujuk bapak ke rumah sakit rujukan covid, mencari donor plasma, hingga pemakaman, tak terbayang sebelumnya saya akan merasakan pengalaman ini. Pengalaman yang bisa saya gambarkan dalam 1 kalimat pendek: menurunkan berat badan hingga 10 kg hanya dalam 2 minggu. 

Seperti sebelumnya, kesembilan orang ini menjadi tim sukses paling giat menanyakan kabar, membantu mencari kontak donor, dan lain sebagainya. Dan untuk kesekian kalinya, Dompet Peduli Ririn dibuka kembali. Saya yakin bukan hanya saya yang merana, tetapi teman-teman saya juga. Berapa kali mereka harus mengulurkan tangan untuk saya. Sungguh saya berdoa, semoga semua itu menjadi amal mereka yang berbalas berkali-kali lipat. 

Hehh... (nafas berat

Diluar merenungi ujian demi ujian kehidupan, saya merasa sangat beruntung dikelilingi 9 orang ini. Grup whatsapp sering kali sunyi, tetapi di saat ada yang memulai pembicaraan, disitulah gelak tawa mengalir. Sekedar bertanya update vaksin kepada teman yang bekerja di Biofarma, atau complain mengapa tagihan listrik tidak turun padahal sudah bela-belain kepanasan nggak pakai AC di tengah hari demi ngirit kepada teman saya yang bekerja di PLN-padahal dia di bagian pembangkit dan tidak tahu menahu pekara meteran listrik😂.

Komunitas terdekat saya

Komunitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sekelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Saya tidak tahu apakah interaksi tanpa tujuan seperti yang terjadi di antara saya dan 9 orang teman saya ini termasuk dalam definisi komunitas atau tidak. Namun, agar hidup lebih bermakna dari sekedar tertawa-tawa, saya mencoba bergabung ke dalam beberapa komunitas yang memacu saya untuk menemukan kembali hobi saya. 



Mamah Gajah Ngeblog (MGN) adalah salah satu komunitas yang berhasil membuat saya bangun, meninggalkan keengganan saya untuk melakukan sesuatu. Karena bergabung dalam komunitas ini, saya membaca begitu banyak tulisan hebat dan menyimak percakapan penuh informasi yang disampaikan dengan ringan sekali di grup whatsapp. Sebagai hasilnya, tulisan ini dibuat. Tentunya, untuk mengikuti tantangan Mamah Gajah Ngeblog Bulan Oktober dengan tema Komunitas yang paling aku cintai. Ikut tantangan bulanan bagi saya juga menjadi satu kunci tersendiri. Berhasil menulis dalam tenggat waktu yang ditentukan adalah suatu prestasi bagi saya. Bangga, bahwa saya bisa menjalani hidup dengan cara yang lebih bermakna dari sekedar rebahan. hehehe!


Referensi:












    





       

   







  

8/31/2021

Alah bisa karena biasa

Alhamdulillah.bersyukur rasanya bisa ngeblog lagi. Posting perdana ini dipersembahkan oleh Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus 2021 yang membuat saya cukup tertantang untuk menulis lagi, dan lebih dari itu, berhasil menantang saya untuk berusaha keras mengingat pasword blogspot-yang sudah 5 tahun tidak dibuka😛.


                                           

Hidup tanpa bajakan. Tema yang sungguh berat karena saya merasa malu sendiri saat harus mengingat topik ini. Saya -pengakuan dosa di depan- adalah orang yang sampai saat ini belum bisa konsisten menerapkan perilaku bebas bajakan. Tapi biarlah cerita ini paling tidak bisa jadi lesson learned untuk orang lain dan pengingat untuk saya agar mulai memperbaiki diri. Bukan sengaja, tapi sering kali sense untuk sekedar menyadari itu perilaku bajak membajak atau bukan semakin tidak terasah. Memang betul pepatah yang diajarkan saat saya SD: alah bisa karena biasa. Bermula dari dibiasakan, lama-lama jadi bisa dan tidak risih. Ini yang gawat.

***

Bangga setengah mati saat saya pertama kali datang ke Bandung untuk kuliah di kampus gajah. Kakak angkatan satu almamater di SMA membawa anak-anak baru jalan-jalan keliling kampus. 

"Ini perpustakaan, kalian bisa pinjam buku-buku TPB disini. Fisika, kimia, kalkulus. Tapi, biasanya antri. Saya punya, tapi cuma 1, siapa cepat dia dapat. Yang lain nggak usah khawatir. Di tamansari dekat anex ada dunia baru. Kalian mau cari buku apa saja pasti ada disana. Murah."

Wow! Toko buku apa itu. Bisa jual buku dengan harga 1/5 harga di toko buku lainnya. Saya lantas pergi kesana dan membeli beberapa buku yang dosen saya sebutkan. Membawa ke kelas tanpa beban, merasa sudah punya buku, sama seperti anak-anak lainnya.

Dasar anak SMA dari desa, saya baru sadar di tingkat II kalau buku yang saya beli dari dunia baru itu adalah fokopian. Dicetak amat sangat bagus, dengan cover hardcopy. Tidak ada tulisan buram apa lagi halaman miring-miring terpotong hilang setengahnya seperti jamaknya tukang fotokopi jaman itu. Sadarnya pun gara-gara lihat teman saya bawa buku yang sama tapi beda warna covernya. 

Pantas waktu beli mamang yang jual tanya, sampulnya mau warna apa neng? 😂

**

2 tahun selanjutnya berlalu, dan bagian tugas akhir saya lewati dengan relatif mulus. Kebetulan saat itu saya dapat kesempatan untuk mengumpulkan data lapangan via survey primer. Sibuk mengolah data, saya jadi tidak terlalu peduli pada tinjauan pustaka. Comot tulisan sana sini, sekenanya saja bikin daftar pustaka.

Begitu juga ketika saya lanjut sekolah di kampus yang sama. Tesis saya selesaikan dengan bermodal pede, dan keberuntungan tingkat dewa-tentunya dengan doa kedua orang tua yang saat itu masih ada😉. Lagi-lagi, daftar pustaka maupun kutipan kalimat-kalimat dari teks referensi tidak menjadi perhatian saya. 

Berbeda dengan teman-teman saya yang kuliah di luar negeri dan dapat reading list dengan target waktu tertentu, untuk saya saat itu, membaca hanya sebatas menjadi kebutuhan untuk menulis ulang paragraf yang terkait di tesis. Bukan, bukan salah dosen atau kurikulumnya. Bisa jadi sebetulnya ada reading list, tapi waktu ditugaskan saya sedang keliling Indonesia untuk kerja -eh bolos maksudnya #ngumpet malu.

Karena tidak banyak baca, ikatan batin saya dengan tulisan-tulisan itu jadi rapuh. Saya tidak selalu merasa perlu untuk mencantumkan sumber setiap saya mengutip sesuatu.

**

Ternyata, yang namanya kebiasaan, cenderung dibawa terus sampai tua. Makanya orang tua rata-rata bawel ke anaknya, memberi tahu ini itu agar yang tidak baik tidak jadi kebiasaan. Sebab semakin dewasa, semakin sulit mengubah kebiasaan.

3 jam sebelum saya masuk ruang sidang untuk mempertahankan tesis saya di hadapan penguji, saya menerima kabar bahwa saya diterima untuk bekerja di sebuah organisasi internasional. Bisa dibilang 60% pekerjaan saya disini adalah menulis. Menulis kerangka acuan kerja, menulis laporan, menulis justifikasi, menulis surat elektronik, menulis pesan singkat, menulis apa saja yang perlu ditulis.

Pada 4 tahun terakhir ini, saya diminta memberikan input untuk laporan tahunan proyek. Bentuknya 1-2 pager berisi rangkuman status hasil pekerjaan dan kondisi Indonesia terkini terkait topik proyek. Seperti 3 tahun sebelumnya, tahun ini saya membuka "catatan" saya untuk menelusuri progress pekerjaan, dan berselancar di internet untuk mencari update kondisi terkini. 

Sudah 3 tahun berlalu, input saya selalu diterima supervisor saya dengan lapang dada. Menggunakan metode penulisan yang sama, ternyata ada yang berbeda dengan tahun ini. 

Tidak menunggu lama, setelah saya mengirimkan input laporan, datanglah feedback dari bos saya. Kira-kira bunyinya seperti ini:

"Ririn, di tulisan kamu itu banyak informasi yang menarik dan penting untuk dikutip. Sayangnya kamu tidak tulis referensinya. Saya jadi tidak tahu harus cek kemana itu data-datanya"

Ups..

Selang beberapa hari kemudian, saya mendapat kiriman 1-2 pager hasil tulisan rekan kerja saya yang orang Jerman. Di situ banyak sekali link dan referensi yang dia tulis. Hampir di setiap akhir kalimat ada  sumber yang menjelaskan dari mana pernyataan itu dia dapat. Saya rasa dalam 2 halaman itu lebih banyak tulisan nama penulis dan link artikel sumber dibanding text kontennya sendiri.hahahaha. 

Ketika saya tanya, "kenapa kamu kok nulisnya begitu?"

"Ya karena itu bukan hasil pemikiran saya. Itu saya ambil dari tulisan orang, jadi saya harus acknowledge sumbernya."

Olala.. 

Saya bahkan tidak kepikiran bahwa sudah seharusnya tulisan informal yang saya submit itu mencantunkan referensi karena banyak isinya merupakan hasil pemikiran orang lain, bukan pure tulisan dan ide saya.   

Malu?

Bukan lagi..hanya bisa bersyukur percakapan itu dilakukan via online chat -jadi saya tidak perlu lihat ekspresi are you kidding me??? dan selanjutnya accept permintaan unfriend.