2/20/2023

Balada anak sakit dan percaya diri sendiri

Hobi pergi ke dokter

Anak sakit adalah problematika hidup paling pelik bagi sebagian besar mamah-mamah di muka bumi ini. Tidak semua, tapi saya adalah satu diantaranya. Nggak bohong, saya mengaku paling cemen  kalau sudah menghadapi anak sakit. Masa anak intens sakit dalam kasus saya selalu terjadi saat usia anak 1-3 tahun. Karena ada 2 anak, jadinya semacam siklus berulang untuk saya. Di Indonesia, sangat lah mudah bagi pasien untuk menemui dokter, bukan hanya dokter umum tetapi juga lompat langsung ke dokter spesialis. Entah ini berkah, apa musibah.hahaha

Saat anak pertama berusia 2 tahun, hampir setiap hari kamis saya izin kantor untuk mengantar anak ke dokter. Izin datang terlambat, izin datang siang bolong, atau izin tidak masuk sekalian saking tidak bisa membayangkan, baru datang dan duduk 5 menit kok sudah tiba waktunya pulang. Kantor saya saat itu menumpang di kantor pemerintahan dengan jam kerja yang tidak fleksibel. Boleh kerja lewat dari jam 5 tapi AC dimatikan, sebuah tool yang efektif untuk mengingatkan orang Jakarta agar tidak terlalu gila kerja. Lepas dari itu, mana bisa mamak lembur saat anak sakit. Sampai di kantorpun bukannya membuka file kerjaan, malah googling "obat alami meredakan batuk anak" atau "terapkan ini bila ingin anak tidur nyenyak saat hidungnya tersumbat". Pada akhirnya, tidak satupun tips di laman tersebut pernah saya terapkan karena keburu panik duluan.

Datangnya pandemi dan serentetan pengalaman kurang asik yang dibawanya membuat tekad saya untuk lebih bijak dan tenang ketika anak kedua sakit belum bisa berjalan dengan mudah. Lebih heboh lagi, bukan hanya membawa satu anak ke dokter, tapi juga harus membawa keduanya. Karena -mama you know it lah ya- memisahkan adik yang batuk dari kakak yang sehat sedangkan ibunya cuma ada satu adalah suatu kesulitan yang hakiki. Tahun lalu, saya habiskan dengan bolak balik ke IGD membawa 2 anak yang sakit, kira-kira 10 hari sekali. Iyes, IGD! karena anak dengan keluhan batuk-pilek-demam sejak ada pandemi tidak boleh masuk ke klinik anak. Setiap mengabari teman kantor rasanya mengada-ada sekali, sebulan empat kali ke IGD. 

Bukan hal aneh lagi untuk saya melihat perawat IGD dengan ekspresi takjubnya, "Ibu bukannya minggu lalu sudah kesini?" dan dokter anak yang awalnya melayani dengan penuh kasih, hingga akhirnya hanya berusaha keras meyakinkan kalau anak saya baik-baik saja. Tidak perlu obat, tidak perlu treatment, apalagi opname. 


Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog edisi kali ini bertema buku yang berpengaruh besar dalam hidup saya. Diantara buku-buku yang berhasil saya beli baca, buku ini cukup berhasil menggiring saya untuk tobat.hahaha

How to Raise a Healthy Child in Spite of Your Doctor

Mengembalikan fungsi orangtua

Ditulis oleh Robert S. Mendelsohn, seorang dokter anak legendaris Amerika yang juga berprofesi sebagai pengajar. Sependek pemahaman saya yang gampang banget terkagum-kagum ini, membaca profil penulisnya cukup membuat saya meyakini bahwa buku ini berdasar pada pengalaman panjang penulisnya, bukan hanya sebatas teori belaka. 

Seperti tertampar rasanya membaca chapter awal yang berkali-kali menuliskan bahwa diagnosa paling akurat saat anak sakit hanya bisa dilakukan oleh orang tua atau orang yang merawat anak tersebut. Bagaimana penyakit bisa dideteksi secara sederhana dari perubahan tatapan mata dan ekspresi wajah anak, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang sehari-hari mendampingi anak tersebut. 

Dulu, kita mengenal konsep dokter keluarga. Seorang dokter yang mengenal betul keluarga kita, dari sisi riwayat penyakitnya dan tidak jarang sampai ke personalnya. Bukan hanya sok kenal sok dekat, ternyata begitulah seharusnya dokter bekerja, bukan hanya pemeriksaan 5 menit tetapi juga mempertimbangkan riwayat pasien dan keluarga. Tidak hanya ada untuk memberikan obat, dokter keluarga juga memberikan dorongan semangat dan kehangatan. Ketika usia sekolah dasar dan bolak balik batuk demam, saya hanya sembuh ketika dibawa ke dokter keluarga, dokter Niken namanya. Baru antri di bangku panjang putihnya saja saya sudah sehat, entah bagaimana mekanisme kerjanya.  

Sebisa mungkin menghindarlah dari dokter

Bagian-bagian selanjutnya dari buku ini menggambarkan bagaimana mengerikannya praktik kedokteran anak saat ini, dimana treatment yang tidak diperlukan -dan sebetulnya memberikan efek negatif lebih banyak daripada penyakitnya sendiri- sering kali diberikan dan tidak disadari oleh pasien. Mulai dari obat-obatan, tes urin, cek darah, hingga x-ray yang ternyata berbahaya bila dilakukan berlebihan. Kembali lagi ke bagian melankolis, buku ini mempertanyakan kemampuan diagnosa penyakit oleh dokter yang bahkan tidak tahu siapa nama pasien yang sedang ada di hadapannya. Merunut lebih jauh, buku ini menggambarkan keprihatinan pada materi pendidikan dokter yang minim edukasi tentang pentingnya nutrisi dan serta diagnosa minim intervensi. Antara takjub dan horor mengingat kembali kelakuan diri sendiri. Entah sudah berapa kali anak-anak saya kena tubles cek darah, cek urin, skan sken skan sken dengan hasil negatif, semuanya baik-baik saja.

Tapi tentunya tidak sengawur itu menangani anak sakit dirumah. Menjelang bagian akhir, buku ini memberikan gambaran kondisi-kondisi yang memerlukan penanganan medis. Untuk penyakit-penyakit tertentu yang tidak bisa sembuh dengan hanya dipeluk mamak, buku ini tetap mengingatkan bahwa kedokteran adalah salah satu profesi yang waktu studinya paling panjang. Percayalah, pasti ada sesuatu yang dipelajari oleh dokter dan tidak bisa dilakukan oleh mamah.

Penutup

Tidak semua isi buku ini menjadi titik tobat untuk saya sih. Saya tetap pro vaksin meskipun itu termasuk treatment yang dipertanyakan dalam buku ini. Sisanya, lumayan lah, membuat saya berpikir ulang setiap mau mencolot ke IGD. Lebih dari itu, buku ini memberikan suntikan percaya diri bagi saya sebagai orang tua yang sebetulnya paling tau tentang anak saya sendiri. Semacam dihantui dokter galak yang siap ngomel, hahaha. Semoga cerita kali ini bermanfaat ya! :)