5/20/2022

Mentho, Serupa tapi Tak Sama

Selalu di Hati

Ingatan makanan masa kecil saya sepertinya tidak jauh-jauh dari makanan favorit orang tua saya. Tahu petis Pak Bagong, tahu gimbal Segitiga Emas, soto sulung Simpang Lima, gethuk dan pecel di Pasar Ngaliyan, serta sate Cak Yusuf kalau sedang di Semarang. Susu sapi segar KUD, bakmi godhok Sabar Menanti, dan sambal tumpang Sumur tentunya kalau sedang di Boyolali. Untuk Bandung, meskipun kami rutin mudik kesana setiap tahun, tidak terlalu banyak ingatan makanan masa kecil yang membekas. Kenangan di kepala saya hanya teh tawar cair yang disajikan setiap berkunjung ke rumah saudara Ibu (ingat, karena perjuangan sekali untuk menghabiskannya bagi kami orang jawa yang pecinta nasgitel ini :p). Selain itu, mungkin hanya batagor dari mamang gerobak pinggir jalan dekat pombensin buah batu yang saya suka. Sisanya lebih banyak terisi kenangan makanan ala anak ITB. Lunpia basah Salman pasti salah satunya ya ;)



Makanan Melankolis

Dari sederet makanan kenangan masa kecil yang saya sebutkan diatas, sebetulnya ada satu lagi makanan tradisional Boyolali. Lekat di ingatan masa kecil saya, meskipun sejujurnya saya sih nggak suka-suka banget ya..



Mentho. Terpatri di memori karena ini makanan favorit Bapak saya. Saat Bapak sudah tidak ada, Mentho menjadi makanan melankolis untuk saya karena selalu berputar lagi kenangan di kepala bagaimana mata Bapak selalu berbinar mendapati Mentho disajikan di depan warung penjual sambel tumpang. Tanpa tengok kanan kiri apalagi ingat cuci tangan dulu, begitu sampai, Bapak pasti langsung mengambil Mentho dan memakannya. Sibuk menawarkan ke anak-anaknya (yang kompak menggelengkan kepala) sambil memasukkan beberapa buah ke dalam kresek untuk dibawa pulang.

Mentho, makanan kebanggaan warga Boyolali ini terbuat dari parutan singkong dan kelapa yang dicampur dengan butiran kacang tolo utuh, terkadang diisi juga dengan kacang tanah. Merupakan salah satu gorengan yang dijual di warung makan sambel tumpang, bersama banyak kudapan lainnya: berbagai gorengan seperti mendoan, tahu isi, bakwan, juga pisang kukus. Disajikan setelah digoreng, rasanya gurih, kenyal, tetapi padat. Tekstur kacang goreng didalamnya renyah, tapi tidak jarang juga alot. Memang enak, bila bertemu Mentho yang pas kenyal dan garingnya. Sayangnya, ada juga penjual Mentho yang menggoreng Mentho-nya terlalu lama. Mungkin biar krispy. Sayangnya, Mentho overcooked ini teksturnya keras, miriplah sama batu. Sangat cocok untuk pecinta kuliner ekstrim yang suka tantangan dan punya gigi kuat, dan itu bukan saya :')

Si Melankolis yang tidak lagi bikin Mellow di Tegal

Lebaran tahun ini ada yang sedikit berbeda dari rutinitas mudik saya. Karena sudah tidak ada lagi yang wajib dikunjungi di Semarang, saya menghabiskan waktu di Kota Tegal, tempat orang tua suami saya tinggal. Setelah 7 tahun menikah dan cukup sering berkunjung ke Tegal, baru kali ini saya benar-benar khusyuk memperhatikan kondisi sekitar, menikmati kota, termasuk menjajal aneka kulinernya. Tahu aci, Ponggol, soto tauco Gang Senggol, bubur opor mi, sayur lodeh, dan sate ayam Sijan. Dengan prinsip berhemat-padahal ya emang jago masak aja sih-Ibu mertua seringkali memasak makanan-makanan tersebut sendiri. Kami memang jarang sekali jajan di Tegal. Bila ingin sesuatu, maka sebutlah dan Ibu mertua akan mengilang beberapa jam di dapur. Lalu muncullah makanan itu. Biar anak-anaknya selalu kangen rumah karena ingat masakan ibunya, kata beliau. #Sang menantu mengangguk-angguk sambil merapal doa semoga anak-anaknya kelak tetap kangen pulang meskipun dirumah adanya ayam McD atau KFC :p



Pada bulan puasa, ada lebih banyak penjual makanan yang menjajakan makanan keliling ke rumah-rumah atau membuka gerobak dadakan di pinggir jalan Kota Tegal. Sebagian besar diantaranya adalah menu yang hanya muncul saat bulan puasa. Mentho adalah salah satunya.

"Menthooo, menthooo" terdengar suara nyaring penjaja makanan di sore hari. 

Saya yakin makanan ini dijual untuk teman berbuka puasa karena di hari-hari biasa tidak pernah ada. Tapi, mungkin saya salah dengar. Rasanya kurang pas kalau mentho yang atos itu dijadikan menu berbuka. Bukannya melepas lapar dan dahaga, yang ada memicu emosi jiwa atau lebih gawatnya lagi potol gigi, hahaha.

"Menthooo, menthooo"

"Iya mbak, itu mentho," Kata ibu mertua yang heran melihat saya bingung.

Wah, tangguh sekali orang-orang Tegal ini. Alih-alih makan bubur sumsum yang lembut dan mudah ditelan, untuk berbuka pun mereka memilih makanan yang penuh tantangan. Mungkin karena mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai pelaut. Menerjang ombak siapa takut, menembus badai sudah biasa, kerasnya mentho bukan apa-apa :')

Selang beberapa hari berikutnya, saya berada dalam antrian tukang martabak goreng-hari itu kami beli kudapan diluar karena ibu mertua lelah (dan menantu satu-satunya tidak bisa diharapkan untuk memasak tentu saja). Tidak seperti martabak di Bandung atau Jakarta, martabak yang ingin kami beli ini versi mini, digoreng satuan kecil-kecil seukuran bakwan. Penjualnya lebih mirip penjual gorengan. Selain martabak, ada juga risol, sambosa, puding roti, dan makanan berbungkus daun pisang yang saya tidak tahu isinya apa.

Hasil menguping pembeli lainnya, akhirnya saya tahu penjual ini menyediakan juga Mentho. Tapi saya tidak lihat Mentho melankolis saya ada disitu. Karena masih penasaran, akhirnya saya pesan martabak dan Mentho. Kresek dengan kardus kertas berisi 20 buah martabak dan 1 bungkusan daun diserahkan ke saya.

Dan tarraaaaaaaa.....



Ternyata, Mentho di Tegal beda dengan versi Boyolali. Mentho dengan bungkus daun ini berisi adonan tepung terigu, santan dan telur dengan isian potongan daging ayam dan sayur labu. Dilumuri fla santan kental, dibumbui aneka rempah khas masakan Jawa. Rasanya dominan gurih dengan sekelebatan manis yang ringan dan teksturnya lembuuuuut. 

Baiklah, ternyata yang ini bukan makanan pelaut. Lebih pas jadi menu MPASI-makanan pendamping ASI. Lembut dan padat gizi, hahahaha.

Sensasi rasa di lidah enak, tapi secara visual ada rasa yang aneh, semacam kurang sinkron. Mungkin karena dengan bentuk seperti itu, kami biasa makan carang gesing. Kudapan berbahan pisang-telur-santan, rasanya manis, bukan gurih. Selain itu, begitu dibuka, mentho yang saya beli cenderung tidak berbentuk, berantakan. Apa yang ada didalamnya, tidak bisa teridentifikasi dengan jelas secara kasat mata. Kurang estetik memang untuk dimakan. Tapi mungkin disitulah nikmatnya makanan ini ya. Tanpa banyak berprasangka langsung hap saja.

Ibu mertua yang sejak tadi memperhatikan menantunya sibuk sendiri akhirnya bertanya ada apa dengan saya dan Mentho. Bukannya sibuk membantu di dapur atau mengurus anak, saya sibuk dengan Mentho. Setelah saya jelaskan tentang Mentho di Boyolali, beliau bilang yang di Boyolali itu Lentho, asalnya dari Klaten. "Bukan bu, Mentho. Bapak selalu bilang Mentho, bukan Lentho" . Ibu mertua pun tak kalah ngeyel karena itu juga makanan masa kecil beliau di Klaten, "Namanya Lentho". 

Sesama Mentho tapi bukan Mentho, bentuknya Mentho tapi ternyata Lentho, bukan Mentho.

Ah sudahlah, daripada pusing, dan terlalu dramatis kalau jadi kurang akur dengan mertua karena Mentho, mari kita sudahi saja posting kali ini.

Penutup

Posting kali ini dibuat khusus untuk ikut tantangan Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Makanan Khas Kota Mamah. Yeay, berhasil nulis lagi karena Mentho! Seru juga ya menuliskan makanan khas daerah.