12/22/2021

Perjalanan Menyambut Anak Kicik bagian Pertama

 Melahirkan anak pasti menjadi momen tak terlupakan bagi setiap ibu. Perasaan bahagia, haru, sedih, was-was, pasti ada. Takut? bukan lagi, jangan ditanya. Campur aduk, begitu kira-kira rasanya. Untuk saya, salah satu hal pertama yang perlu dipikirkan begitu tahu sedang hamil adalah: akan kontrol dengan dokter siapa dan dimana? Setelah tertunda 5 tahun cukup lama, akhirnya tergerak juga untuk menuliskan pengalaman melahirkan anak pertama ini sebagai catatan. Sebagai kenang-kenangan untuk saya, dan tentunya bisa menjadi informasi untuk siapapun yang membutuhkan.

dr. Aswin Sastro Wardoyo di RS Puri Cinere

Saya tinggal di daerah Jakarta Selatan pada kehamilan anak pertama di tahun 2016. Berdasarkan rekomendasi dari sepupu, saya memutuskan untuk kontrol ke dokter Aswin di RS Puri Cinere. Untuk saya yang baru pertama kali datang ke rumah sakit di Jakarta, cukup menyenangkan datang ke rumah sakit ini. Tidak terlalu besar, bersih, mekanisme administrasi sederhana dan cukup cepat.

Antrian pendek, cukup menunggu 15 menit, nama saya dipanggil oleh perawat. Masuk ke dalam ruang dokter rasanya deg-degan. Berhubung baru pertama kali ke obgyn, bingung juga harus ngomong apa. Apalagi sudah dapat doktrin dari sepupu saya yang heboh menceritakan dokter Aswin ini gitaris dan suara beliau ketika bilang: "Selamat ya Ibu.. positif hamil" akan terdengar sangat merdu dan membuat kita melayang. Ketika masuk ruang dokter, saya menjumpai dokter sepuh-yang memang tetap ganteng sih meskipun sepuh- dan sangaaaaaat lembut. No wonder dokter Aswin cukup jadi favorit ibu-ibu hamil yang rata-rata perlu seseorang yang menenangkan-dan ganteng? #eh 

Sayangnya, ketika kontrol pertama, layar USG baru menunjukkan titik, jadi perlu periksa ulang 2 minggu lagi untuk memastikan titik itu adalah kantong berjanin, atau kantong kosong. Jadi, mohon maaf saya nggak bisa cerita apakah suara beliau ketika mengucapkan selamat di pertemuan pertama itu benar-benar membuat melayang atau tidak.hahaha



dr. Aswin-mungkin banyak ibu-ibu terpikat karena membayangkan proses melahirkan yang mules itu ditemani konser gitar. 
sumber:    https://singolion.wordpress.com/2013/11/24/ngayogjazz-2013-rukun-agawe-jazz-jazz-agawe-rukun/


Pindah ke RSPI Pondok Indah

Karena dapat value dari orang tua bahwa melahirkan itu urusan hidup dan mati, saya selalu ingin memastikan rumah sakit tempat saya melahirkan menyediakan ICU dan NICU untuk keadaan-keadaan kritis tidak terduga. Karena alasan inilah saya pindah ke RSPI Pondok Indah. Selain fasilitas, tentunya juga dengan pertimbangan disana murah ada dokter Aswin yang praktik di akhir pekan. ICU, NICU, dokter Aswin, dan akhir pekan. Tidak perlu drama bolak balik izin kantor setiap mau kontrol. Cocok sudah!

Satu hal yang saya suka dari RSPI Pondok Indah adalah mereka menerapkan shift antrian per 30 menit. Jadi, seramai apapun pasiennya, rata-rata saya hanya perlu menunggu 30 menit saja untuk bertemu opa obgyn kesayangan. Selain itu, ada kasir dan farmasi khusus di poli obgyn, jadi ibu hamil  tidak perlu was-was harus berkumpul dengan pasien-pasien poli penyakit lainnya.

Bisa dikatakan, dokter Aswin cukup detail dalam memeriksa kondisi ibu dan janin. Sesi pemeriksaan dengan USG cukup panjang dan santai tidak terburu-buru. USG 3G dan 4G di ruangan juga  diperlihatkan for free karena yang muncul di tagihan hanya USG 2D. Diluar itu  dokter Aswin sangat cocok bagi ibu-ibu yang ingin menjalani kehamilan dengan perasaan santai kayak di pantai. Beliau tipikal dokter yang tidak over treatment

"Kalau tidak ada masalah, kenapa harus was-was? Ibu sehat, janin baik. Yang lain tidak usah terlalu dicemaskan. Cukup minum folavit saja ya buuu". Saya yang sedang sibuk membayangkan nonton konser musik pun angguk-angguk manut saja. 

Nah, sebaliknya, menurut saya dokter Aswin kurang cocok bagi ibu-ibu yang perlu perhatian extra semacam kontrol kenaikan berat badan. Menurut dokter Aswin, selama kenaikan masih wajar dan janin berkembang dengan baik, bebaskeeuuuun. Apalagi duet maut dengan kantin RSPI yang makanannya entah mengapa layaknya tempat wisata kuliner-menarik dan enak semua. Buyaaar sudah buyaaar masalah berat badan ideal.

Mengungsi ke RS Telogorejo atau Semarang Medical Center (SMC)

8 bulan berjalan, kehamilan saya baik-baik saja. Namun, dengan pertimbangan kehebohan melahirkan anak pertama, saya dan suami memutuskan untuk pindah sementara ke Semarang, kota tempat tinggal orang tua saya. Apalagi dalam kondisi suami terkena lay-off alias PHK tepat ketika kehamilan saya memasuki bulan ke-9. Suami pengangguran tidak perlu ke kantor, dan saya sudah mulai cuti melahirkan. Tidak ada alasan lagi untuk stay di Jakarta.

Sama seperti pencarian rumah sakit di Jakarta, saya fokus kepada ICU dan NICU. Bukannya berfikiran negatif yaa, hanya preventif saja, dan persiapan preventif ini membuat saya lebih tenang. 

Rumah Sakit Telogorejo selalu menjadi andalan keluarga saya sejak dulu. Fasilitasnya lengkap dan pelayanannya bagus. Tempat saya dirawat ketika terserang demam berdarah saat kelas 2 SD, dan tempat bapak saya selamat mendapat pertolongan sigap saat serangan stroke. Well, tempat bapak saya menghebuskan nafas terakhir juga sih tapi di moment ini pun saya tetap merasa rumah sakit ini adalah opsi terbaik di Semarang untuk keadaan gawat darurat.

Kesan menyenangkan saya dapat ketika melahirkan anak pertama di rumah sakit ini. Kamar menginap yang bersih, perawat yang sigap membantu, ramah, dan cekatan. Apalagi setelah berkutat dengan daftar harga kamar dan paket melahirkan di RSPI Pondok Indah (yang saya sendiri tidak terbayang bagaimana cara bayarnya, hahaha), tentunya melihat perkiraan biaya melahirkan di rumah sakit ini cukup melegakan. Dengan tujuan menghibur bapak dan ibu saya yang excited luar biasa menyambut cucu pertama, saya memilih kamar VIP B dengan extra bed yang lebarnya sama dengan kasur double di hotel. Jadilah, moment menunggu cucu lahir lebih mirip stay cation bagi suami, bapak, dan ibu saya.  Semua senang! 

Saat akan masuk ruang operasi dan ketika akan membawa bayi pulang, petugas keamanan berjaga di sepanjang lorong rumah sakit dan lift untuk clearing. Memastikan perjalanan saya (yang hanya dari 1 ruangan ke ruangan lainnya) kala itu bebas lancar tanpa hambatan.  Selepas operasi, begitu masuk ke kamar saya disambut tumpeng mini sebagai ucapan selamat menyambut kedatangan buah hati ke dunia. Beberapa gimmick kecil yang membuat saya cukup gembira kala itu. 

Terlepas dari harga, kebersihan, pelayanan yang memuaskan, saya rasa SMC perlu meningkatkan prosedur operasional terkait menyusui dan edukasi lainnya untuk ibu. Di rumah sakit itu, karena operasi, saya tidak bisa melakukan IMD. Selain itu, tidak terlalu banyak informasi yang saya terima terkait menggendong bayi, menyusui, memandikan, dan lainnya. Untuk saya yang baru pertama punya anak, akan lebih menyenangkan bila rumah sakit bisa menyediakan informasi tersebut.

dr. Besari Adi

Karena sudah menentukan pilihan rumah sakit, saya mengerucutkan daftar "belanja" obgyn pada dokter-dokter yang pratik di SMC. Pilihan saya jatuh kepada dokter Besari Adi. Alasan utama saat itu hanya karena sejauh googling, saya tidak menemukan review negatif tentang dokter ini. Cukup dengan tidak ada review negatif, karena ternyata sesulit itu menemukan review obgyn di Semarang. Kontrol pertama, tidak jauh dari kesan yang saya tangkap dari dokter Aswin. Dokter Besari Adi ini lembuuuuuuttt dan tenaaaaaaang sekali. 

dr. Besari Adi Pramono- lembut dan menenangkan jiwa
sumber: https://www.alodokter.com/cari-dokter/dr-besari-adi-pramono-sp-og-msi-med


Hasil pemeriksaan di pertemuan pertama menunjukkan tensi saya tinggi. Melejit ke 170/120, padahal 8 bulan sebelumnya normal. Dokter Besari, dengan sangat tenang menjelaskan kepada saya yang panik, bahwa kondisi ini bukan harga mati untuk suatu tindakan operasi c-section. "Masih bisa kita usahakan normal. Usia kandungan Ibu 39 minggu, ukuran janin sudah cukup aman untuk dilahirkan. Karena jalan lahirnya masih kaku sekali dan tanda-tanda lahir belum ada, kita akan coba induksi. Bila merespon dengan baik, kita lanjutkan dengan proses melahirkan alami. Selain itu, kita bicarakan nanti ya bu..". Beliau mengambil kertas dan menggambarkan mekanisme pemilihan prosedur sederhana yang akan saya jalani. Pertama adalah cek laboratorium untuk mendeteksi gejala eclampsia. Setelah hasilnya keluar dan negatif, dokter Besari kembali berbicara kepada saya. Ibu, saya menyarankan Ibu untuk mondok malam ini. Tapi kalau Ibu punya pemikiran lain yaa tidak apa-apa kita tunggu.  

Suami saya yang sudah rungsing makin sakit kepala dihadapkan pada statement dokter yang sangat njawani. Akhirnya, kami mencari second opinion terkait tensi. Barangkali tensimeter di rumah sakit itu eror. Datanglah kami dokter umum kenalan orang tua yang  begitu selesai cek tensi langsung teriak-teriak panik: NGAPAIN KAMU MASIH DISINI?? GA TAKUT MATI?? HARUS KE RUMAH SAKIT SEKARANG JUGA!!! alamak

Belakangan, setelah masuk IGD dan  masih bisa scrolling internet, saya baru menyadari bahwa eclampsia, yang ciri utamanya adalah tensi tinggi dan kaki bengkak, se-berbahaya itu. Saya bisa kejang kapan saja, mengancam keselamatan janin dan saya tentunya. alhasil karena kebanyakan googling saya tidak bisa tidur dan begitu dokter Besari datang ke UGD saya langsung teriak heboh: dokter, saya nggak kejang kan, saya nggak kejang?

Dokter Besari dengan senyum bijaksananya itu hanya menjawab: Ibu saat ini tidak kejang. Sudah saya kasih obat anti kejang juga, Bu. Jadi tenang saja. Ibu tidur saja ya, istirahat.

Dipikir-pikir, dokter Besari pasti setengah mati menahan ketawa menghadapi ibu-ibu yang sudah tidak jalan lagi logikanya. kalau sedang kejang mana bisa ngajak ngomong dokter.

Selepas dari IGD, masuk kamar perawatan, saya mendapat injeksi induksi. Tidak seperti cerita kebanyakan orang yang merasakan sakit luar biasa, kala itu saya tidak merasakan apapun dan malah tidur dengan sangat nyenyak ketika diinduksi. Well, itu bukan pertanda baik. Ternyata, tidak ada rasa sakit menunjukkan badan saya tidak merespon terhadap induksi. Ketika batas waktu tunggu reaksi induksi sudah habis, dokter Besari masuk ke dalam ruangan dan menjelaskan bahwa saya harus menempuh prosedur operasi. Seketika juga saya menangis. Tentunya karena perasaan campur aduk tidak berhasil melahirkan normal, dan karena saya akan punya anak dalam waktu kurang dari 1 jam kedepan, insya Allah.

Saya menangis diatas tempat tidur yang membawa saya ke ruang operasi. tanpa ditemani suami saya yang harus pergi ke bagian administrasi mengurus segala keperluan operasi. Dokter Besari berjalan di samping saya, sambil berusaha menenangkan. Sampai di ruang operasi, dokter Besari berdiri di samping saya ketika prosedur injeksi anestesi di tulang punggung-yang terkenal sakit itu- berlangsung, memastikan pasiennya yang panik dan takut akut ini merasa lebih baik.

Proses operasi berjalan lancar, dan anak pertama saya lahir ke dunia dengan selamat dan sehat. Alhamdulillah, fasilitas preventif pun tidak perlu digunakan. Saya pulih dengan cukup cepat dan tidak ada masalah pada luka jahitan operasi. Saya tidak merasakan kesakitan pasca c-section seperti yang banyak orang ceritakan. Seminggu setelah operasi, saat tiba kontrol lepas perban. Jahitan sudah kering dan saya bisa beraktivitas kembali secara normal. terima kasih dok!

Penutup

Tentunya pilihan melahirkan dimana, dengan siapa, dan bagaimana mekanismenya akan sangat bergantung kepada masing-masing orang dan rejekinya ada dimana. Saya salut pada setiap orang yang bisa melahirkan secara normal dengan sederhana, di rumah, atau cukup ditemani oleh bidan tanpa kehebohan mencari rumah sakit. Bagaimanapun jalannya, untuk saya, bisa melahirkan dengan sehat, selamat, dan bahagia adalah yang utama. Saya bersyukur karena mendapatkan itu semua. 
   

12/06/2021

Kenang-kenangan 2021 yang akan berlalu

Wah, sudah Desember (lagi)! Memasuki bulan ke-12 di setiap tahun selalu membuat ingatan saya berputar kembali. Suka, duka, saya sudah melakukan apa saja ya satu tahun ini. Menerawang jauh, saya jadi geli sendiriDulu, saya suka iseng buka tabloid Nova yang cukup sering dibeli ibu saya dari agen koran di dekat rumah. Padahal, ibu juga langganan Intisari -yang informasinya jelas-jelas lebih berfaedah- tapi setiap awal bulan atau menjelang tahun baru, tabloid Nova ini lah yang menarik untuk saya. Tidak seperti ibu-ibu yang membeli tabloid Nova untuk mengetahui gossip terkini, saya yang kala itu masih usia SD, mencari kolom zodiak. 




Tabloid Nova dan Majalah Intisari

sumber: https://www.tokopedia.com/zagabookz/tabloid-nova-no-766-nov-2002-cover-agnes-monica-agnezmo, diakses 29.11.2021;
https://www.olx.co.id/item/majalah-intisari-oktober-1995-iid-793890820, diakses 29.11.2021


Girang tak terkira saat membaca tulisan "Karirmu akan melesat, seseorang yang kamu harapkan sejak lama akan datang dalam waktu dekat". Sebaliknya, was-was gelisah saat yang muncul adalah kalimat bernada suram semacam "Keuangan mandek. hati-hati bersikap bila tidak ingin bisnismu mengalami kebuntuan". Dipikir-pikir sekarang, apaaa coba maknanya.hahaha. Heran juga, padahal sejak TK saya rajin ikut pesantren ramadhan dan langganan jadi juara. Sayangnya, "membaca tabloid Nova dan percaya ramalan zodiak itu berdosa" tidak masuk dalam kurikulum pesantren ramadhan yang saya ikuti,hahaha. 

Perkara berdosa atau tidak memang bukan urusan manusia, tapi percayalah, membaca Majalah Intisari jauh lebih bermanfaat dibanding buka-buka kolom zodiak di Tabloid Nova. Berkat bacaan bermanfaat, ibu saya berhasil menyelematkan bapak saya yang mengalami serangan stroke di tahun 2002. Saat kebanyakan orang panik dan membiarkan pasien stroke tergeletak tanpa pertolongan karena rumor yang beredar menyatakan salah pergerakan saat mengangkat akan berakibat fatal, ibu saya  dengan yakin langsung meminta bantuan tetangga untuk mengangkat bapak saya dan membawanya ke rumah sakit, SEGERA. Ternyata, beberapa hari sebelum kejadian itu, ibu membaca artikel Intisari berisi "golden hour penanganan pertama stroke". Merinding juga membayangkan saya terlalu banyak menghabiskan waktu dengan nyekrol medsos tanpa tujuan setahun belakangan. Bila saya ada di posisi ibu saya, alih-alih cepat melakukan pertolongan, isi kepala saya hanya: "Nagita Slavina beli gelang seharga rumah mewah" atau "5 seleb ini punya panggilan sayang untuk suami". Alamak!

Refleksi kejadian setahun belakangan untuk saya yang temenan sama ikan dory-sesama short term memory- ini memang bukan perkara mudah. Perlu kerja keras untuk memutar kembali ingatan 11 bulan terakhir demi ikut tantangan MGN Bulan November 2021 tentang Pengalaman di Tahun 2021. Gagal submit tantangan Bulan November karena perilaku deadliner dan ternyata ketiduran di detik-detik terakhir tentunya akan jadi satu kenangan tahun 2021 untuk saya. Selain itu, yang saya ingat betul, tahun 2021 bukanlah tahun yang mudah untuk saya, keluarga dan banyak orang lainnya. 

Ternyata bisa juga...

Saya kira, saya sudah menjadi superwomen tercanggih abad ini karena berhasil menjalani kehidupan awal pandemi di tahun 2020 dengan kondisi hamil trimester I, mengurus balita kelebihan energi yang tidak bisa diam tapi harus terkurung di rumah, dan tidak ada asisten rumah tangga. Mengurus semua sendiri dengan kondisi suami full WFF-Working from Factory. Kerjanya di pabrik, jadi kurang cocok disebut WFO, hahaha. Bukan hanya melakukan pekerjaan rumah tangga-sesuatu yang saya sangat tidak lincah untuk melakukannya-, saat itu saya juga memasak makanan keluarga. 

Tidak hanya makanan pokok, tapi juga membuat kudapan. Bukan yang cuma potong-potong kosreng yah. Saat itu, bisa-bisanya saya bikin roti sobek, bakpao, marmer cake, caramel cake, bolu ketan hitam, pempek. Lebih heboh lagi, saya dan suami sama-sama tidak pernah tinggal di luar negeri. Kemampuan bertahan hidup kami sangat minim dan lidah masih sangat Indonesia. Berharap sehari-hari bisa makan sayur mentah tanpa bumbu cuma disiram saos atau roti isi praktis menjadi khayalan belaka. Setelah seminggu bolak balik makan telur dadar telur ceplok, akhirnya saya masak makanan yang pakai uleg-uleg itu. Untungnya, belakangan saya mendapat hidayah bahwa di dunia ini ada yang namanya bumbu jadi atau bubuk😝. Hasilnya, tentu saja tetap tidak instagramable, tapi paling tidak berhasil jadi makanan favorit anak dan suami saya (plok plok plok, bangga). Bisa memasak disela kerepotan mencuci atau menyemprot segala paket yang datang dengan alkohol dan adaptasi jadi guru sekolah online anak sambil tetap handle pekerjaan kantor. Dipikir-pikir sekarang sudah punya asisten dan kehidupan tidak lagi sesulit di awal pandemi dulu, tapi malah nggak mau bisa masak, duh!

Memang betul, di atas langit masih ada langit, jadi jangan sombong. Ternyata pengalaman jadi super woman di tahun 2020 baru tahap pemanasan sodara-sodara!

Bila di tahun 2020 pekerjaan kantor cukup slowing down karena sedang menunggu masa transisi proyek dan menjelang cuti melahirkan, tahun 2021 ini load pekerjaan meroket. Wuuuussssss... Ditambah, mengurus dua anak ternyata tidak sesederhana mengurus satu anak. Mungkin kalau anaknya sekalian ada lima atau enam jadi gampang mengurusnya karena jadi mirip daycare 😝. Di masa seperti ini saya berandai-andai, andaikan anak diciptakan dengan remot. Saat kita luang bisa play, dan saat ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan, bisa pause. Sayangnya itu hanya imajinasi super ngawur saya. Tentunya saya akan makin bingung, pusing dan nangis-nangis kalau anak-anak saya tiba-tiba diam tak bergerak. Sungguh saya tidak mau itu. Tapi menghadapi anak-anak yang perlu ini dan itu sambil meladeni pekerjaan kantor yang seperti antrian IKEA Alam Sutra saat baru buka itu rasanya sesuatu yah. 

gambaran ramainya pekerjaan saya-agak lebay

https://apps.housingestate.id/read/2014/10/15/ikea-alam-sutera-gerai-ke-364-di-dunia-resmi-dibuka/

Online meeting, tangan menggendong anak kedua yang pengen nyusu, kaki bergerak kesana kemari ngejar anak pertama yang kabur dari kamera sekolah online-nya. Seringkali, tidak bersamaan dengan sekolah online anak, tapi anak pertama ingin sayur bayam bikinan saya. Saya kelimpungan duduk berdiri, mencatat diskusi meeting sambil menengok dapur. 

Rasanya skill working mom saya benar-benar diuji disini, dimana sering kali saya merasa terbenam gagal. Kerja setengah-setengah, ngurus anak pun kepikiran yang lain-lain.   

Malu lantas menjadi Bubuzilla

Pandemi menyadarkan saya pada kondisi diri yang menjadi ekstrim, yaitu bagaimana saya menjadi amat sangat pemarah, kepada orang-orang yang ada di sekitar saya, terutama anak saya. Dari dulu, saya adalah orang yang cenderung sulit menahan emosi. Ngamukan, kata orang Jawa. Sewaktu kecil, kalau ada hal yang membuat saya tidak nyaman, saya akan masuk kamar, menangis, dan berteriak-teriak sambil ndudutin-menarik sprei kasur. Itu dirumah. Diluar rumah, saya tampil sebagai orang yang sangat dewasa. 

Hal tersebut berlangsung sampai sekarang. Well, meskipun tidak lagi ndudutin sprei karena saya tahu akan kerepotan harus merapikan sprei sendiri setelahnya (hahaha), saya seringkali berteriak dan membentak dirumah. Di luar rumah, terutama di lingkungan bekerja, saya adalah sosok yang sangat sangat sabar. Bahkan, bisa dikatakan saya cukup jadi andalan untuk menghadapi client-client yang suka heboh karena kesabaran saya. You are wiser than your age, kata teman saya. Padahal, dirumah, saya seringkali mendapat nasihat dari anak saya yang baru berumur 5 tahun: 

"Bubu, kalau bubu pengen marah, di kepala bubu akan ada 3 pilihan. Marah, marahin, atau nggak jadi marah. Lain kali bubu harus pilih yang nggak jadi marah yaa"

Padahal saat itu saya marah karena lelah menghadapi dia tantrum menjerit-jerit dalam waktu yang cukup lama. Dia dengan bersahaja dan bijaksana memberikan nasihat, seolah tidak ada apa-apa sebelumnya 😪. 

Saya mencoba memikirkan penyebab kemarahan saya. Akhirnya saya sadari, yang pertama adalah kelelahan. Yang kedua dan menjadi main cause adalah perasaan malu.

Malu kepada tetangga ketika anak mulai menjerit-jerit. Malu kepada rekan kerja karena saat meeting online anak saya ribut minta sesuatu tepat ketika saya harus berbicara dan menyalaan mic. Malu dilihat orang nggak bisa ngurus anak dan ngajarin  sopan santun. Dipikir-pikir, lelah sekali hidup dengan memikirkan apa yang orang lain pikirkan terhadap kita. Padahal, belum tentu orang tersebut punya waktu untuk memikirkan kita.hahaha   

Let it go..
Saya rasa, pelajaran paling bermakna di tahun 2021 adalah keputusan untuk lebih berdamai dengan perasaan sendiri. Sedih karena kehilangan orang tersayang, saya belajar untuk menikmati persasaan itu. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, belum bisa menerima takdir, nikmati saja. Berdamai dengan perasaan membuat saya lebih ikhlas dan tenang di hari-hari berikutnya. Let it go..

Perasaan malu karena ada kejadian-kejadian tak terduga, tetaplah tenang. Online meeting, ada kaki kecil muncul-muncul di kamera, atau tiba-tiba kerudungmu disibak terbuka oleh anak bayi yang pengen ikut nampil, let it go..

Termasuk ketika ingin tampil sempurna saat interview observasi seleksi sekolah anak. Harus melompat dari 1 zoom link  ke link lainnya tanpa jeda. Maksud hati re-touch lipstik, tapi yang ada hanya krayon anak bentuk lipstik yang tanpa sadar saya pakai. Alhasil begitu buka kamera, alih-alih orang tua bersahaja, sang observer menjumpai lady gaga.. let it go..

Penutup

Harapan pasti ada, rencana pasti banyaknya tak terduga. 2021 dengan pandemi di dalamnya mengajarkan saya bahwa manusia hanya bisa berencana. Semoga tahun 2022 menjadikan saya manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Jaga hati, atur ekspektasi, dan let it go..