8/31/2021

Alah bisa karena biasa

Alhamdulillah.bersyukur rasanya bisa ngeblog lagi. Posting perdana ini dipersembahkan oleh Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus 2021 yang membuat saya cukup tertantang untuk menulis lagi, dan lebih dari itu, berhasil menantang saya untuk berusaha keras mengingat pasword blogspot-yang sudah 5 tahun tidak dibuka😛.


                                           

Hidup tanpa bajakan. Tema yang sungguh berat karena saya merasa malu sendiri saat harus mengingat topik ini. Saya -pengakuan dosa di depan- adalah orang yang sampai saat ini belum bisa konsisten menerapkan perilaku bebas bajakan. Tapi biarlah cerita ini paling tidak bisa jadi lesson learned untuk orang lain dan pengingat untuk saya agar mulai memperbaiki diri. Bukan sengaja, tapi sering kali sense untuk sekedar menyadari itu perilaku bajak membajak atau bukan semakin tidak terasah. Memang betul pepatah yang diajarkan saat saya SD: alah bisa karena biasa. Bermula dari dibiasakan, lama-lama jadi bisa dan tidak risih. Ini yang gawat.

***

Bangga setengah mati saat saya pertama kali datang ke Bandung untuk kuliah di kampus gajah. Kakak angkatan satu almamater di SMA membawa anak-anak baru jalan-jalan keliling kampus. 

"Ini perpustakaan, kalian bisa pinjam buku-buku TPB disini. Fisika, kimia, kalkulus. Tapi, biasanya antri. Saya punya, tapi cuma 1, siapa cepat dia dapat. Yang lain nggak usah khawatir. Di tamansari dekat anex ada dunia baru. Kalian mau cari buku apa saja pasti ada disana. Murah."

Wow! Toko buku apa itu. Bisa jual buku dengan harga 1/5 harga di toko buku lainnya. Saya lantas pergi kesana dan membeli beberapa buku yang dosen saya sebutkan. Membawa ke kelas tanpa beban, merasa sudah punya buku, sama seperti anak-anak lainnya.

Dasar anak SMA dari desa, saya baru sadar di tingkat II kalau buku yang saya beli dari dunia baru itu adalah fokopian. Dicetak amat sangat bagus, dengan cover hardcopy. Tidak ada tulisan buram apa lagi halaman miring-miring terpotong hilang setengahnya seperti jamaknya tukang fotokopi jaman itu. Sadarnya pun gara-gara lihat teman saya bawa buku yang sama tapi beda warna covernya. 

Pantas waktu beli mamang yang jual tanya, sampulnya mau warna apa neng? 😂

**

2 tahun selanjutnya berlalu, dan bagian tugas akhir saya lewati dengan relatif mulus. Kebetulan saat itu saya dapat kesempatan untuk mengumpulkan data lapangan via survey primer. Sibuk mengolah data, saya jadi tidak terlalu peduli pada tinjauan pustaka. Comot tulisan sana sini, sekenanya saja bikin daftar pustaka.

Begitu juga ketika saya lanjut sekolah di kampus yang sama. Tesis saya selesaikan dengan bermodal pede, dan keberuntungan tingkat dewa-tentunya dengan doa kedua orang tua yang saat itu masih ada😉. Lagi-lagi, daftar pustaka maupun kutipan kalimat-kalimat dari teks referensi tidak menjadi perhatian saya. 

Berbeda dengan teman-teman saya yang kuliah di luar negeri dan dapat reading list dengan target waktu tertentu, untuk saya saat itu, membaca hanya sebatas menjadi kebutuhan untuk menulis ulang paragraf yang terkait di tesis. Bukan, bukan salah dosen atau kurikulumnya. Bisa jadi sebetulnya ada reading list, tapi waktu ditugaskan saya sedang keliling Indonesia untuk kerja -eh bolos maksudnya #ngumpet malu.

Karena tidak banyak baca, ikatan batin saya dengan tulisan-tulisan itu jadi rapuh. Saya tidak selalu merasa perlu untuk mencantumkan sumber setiap saya mengutip sesuatu.

**

Ternyata, yang namanya kebiasaan, cenderung dibawa terus sampai tua. Makanya orang tua rata-rata bawel ke anaknya, memberi tahu ini itu agar yang tidak baik tidak jadi kebiasaan. Sebab semakin dewasa, semakin sulit mengubah kebiasaan.

3 jam sebelum saya masuk ruang sidang untuk mempertahankan tesis saya di hadapan penguji, saya menerima kabar bahwa saya diterima untuk bekerja di sebuah organisasi internasional. Bisa dibilang 60% pekerjaan saya disini adalah menulis. Menulis kerangka acuan kerja, menulis laporan, menulis justifikasi, menulis surat elektronik, menulis pesan singkat, menulis apa saja yang perlu ditulis.

Pada 4 tahun terakhir ini, saya diminta memberikan input untuk laporan tahunan proyek. Bentuknya 1-2 pager berisi rangkuman status hasil pekerjaan dan kondisi Indonesia terkini terkait topik proyek. Seperti 3 tahun sebelumnya, tahun ini saya membuka "catatan" saya untuk menelusuri progress pekerjaan, dan berselancar di internet untuk mencari update kondisi terkini. 

Sudah 3 tahun berlalu, input saya selalu diterima supervisor saya dengan lapang dada. Menggunakan metode penulisan yang sama, ternyata ada yang berbeda dengan tahun ini. 

Tidak menunggu lama, setelah saya mengirimkan input laporan, datanglah feedback dari bos saya. Kira-kira bunyinya seperti ini:

"Ririn, di tulisan kamu itu banyak informasi yang menarik dan penting untuk dikutip. Sayangnya kamu tidak tulis referensinya. Saya jadi tidak tahu harus cek kemana itu data-datanya"

Ups..

Selang beberapa hari kemudian, saya mendapat kiriman 1-2 pager hasil tulisan rekan kerja saya yang orang Jerman. Di situ banyak sekali link dan referensi yang dia tulis. Hampir di setiap akhir kalimat ada  sumber yang menjelaskan dari mana pernyataan itu dia dapat. Saya rasa dalam 2 halaman itu lebih banyak tulisan nama penulis dan link artikel sumber dibanding text kontennya sendiri.hahahaha. 

Ketika saya tanya, "kenapa kamu kok nulisnya begitu?"

"Ya karena itu bukan hasil pemikiran saya. Itu saya ambil dari tulisan orang, jadi saya harus acknowledge sumbernya."

Olala.. 

Saya bahkan tidak kepikiran bahwa sudah seharusnya tulisan informal yang saya submit itu mencantunkan referensi karena banyak isinya merupakan hasil pemikiran orang lain, bukan pure tulisan dan ide saya.   

Malu?

Bukan lagi..hanya bisa bersyukur percakapan itu dilakukan via online chat -jadi saya tidak perlu lihat ekspresi are you kidding me??? dan selanjutnya accept permintaan unfriend.