5/20/2022

Mentho, Serupa tapi Tak Sama

Selalu di Hati

Ingatan makanan masa kecil saya sepertinya tidak jauh-jauh dari makanan favorit orang tua saya. Tahu petis Pak Bagong, tahu gimbal Segitiga Emas, soto sulung Simpang Lima, gethuk dan pecel di Pasar Ngaliyan, serta sate Cak Yusuf kalau sedang di Semarang. Susu sapi segar KUD, bakmi godhok Sabar Menanti, dan sambal tumpang Sumur tentunya kalau sedang di Boyolali. Untuk Bandung, meskipun kami rutin mudik kesana setiap tahun, tidak terlalu banyak ingatan makanan masa kecil yang membekas. Kenangan di kepala saya hanya teh tawar cair yang disajikan setiap berkunjung ke rumah saudara Ibu (ingat, karena perjuangan sekali untuk menghabiskannya bagi kami orang jawa yang pecinta nasgitel ini :p). Selain itu, mungkin hanya batagor dari mamang gerobak pinggir jalan dekat pombensin buah batu yang saya suka. Sisanya lebih banyak terisi kenangan makanan ala anak ITB. Lunpia basah Salman pasti salah satunya ya ;)



Makanan Melankolis

Dari sederet makanan kenangan masa kecil yang saya sebutkan diatas, sebetulnya ada satu lagi makanan tradisional Boyolali. Lekat di ingatan masa kecil saya, meskipun sejujurnya saya sih nggak suka-suka banget ya..



Mentho. Terpatri di memori karena ini makanan favorit Bapak saya. Saat Bapak sudah tidak ada, Mentho menjadi makanan melankolis untuk saya karena selalu berputar lagi kenangan di kepala bagaimana mata Bapak selalu berbinar mendapati Mentho disajikan di depan warung penjual sambel tumpang. Tanpa tengok kanan kiri apalagi ingat cuci tangan dulu, begitu sampai, Bapak pasti langsung mengambil Mentho dan memakannya. Sibuk menawarkan ke anak-anaknya (yang kompak menggelengkan kepala) sambil memasukkan beberapa buah ke dalam kresek untuk dibawa pulang.

Mentho, makanan kebanggaan warga Boyolali ini terbuat dari parutan singkong dan kelapa yang dicampur dengan butiran kacang tolo utuh, terkadang diisi juga dengan kacang tanah. Merupakan salah satu gorengan yang dijual di warung makan sambel tumpang, bersama banyak kudapan lainnya: berbagai gorengan seperti mendoan, tahu isi, bakwan, juga pisang kukus. Disajikan setelah digoreng, rasanya gurih, kenyal, tetapi padat. Tekstur kacang goreng didalamnya renyah, tapi tidak jarang juga alot. Memang enak, bila bertemu Mentho yang pas kenyal dan garingnya. Sayangnya, ada juga penjual Mentho yang menggoreng Mentho-nya terlalu lama. Mungkin biar krispy. Sayangnya, Mentho overcooked ini teksturnya keras, miriplah sama batu. Sangat cocok untuk pecinta kuliner ekstrim yang suka tantangan dan punya gigi kuat, dan itu bukan saya :')

Si Melankolis yang tidak lagi bikin Mellow di Tegal

Lebaran tahun ini ada yang sedikit berbeda dari rutinitas mudik saya. Karena sudah tidak ada lagi yang wajib dikunjungi di Semarang, saya menghabiskan waktu di Kota Tegal, tempat orang tua suami saya tinggal. Setelah 7 tahun menikah dan cukup sering berkunjung ke Tegal, baru kali ini saya benar-benar khusyuk memperhatikan kondisi sekitar, menikmati kota, termasuk menjajal aneka kulinernya. Tahu aci, Ponggol, soto tauco Gang Senggol, bubur opor mi, sayur lodeh, dan sate ayam Sijan. Dengan prinsip berhemat-padahal ya emang jago masak aja sih-Ibu mertua seringkali memasak makanan-makanan tersebut sendiri. Kami memang jarang sekali jajan di Tegal. Bila ingin sesuatu, maka sebutlah dan Ibu mertua akan mengilang beberapa jam di dapur. Lalu muncullah makanan itu. Biar anak-anaknya selalu kangen rumah karena ingat masakan ibunya, kata beliau. #Sang menantu mengangguk-angguk sambil merapal doa semoga anak-anaknya kelak tetap kangen pulang meskipun dirumah adanya ayam McD atau KFC :p



Pada bulan puasa, ada lebih banyak penjual makanan yang menjajakan makanan keliling ke rumah-rumah atau membuka gerobak dadakan di pinggir jalan Kota Tegal. Sebagian besar diantaranya adalah menu yang hanya muncul saat bulan puasa. Mentho adalah salah satunya.

"Menthooo, menthooo" terdengar suara nyaring penjaja makanan di sore hari. 

Saya yakin makanan ini dijual untuk teman berbuka puasa karena di hari-hari biasa tidak pernah ada. Tapi, mungkin saya salah dengar. Rasanya kurang pas kalau mentho yang atos itu dijadikan menu berbuka. Bukannya melepas lapar dan dahaga, yang ada memicu emosi jiwa atau lebih gawatnya lagi potol gigi, hahaha.

"Menthooo, menthooo"

"Iya mbak, itu mentho," Kata ibu mertua yang heran melihat saya bingung.

Wah, tangguh sekali orang-orang Tegal ini. Alih-alih makan bubur sumsum yang lembut dan mudah ditelan, untuk berbuka pun mereka memilih makanan yang penuh tantangan. Mungkin karena mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai pelaut. Menerjang ombak siapa takut, menembus badai sudah biasa, kerasnya mentho bukan apa-apa :')

Selang beberapa hari berikutnya, saya berada dalam antrian tukang martabak goreng-hari itu kami beli kudapan diluar karena ibu mertua lelah (dan menantu satu-satunya tidak bisa diharapkan untuk memasak tentu saja). Tidak seperti martabak di Bandung atau Jakarta, martabak yang ingin kami beli ini versi mini, digoreng satuan kecil-kecil seukuran bakwan. Penjualnya lebih mirip penjual gorengan. Selain martabak, ada juga risol, sambosa, puding roti, dan makanan berbungkus daun pisang yang saya tidak tahu isinya apa.

Hasil menguping pembeli lainnya, akhirnya saya tahu penjual ini menyediakan juga Mentho. Tapi saya tidak lihat Mentho melankolis saya ada disitu. Karena masih penasaran, akhirnya saya pesan martabak dan Mentho. Kresek dengan kardus kertas berisi 20 buah martabak dan 1 bungkusan daun diserahkan ke saya.

Dan tarraaaaaaaa.....



Ternyata, Mentho di Tegal beda dengan versi Boyolali. Mentho dengan bungkus daun ini berisi adonan tepung terigu, santan dan telur dengan isian potongan daging ayam dan sayur labu. Dilumuri fla santan kental, dibumbui aneka rempah khas masakan Jawa. Rasanya dominan gurih dengan sekelebatan manis yang ringan dan teksturnya lembuuuuut. 

Baiklah, ternyata yang ini bukan makanan pelaut. Lebih pas jadi menu MPASI-makanan pendamping ASI. Lembut dan padat gizi, hahahaha.

Sensasi rasa di lidah enak, tapi secara visual ada rasa yang aneh, semacam kurang sinkron. Mungkin karena dengan bentuk seperti itu, kami biasa makan carang gesing. Kudapan berbahan pisang-telur-santan, rasanya manis, bukan gurih. Selain itu, begitu dibuka, mentho yang saya beli cenderung tidak berbentuk, berantakan. Apa yang ada didalamnya, tidak bisa teridentifikasi dengan jelas secara kasat mata. Kurang estetik memang untuk dimakan. Tapi mungkin disitulah nikmatnya makanan ini ya. Tanpa banyak berprasangka langsung hap saja.

Ibu mertua yang sejak tadi memperhatikan menantunya sibuk sendiri akhirnya bertanya ada apa dengan saya dan Mentho. Bukannya sibuk membantu di dapur atau mengurus anak, saya sibuk dengan Mentho. Setelah saya jelaskan tentang Mentho di Boyolali, beliau bilang yang di Boyolali itu Lentho, asalnya dari Klaten. "Bukan bu, Mentho. Bapak selalu bilang Mentho, bukan Lentho" . Ibu mertua pun tak kalah ngeyel karena itu juga makanan masa kecil beliau di Klaten, "Namanya Lentho". 

Sesama Mentho tapi bukan Mentho, bentuknya Mentho tapi ternyata Lentho, bukan Mentho.

Ah sudahlah, daripada pusing, dan terlalu dramatis kalau jadi kurang akur dengan mertua karena Mentho, mari kita sudahi saja posting kali ini.

Penutup

Posting kali ini dibuat khusus untuk ikut tantangan Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Makanan Khas Kota Mamah. Yeay, berhasil nulis lagi karena Mentho! Seru juga ya menuliskan makanan khas daerah.




















2/21/2022

traveling

Saya merasa cukup beruntung bisa jalan-jalan keliling Indonesia setelah lulus sarjana. Sudah lah gratis, dibayar pula. Yaa memang sih bukan jalan-jalan dengan baju unyu atau make up cantik agar cantik saat berfoto ria. Saya agak kurang berbakat pakai bedak dan lipstik karena gampang keringetan-gembrobyos. Terlebih, hampir sebagian besar jalan-jalan saya keliling Indonesia dalam rangka ngubek-ngubek tempat sampah. Keliling kota panas-panasan adalah keharusan, bedak lipstik otomatis bubar jalan.

Tempat sampah di rumah orang, tempat sampah di depan pasar, tempat sampah di pengkolan jalan, sampai tempat sampah super besar yang mirip gunung atau kolam sampah, yang rata-rata ada di setiap kota, you name it. Dalam kehidupan biasa, saya akan menghindar atau tutup hidung setiap lewat tempat sampah yang rata-rata bau itu. Dalam setiap jalan-jalan ini, saya harus mendekat sedekat mungkin, memilah satu persatu sampah yang saya temui, bahkan nangis bombay pusing kalau tempat sampahnya bersih kosong karena saya telat datang dan isinya keburu diangkut petugas kebersihan😢.

Dari sekian perjalanan yang saya lakukan, jalan-jalan dalam rangka meet n greet tong sampah di berbagai penjuru nusantara selalu memberi kenangan tersendiri. Tapi, khusus untuk ikut Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Februari ini, saya akan cerita pengalaman perjalanan yang paling berkesan di antara sekian banyak perjalanan nyampah yang penuh kenangan.


Sepertinya perjalanan paling berkesan di hati adalah cerita ketika saya jauh-jauh datang dari Jawa untuk berjumpa dengan tong sampah di Tobelo, suatu kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara. Saat itu tahun 2015, belum ada buntut dan saya masih kurus #nggak ada yang tanya deng. Intinya pergi kemana saja ayok, termasuk ke tempat-tempat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Berangkat hampir tengah malam dari Jakarta, dengan pesawat yang mampir ke Manado dulu lalu transit di Makassar, dan akhirnya saya sampai di Ternate menjelang subuh. Dengan tenaga kuda ala mahasiswa, tanpa nggletak dulu, saya melanjutkan 1 jam perjalanan dengan speed boat kecil untuk menyeberang dari Ternate ke Sofifi, pelabuhan kecil di ujung selatan Pulau Halmahera. Sesampainya di Sofifi, mencari persewaan mobil dan melanjutkan perjalanan selama 4 jam untuk sampai ke Tobelo. Begitu sampai di Tobelo, turun dari mobil saya oleng sampai tidak sadar kehilangan handphone. Untung bawa dua handphone saat itu.

Maaf para pembaca, meskipun pembukanya sudah panjang, tapi bukan kehilangan handphone yang membuat perjalanan ini sangat berkesan. 

Berikut ceritanya....  #loh jadi ini baru mulai?-inget batas 1250 kata, Rin😂

Kabur Sejenak ke Pulau Morotai

Seperti perjalanan menyampah lainnya, dalam perjalanan kali ini saya harus melakukan sampling selama delapan hari. Biasanya, di hari terakhir ada waktu sisa untuk mendatangi tempat-tempat menarik, mumpung saya sedang disitu. Setelah memprediksi waktu dan uang yang ada di tangan (saya membiasakan diri membawa uang tunai untuk segala keperluan karena tidak di semua daerah ATM mudah ditemui. Boro-boro ATM, listrik bisa menyala 24 jam saja mewah sekali), saya dan partner survey saya memutuskan akan pergi ke Pulau Morotai.

Let's go!

Keberangkatan dari Tobelo ke Morotai ditempuh dengan kapal kayu bermesin. Lama perjalanan 2,5 jam. Tanpa pemesanan tiket, kami cukup beruntung bisa menumpang rombongan yang saat itu juga akan pergi ke Morotai. Harga tiketnya 100ribu saja. Perjalanan di tengah hari yang sejuk karena matahari tidak bersinar terik.

Morotai, destinasi wisata yang saat ini sedang giat digarap oleh Pemerintah Indonesia, menyuguhkan kombinasi wisata sejarah Perang Dunia II dan alam yang memukau. Saya tidak akan cerita wisata Morotai disini, itu sih tugas pemerintah daerahnya saja.hehehe.  Yang jelas, selain tempat mandi Douglas Mac Arthur, bagian dari Pulau Morotai yang berhasil membuat saya jatuh cinta tentu saja pantainya. Ya, pantai. Air berwarna biru kehijauan yang sangaaaaaaat jerniiiiiiiih. Keindahan alam ini paling jelas terlihat bila kita berjalan menuju ke Pulau Dodola. 

            Deru ombak yang tenang...
                     Berjalan di hamparan pasir putih setapak.. 
                              Laut biru yang jernih di kiri dan kanan membentang.... 

Super bahagia! Rasanya standar pantai bagus langsung naik begitu mengunjungi pulau ini (prihatin, hahaha).

foto di morotai
Cuaca mendung, menjelang waktu terbenamnya matahari, tetapi pantainya masih sebagus itu!


Tobat di Perjalanan Pulang
Bila perjalanan berangkat ditempuh dengan cukup mulus dan beruntung, tidak begitu dengan perjalanan pulang kembali ke Tobelo. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Bila tidak ingat besok sore harus naik pesawat dari Ternate, rasanya saya ingin lebih lama main di pantai tinggal di Morotai. Langit mendung dan lebih gawatnya lagi, tidak ada rombongan lain yang akan ke Tobelo. Saya dan teman saya ternganga menyadari fakta bahwa kami harus menyewa speed boat pribadi, sekitar 800 ribu harganya. Menghabiskan sisa uang makan, yasudah lah. Mau gimana lagi, tidak kembali ke Tobelo saat itu juga bukanlah pilihan terbaik. Toh sudah hari terakhir survey. Bisa makan indomie saja nanti malam atau popmie murah di sepanjang sisa perjalanan. Paling tidak kalau pingsan karena mabok micin, sudah sampai -atau di pesawat menuju ke- jakarta😝.

Khayalan menikmati perjalan di private speed boat dan ber-swa foto ala Syahrini yang naik jet pribadi ternyata belum bisa terlaksana. Mau foto, eh badan goyang kesana kemari, naik turun semacam naik odong-odong di pasar malam. Siapa sangka, sekitar 15 menit kemudian wahana odong-odong naik level. Rasanya speed boat diayun maju mundur naik turun. Kalau itu sedang naik kora-kora di Dufan sih, tentunya saya senang-senang saja. Sayangnya ini tidak. Apalagi setelah terayun-ayun cukup tinggi, badan kami melompat-lompat kesana kemari. Sempat terfikir saat itu mengapa hanya pesawat yang punya seat belt di perut. Ternyata naik speed boat badan juga bisa mental mental  seperti ini. Beberapa kali kepala saya kejedot atap speedboat yang memang tidak terlalu tinggi. Langit di luar gelap sekali dan tak berapa lama kemudian turun hujan, disusul dengan kilat dan petir bersautan.

Seorang ibu warga lokal yang sejak tadi ada di dalam speed boat ribut mencari kresek karena merasa mual. Alamak, ada yang mabok pula. Semoga isi kresek nggak ikut melompat-lompat, gawat juga kalau muncrat ke penumpang lainnya, batin saya. Keributan mencari kresek di susul dengan teriakan panik dari seorang bapak kru speed boat.

Sulit sekali arahkan kapal. Salah arah kita! Gelombang tinggi sekali!

Arah mana kita sekarang?

Filipin!

Hahh, ke filipin? Reflek saya melihat jam tangan, sudah pukul 7 malam. Artinya, tidak terasa, sudah 2 jam kami terombang ambing di lautan. Perjalanan dengan speed boat seharusnya jauh lebih singkat dari kapal kayu. Dalam kondisi normal, 1,5 jam saja kami sudah bisa sampai di Tobelo lagi. Sungguh seketika saya ingin sujud ke dosen saya, meminta maaf karena kabur diam-diam ke Morotai. Saya buka handphone, dengan putus asa berharap ada sinyal untuk kirim sms mengabarkan permohonan maaf dan informasi bahwa sample sampah ada di kolong kasur penginapan-in case saya tidak selamat. Tentu saja nihil. Di daratan saja susah sinyal, apalagi di tengah laut. Badai pulak.

"Bagikan pelampung" teriak kapten speed boat 
"Tidak ada! minggu lalu bawa keluar semua" balas keneknya.

Sudah tidak ada lagi kesempatan untuk merutuki buruknya safety perjalanan laut di Indonesia. Bayangan ngeri nama saya muncul di koran sebagai korban tidak selamat dari speed boat yang tenggelam terkena badai langsung berkelebatan. Sinetron sekali, tapi saat itu memang kematian rasanya dekat sekali. Badai, dan tidak ada pelampung. Berenang di kolam tenang beberapa meter saja saya sudah megap-megap. Sudahlah, hanya bisa berdzikir mohon ampun, dengan badan tetap melompat kesana kemari.

Seorang bapak tua yang sejak tadi diam tenang mendekat ke arah kemudi. Beliau mencoba membaca kompas dan membantu kru yang panik. Perlahan, sepertinya speed boat berhasil diarahkan ke jalur yang benar. 

Satu jam kemudian, kami sampai kembali di Tobelo. Total 3 jam perjalanan, molor 1,5 jam dari yang seharusnya, dalam kondisi badai.

Rasanya turun dari speedboat saya ingin langsung sujud mencium tanah di dermaga kapal. Sayangnya tidak bisa, hari sudah gelap, dan hujan rintik-rintik.

There ain't no such thing as a free lunch
Sayup dari kejauhan, terdengar suara seorang pemuda. Sebut saja Pemuda Tobelo, dia dan seorang temannya adalah warga lokal yang saya mintai bantuan selama survey seminggu kemarin. 

"Ririn, astaga, syukurlah, sudah pulang. Saya cari kamu tadi ke penginapan. Mereka bilang kamu pergi ke Morotai! kenapa tidak ajak saya?"

"Malam ini kami ada kumpul pemuda Tobelo. Saya mau ajak kamu dan kenalkan ke teman-teman saya. Kamu ikut ya?!"

Saya hanya diam. Rasanya badan belum bisa berdiri tegak, masih berayun-ayun. Saya lantas minta izin untuk pulang dulu ke penginapan. 

Beberapa jam kemudian, muncul pesan pendek dari pemuda Tobelo: "Ririn, dimana?"
Sudah hampir tengah malam. Saya lelah jiwa dan raga selepas petulangan berbadai ria tadi. Saya tidak memutuskan tidak membalas pesannya. Tapi, beberapa menit kemudian, handphone saya bunyi terus-menerus. Telepon dari pemuda Tobelo.

Saya putuskan untuk mengangkat telepon, sekedar bermaksud sopan meminta maaf tidak bisa ikut karena capek sekali.

"Ririn sayang, ahahahaha. Kamu, ahahahaha. HA HA. Sayangku. Hahahaha"

Alih-alih obrolan waras, di ujung telepon terdengar mas Tobelo meracau. Tampaknya dia mabuk. Saya ingat, saat awal datang, pemilik penginapan menceritakan, minum-minuman keras merupakan hal yang biasa di Tobelo.

Saya memutuskan untuk menutup telepon dan pulang diam-diam keesokan paginya. 

Sesampainya di Bandung, datang kembali pesan pendek dari abang Tobelo. 

"Ririn, kenapa kamu tidak bilang akan pulang? kamu tinggal di Bandung? saya mau minta alamat kamu. Saya ada kongres pemuda di Bandung"

"Ririn, saya suka kamu. Kamu juga suka saya kan? Kamu terlihat senang sekali survey bersama saya. Kamu senang saya ambilkan kelapa waktu kita survey dulu. Kata teman saya kamu suka saya"

Saya tidak tahu harus membalas apa. Memang, survey di Tobelo ini agak istimewa. Bila biasanya saya harus angkat-angkat karung sampah sendiri, di survey kali ini, ada abang Tobelo yang siap siaga membantu. Selain itu, di hari-hari awal survey, cuaca terik panas sekali. Abang Tobelo tiba-tiba menghilang. Ternyata dia panjat pohon kelapa, mengambilkan buahnya untuk saya dan teman saya. Saya pikir itulah cara oang Tobelo menyambut wisatawan. Ternyata tidak, sodara-sodara.

Penutup


 

    


  
  


     


 



 

  

1/31/2022

Surat Untuk Pak Moleo

Dear Pak Moleo,

Terima kasih telah hadir menyambut kami di hari-hari awal kami mulai tinggal di desa. 

Kau tahu, kami datang dalam situasi yang jauh dari kata mudah. Pindah mendadak karena aku harus isolasi mandiri, dimana anakku, terutama yang besar, harus kembali beradaptasi. Awal pandemi sudah memaksanya untuk beradaptasi dari lingkungan daycare yang ramai ceria, menjadi rumah dengan satu teman saja. Ceria masih ada, tetapi bertengkar sering juga. Butuh waktu untuk memahami itu semua, dan kami pindah di saat-saat dia sudah menikmati pertemanannya. Di desa ini, sama sekali tidak ada teman. Jangankan teman, manusia pun jarang terlihat. Adanya hanya berbagai hewan yang menikmati kehidupannya di semak belukar lebat di sekeliling rumah. Terbayang bagaimana rasanya. Orang dewasa saja merasa sulit, apalagi anak seusia dia.

Sang adik, melihat kegundahan kakaknya, tentu saja terbawa suasana. Apalagi bubu yang biasanya selalu siaga, kala itu hanya muncul di waktu-waktu menyusu saja. Itupun tidak terlihat wajahnya. Berbalut pakaian panjang dan masker medis ganda. Hanya menyusu, tanpa cium dan peluk menghangatkan yang biasanya langsung meredakan tangisannya. Sungguh aneh situasi kala itu.

Pasca sebulan kami disini, aku bergabung dalam grup pesan pendek beranggotakan ibu-ibu yang tinggal disini. Percakapan di grup itu isinya ghibah sekali.

"Bunbun baru saja melahirkan, Tom punya istri lagi"

"Chatty itu anaknya Moleo, tapi dinikahi juga sama bapaknya" 

"Eh, Frank sekarang sudah punya istri lagi di komplek lain"

Shock tidak terkira. Apakah aku kurang berdoa memohon perlindunganNya dari lingkungan yang buruk. Mengapa aku disatukan dalam lingkungan yang suka membicarakan orang. Mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tanpa tabu, dan bapak-bapak disini beristri lebih dari satu. 

Belum selesai pikiranku berputar, di lain harinya, muncul berita duka cita.

"Pagi ini Tom meninggal di rumah"

Disusul deretan pesan bernada penghiburan.

Pusing kepala, semuanya tanda tanya. Sambil mencoba menerka-nerka Bu Bunbun, Bu Chatty, Pak Tom dan Pak Moleo tinggal di blok apa nomor berapa. Jadi terpikir juga apakah Pak Tom sudah tua. Memang, karena pandemi, tidak seperti pindahan rumah yang sewajarnya, kami tidah bisa mengundang tetangga datang ke rumah atau mendatangi rumah mereka untuk berkenalan.

Belakangan setelah menerima laporan rutin keuangan komplek, aku tahu. Nama-nama yang aku cari tidak masuk dalam daftar penduduk disini. Kalaupun tinggal disini, mereka tidak diharuskan bayar iuran komplek. Memang, tahun lalu disepakati pembebasan iuran lingkungan untuk warga yang sedang berada dalam kondisi sulit.

Ah, sudah lah. Mungkin lain waktu, kalau pandemi sudah berlalu, aku bisa bertemu dengan mereka.

***

Hari berlalu, percakapan dalam grup itu terasa semakin aneh untukku. 

"Bunbun sedang hamil lagi nih Ibu-ibu"

"Yang hamil kemarin anaknya lima belum selesai menyus"

"Anaknya lucu-lucu loh, abu kuning, putih"

Hayah. Mungkin perpindahan penuh kegalauan ini memang sudah benar-benar mengacau kepalaku. Grup itu membicarakan makhluk sejenismu, bukan sejenisku. Pantas saja diskusi di dalamnya tanpa sensor dan etika manusia.

***

Kamu bukan yang satu-satunya disini. Hampir setiap rumah memelihara makhluk sejenismu. Bukan cuma satu, tapi tiga atau empat. Bahkan ada rumah di ujung sana yang memelihara 19 ekor di luar rumah, dan begitu ada kesempatan berkunjung, kudapati yang 19 itu belum semuanya. Masih ada beberapa lainnya di dalam rumah. 

Dari sekian banyak makhluk sejenismu di sini, anak keduaku hanya suka kepadamu. Belakangan aku tahu. Kamu lah Pak Moleo yang beristri banyak itu. Tidak hanya digandrungi ibu-ibu dari sejenismu, kau juga menarik perhatian anak perempuanku.

Kau satu-satunya yang selalu datang ke rumah di pagi hari dan mengeong memanggil. Bila belum ada jawaban, kau tunggu anakku dengan sabar.  Duduk di teras rumah, berjemur di bawah sinar matahari, atau meringkuk saat cuaca dingin dan sejuk. Setia menunggu anakku jalan-jalan keluar rumah. Tidak hanya menunggu keluar, kau ikut menemani sepanjang perjalanannya. Entah apa yang kau harapkan. Canda tawa penuh kasih sayang, atau sekedar berbagi makanan karena kau lapar.

Sering kali, saat anakku ingin turun dari gendongan, kau bersikap sangat manja. Mendekat atau tidur meringkuk di sekitar kaki anakku. Anakku gembira sekali.

Namun, tidak jarang kau datang dengan penuh luka. Dekil, entah penyakit apa yang ada di tubuhmu. Aku hanya bisa menyingkirkan anakku jauh-jauh darimu. Aku sendiri tidak pernah dan tidak tahu cara memelihara makhluk sejenismu. 

Satu yang aku tahu, aku selalu berangan-angan andaikan ada binatang peliharaan yang bisa dielus lucu, tapi tidak pup dan pipis. sembarangan. 

Ya! seringkali kau pipis sembarangan. Katanya kau hanya ingin menandai teritori. Tapi mengapa? Rasanya sebal sekali kalau kau sudah mulai berbuat begini. Apalagi, di awal bulan lalu kau mengendap masuk rumah tanpa izin, dan menggondol satu-satunya potongan ayam yang tersisa untuk makan malam suamiku. Huhh, rasanya ingin kupentung dirimu.

Melihat aku yang emosi, engkau hanya mengeong dan menggoler manja seperti biasa. Tanpa rasa bersalah menikmati ayam panggang hasil curianmu di depanku. Huff!

Apa lah arti emosiku. Esok harinya kau tetap datang menyambangi anakku. Kau mengeong dan anak satu tahunku mengoceh tanpa kata. Bersaut-sautan, seru kali, tanpa ada yang bisa kupahami. Mungkin begini rasanya orang tua yang ingin nguping anaknya ngobrol apa dengan temannya, apa lagi pacarnya.

***

Hai Pak Moleo, kucing putih bermata biru abu. Kuyakin kau bukan kucing biasanya. Beberapa orang yang melihatmu, kagum. Warna mata yang berbeda menjadikan kau bukan kucing kampung sembarangan. Kucing mahal, kata orang-orang yang bergelut di duniamu.

Apapun itu, hanya satu pintaku. Tolong lah, bersikap baik, bukan hanya kepada anakku tapi juga kepadaku.

Andaikan kau bisa baca suratku ini.

Salam sebel-sebel gimana gitu,

Bubu

Pak Moleo, sungguh iri aku padamu. Saat ku harus bangun dan bekerja pagi-pagi, kau mengeong dan menggoler di bawah sinar matahari

Surat ini ditulis untuk nulis kompakan Mamah Gajah Ngeblog Bulan Januari. Tadinya sih mau kompakan nulis sama Kakak, tapi terlalu sulit untuk merangkum semua itu dengan singkat kata. Jadi ditulis disini saja deh.


Saat Babeh Pergi

Bisa terbangun sebelum subuh dengan kondisi tidak ada deadline mendesak adalah hal yang saya nantikan. Suasana relatif hening, dan disitulah segala macam pikiran berputar di kepala. Sebagian besar diantaranya berkelebat ingatan tentang orang tua yang sudah tidak ada. Sedih, kecewa, tidak terima, merasa bersalah, menyesal. Semua rasa ini bercampur di dalam hati. Dzikir pagi dan adzan subuh yang sayup-sayup terdengar dari masjid menjadi pengiring saya yang berusaha berdamai dengan perasaan hati. Tidak untuk melupakan, saya hanya mencoba untuk menikmati setiap rasa itu. Beberapa menit setelah adzan usai biasanya saya sudah bisa berhenti sesenggukan, dan kembali ke dunia nyata.hehehe.

Cerita di tahun 2020

Tahun 2020 memang berat untuk semua orang. Babeh, yang sangat suka pergi kesana kemari, setengah mati menahan diri, atau paling tidak berusaha keras ngumpet-ngumpet dari anaknya kalau pergi kesana kemari. Lebaran 2020, terasa sangat aneh. Untuk pertama kalinya dalam hidup, babeh menjalani hari lebaran di semarang saja, tentu saja karena tidak bisa kemana-mana. Saya yakin itu lebaran pertama Babeh di Semarang, di sepanjang hidupnya. Seingat saya, saat lebaran kami selalu mudik, entah ke Boyolali atau ke Bandung untuk menikmati hari lebaran bersama eyang atau embah. Saking tidak tahunya bagaimana cara merayakan lebaran di Semarang, babeh bertekad memasak makanan hari raya. 2 ekor ayam beserta lauk pauknya. Harapannya bisa tersaji makanan hari raya seperti ritual kami di Bandung. Sayangnya, ketika jadi rasanya tidak sesuai ekspektasi. Belum lagi, bayangan akan ada banyak tamu yang bersilatu rahmi. Ternyata tidak ada sama sekali. lha wong biasanya rumah kosong saat lebaran. Apalagi kondisi pandemi begini, siapa yang mau silaturahmi. Kecewa di sini, saya rasa lebih kepada makanan yang terbuang sia-sia. Babeh dan kehebohannya tentang makanan, keterkaitan tidak terpisahkan yang akan selalu menjadi kenangan abadi.

Kekecewaan lebaran mungkin bisa diredam, karena beberapa bulan kemudian cucu keempat akan lahir. Telepon ajaib mulai berdatangan tak kunjung henti. "Rumah kamu sudah bisa ditinggali belum? babeh pengen kemping disitu". Babeh yang sudah gerah tidak bisa kemana-mana ini ingin kabur dari Semarang ke Bekasi, menginap di rumah saya yang baru setengah jadi. "Belum bisa babeh, belum diberesin rumahnya, aku nggak bisa kesana karena ini keluar rumah susah". Disusul dengan permintaan untuk segera membeli perabotan dengan uang Babeh. "Kamu beli ya, kasur ligna. Babeh pengen kayak embah dulu. Ngasih kasur ligna ke babeh sama minyok. Eh nggak berapa lama embah meninggal". Sibuk mempersiapkan lahiran dengan kondisi tidak biasa di jaman pandemi, membuat saya mengesampingkan pesan-pesan ajaib ini. Sadar tidak digubris, Babeh telepon beberapa hari sekali, masih terkait kemping dan perabot ligna.

Ada sekelebat perasaan tidak enak yang saya tangkap, tetapi saya mencoba untuk melupakan itu.

Saat anak kedua saya lahir, Babeh dengan bersusah payah menahan diri tidak mencolot ke Jakarta dan mengikuti instruksi saya untuk datang menengok sebulan setelahnya, jadi kami bisa mempersiapkan tempat menginap untuk Babeh, mengingat kala itu, saat kasus covid sedang tinggi-tingginya, mencari hotel tidak lah mudah. Saya dan suami gedubrakan mencari perabot merk ligna yang dimaksud Babeh. Kami mencoba googling dan mencari toko yang menjual perabot Ligna. Memang merk ini sangat ternama di jaman dulu, tapi tidak lagi sekarang. old fashion. Karena tidak menemukan alamat yang menjual perabot merk Ligna, kami memutuskan untuk pergi ke Chandra Karya saja. Kalaupun tidak ada merk ligna, paling tidak style perabotan disana jadul, bisa lah diakui ini ligna! Hehehe.

Di perjalanan menuju Chandra Karya, kami melewati gedung bertingkat dengan logo Ligna yang cukup besar. Sudah excited ingin mampir kesitu, setelah mendekat ternyata gedung tersebut tutup dan ada spanduk "di jual". Semoga ligna dalam bayangan Babeh hanyalah sebutan general untuk furniture. Semacam orang Indonesia yang menyebut aqua untuk air mineral, dan Indomi untuk mi instan.

Babeh berencana datang ke rumah saya di Bulan Desember dan tadinya saya berharap bisa merayakan ulang tahun Babeh. Sayangnya, tidak terlalu pas. Menjelang hari ulang tahun babeh, kondisi hectic sekali, dan saya hampir lupa. Baru teringat di pagi harinya, saya terhentak memori penyesalan tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ibu saya, dan itu menjadi ulang tahun terakhirnya.

18 Desember 2020. Malam hari, Babeh mengirimkan video sedang tepuk tangan dan nyanyi-nyanyi sendiri dengan mata berbinar ingin memotong kue ulang tahun yang saya kirimkan-baru sampai di malam hari, karena saya baru pesan di pagi harinya. Dengan wajah khas gembira melihat makanan, Babeh berguman, coba kalau ada cucu-cucu disini, bisa potong kue bersama.

Beberapa hari setelahnya, Babeh datang ke Bekasi. Cukup senang mendapati perabot Ligna sudah ada di rumah saya. Meja makan dan kasur yang saya pastikan merk-nya tidak bisa terbaca dengan jelas😂. 

Babeh, sang kritikus dan manajer ulung, gerah sekali melihat kamar yang tidak punya kaca dan gantungan baju. Bagai tamu yang complain, Babeh ingin kabur keluar, mencari toko perabotan. Namun, saya larang dengan alasan protokol kesehatan. 

Teringat saat-saat menjelang Ibu saya meninggal, saat saya pulang menemui Ibu untuk terakhir kalinya, piring pecah, dan lampu di plafon ruang tengah dengan sangat ajaib tiba-tiba meledak pecah. Tidak seperti itu. Tidak ada kejadian apa-apa saat Babeh berkunjung ke Bekasi. Satu-satunya kondisi tidak biasa adalah suasana Bekasi saat Babeh datang yang benar-benar dingin sejuk. Rasanya seperti sedang di Boyolali, bukan di Bekasi.

Tahun 2021 yang heboh sekali

Memasuki tahun 2021, ujian bertubi-tubi datang menerjang keluarga kecil saja. Dinyatakan positif covid, dan rumah kemasukan pencuri. Babeh yang sangat prihatin dengan kondisi saya menelepon, menanyakan bantuan apa yang saya perlukan. Sambil sesenggukan saya hanya mempertanyakan mengapa diuji seberat ini, dan saya minta maaf kepada Babeh. Mungkin selama ini saya terlalu sering marah-marah ke orang tua. 

Babeh, di ujung sana, tidak berkata-kata dan langsung menutup telepon. Di akhir suara salam terdengar bergetar dan saya yakin saat itu Babeh menangis. Dipikir-pikir, ini satu-satunya moment saya meminta maaf kepada orang tua, sayangnya, untuk pertama dan terakhir kalinya. Sungkem saat lebaran, karena sedang ada banyak orang, mungkin jadi berbeda esensinya. 

Tidak berapa lama dari telepon tersebut, datang paket dari Babeh, berisi laptop almarhum Ibu. Babeh tahu laptop kerja dan laptop untuk anak saya nonton video selama saya kerja ikut digondol maling. Babeh cukup sadar diri tidak punya uang untuk membelikan laptop baru untuk saya. Jadi laptop ini dikirim untuk saya pakai, sementara saya mengumpulkan uang untuk beli laptop baru.

Setelah berkunjung ke rumah saya, Babeh ribut sekali bilang ingin mengunjungi kakak saya yang ada di Bandung. Wajar, sudah satu tahun lamanya tidak bertemu cucu. Setelah perdebatan sengit melarang Babeh naik kendaraan umum, akhirnya Babeh datang dengan menyetir mobil sendiri. Perjalanan ke Bandung ditempuh sesaat setelah Babeh mendapatkan dosis pertama vaksin. Setelah ngeyel tidak semangat vaksin, akhirnya mau juga. Sayangnya, setelah vaksin, jadi jumawa.

Tidak hanya ke Bandung untuk menengok cucu, lepas dari situ, Babeh roadtrip bersama kakak dan adiknya. Mendatangi beberapa orang dan diakhir dengan kondangan acara lamaran sepupu. Saya dan kakak yang was-was hanya bisa mengingatkan dan mendoakan Babeh dijauhkan dari virus corona.

Dua minggu setelah rangkaian perjalanan ini, saya mendapat kabar Babeh tidak enak badan. Demam dan batuk. Mengingat bagaimana Babeh ngotot mendatangi saya dan kakak, rasanya langsung tidak enak. Firasat. Kondisi yang sama juga terjadi sesaat sebelum ibu saya meninggal. Beliau roadshow ke rumah saya, kakak, dan saudara lainnya. Semacam pamit.

Well, berusaha tidak berfikiran negatif, saya dan kakak mencoba membujuk Babeh untuk berobat. Babeh yang ketakutan terkena virus corona, tidak mau cek ke dokter. Alasannya, ini hanya batuk biasa. Selain itu sudah swab antigen dan negatif.

Corona dan penanganan yang kurang tepat

Selang beberapa hari, saya dan kakak mendapat kabar bahwa batuk Babeh semakin parah. Babeh, mulai enggan mengangkat telepon karena susah bicara. Kala itu, saya dan kakak mencoba mengerahkan segala upaya untuk membujuk babeh ke dokter. Rasanya ingin langsung mencolot ke semarang dan menyeret babeh ke dalam mobil untuk dibawa ke dokter. Sayangnya tidak semudah itu. Saya dan kakak ada di luar kota dengan anak-anak kecil yang masih menyusu, tidak bisa ditinggal begitu saja. Pada titik ini saya menyesali mengapa orang tua saya tidak punya anak laki-laki yang jelas tidak mungkin berada dalam kondisi hamil atau menyusui.

Satu minggu yang penuh kegelisahan. Saya kirimkan oxymeter untuk memastikan Babeh memang hanya batuk biasa, tidak sesak. Setelah akhirnya mau cek, ternyata saturasi oksigen hanya 82%. Saya hanya bisa meratap sambil terus membujuk Babeh untuk pergi ke rumah sakit mencari pertolongan. Keesokan harinya, Babeh mengirimkan foto dengan masker oksigen. Belakangan saya mendapat cerita, bahwa Babeh lari ke rumah sakit terdekat dengan ojek online, dalam kondisi saturasi hanya 70%. Mukjizat, Babeh masih bisa naik ojek. Orang pada umumnya sudah tidak akan sadar. Tidak perlu dibahas disini, saya langsung berdoa sepenuh hati, semoga Allah melindungi Bapak ojek yang membawa Babeh.

Masuk ke rumah sakit seadanya di dekat rumah, dengan kondisi saturasi 70%, Babeh di rawat di kamar inap biasa. Rumah sakit ini tidak memiliki SOP penanganan covid yang baik. Babeh dibiarkan tidak ganti baju sejak datang dan perawat hanya masuk ke ruangan 3 kali sehari. Babeh yang kesulitan dengan posisi terbelit infus dan oksigen akhirnya nekad melepas oksigen dan pergi ke kamar mandi setiap ingin BAK dan BAB.

Saya yang merasakan ketidak beresan ini hanya bisa mencoba mengontak ruang perawat, memohon-mohon bantuan untuk Babeh, paling tidak dibantu agar bisa ganti baju. Syukurlah, Kakak saya bisa pergi ke Semarang dan membawakan beberapa kudapan untuk para suster. Babeh akhirnya bisa ganti baju dan celana, pertama kalinya, setelah 3 hari dirawat.

Dalam kondisi ini saya kembali merutuki, andaikan Ibu saya masih ada. Sepertinya Ibu saya bisa menyeret Babeh lebih awal, untuk mendapat pertolongan yang semestinya, paling tidak pergi ke rumah sakit yang lebih jelas prosedur penanganannya.

Beberapa hari dirawat, Babeh minta dikirimi berbagai macam minuman instan, water heater, gelas kertas, dan pampers. Juga laundry baju dengan jumlah persis seperti yang diminta Babeh. Tidak boleh kurang dan lebih karena Babeh akan marah kalau tidak sesuai.

Saya dan kakak mencoba memenuhi semua permintaan itu dari jarak jauh. Terima kasih pada pihak-pihak yang sudah rajin sekali bikin aplikasi. Saya bisa mengirim ini dan itu untuk Babeh di Semarang, hanya dengan menggerakkan jempol saja dari Bekasi.

Lima hari berjalan perawatan, Babeh tidak lagi bisa menjawab telepon. Sekali telepon yang terangkat, terdengar suara Babeh sedang mengerang kesakitan, dengan suara pelo dan meracau. Mencoba kontak ruang perawat, info yang saya terima, Babeh sedang pusing luar biasa. Tapi kondisinya baik-baik saja. 

Bagaimana mungkin baik-baik saja. Tadinya bisa terima telepon dan berdiri. Ini hanya bisa tiduran. Jangankan berdiri, berbicara saja sulit.

Sangat saya sayangkan, permintaan saya untuk rujuk Babeh ditolak mentah-mentah oleh RS tersebut. Alasannya, mereka masih bisa menangani Babeh. Memang dalam kondisi terlalu bodoh, sering kali bahkan tidak mampu menyadari kebodohan kita, aku merutuk.

Kondisi Babeh semakin menurun, dan memburuk. Masih dirawat di ruang rawat biasa. Setelah berkali-kali telepon dan memohon, dokter penanggung jawab memberikan rekomendasi rujuk. Proses mencari rumah sakit rujukan ternyata juga tidak semudah itu. Setelah sehari semalam mencari rumah sakit rujukan, akhirnya, Babeh mendapat slot di ICU RS SMC, rumah sakit andalan keluarga saya.

Babeh dirujuk tengah malam dan masuk ICU dengan kondisi saturasi 50%. Mendapat kabar Babeh dirujuk, saya memutuskan segera pergi ke Semarang, karena tidak ada keluarga yang mengurus Babeh disana. Setelah berunding dengan Kakak, diputuskan, saya giliran pertama, dan Kakak akan bergantian jaga nantinya.

Perjalanan malam dengan mobil pribadi yang saya pikir bisa dilalui dengan saya tidur menghemat energi, ternyata yang terjadi adalah ketegangan luar biasa. Suami menyetir dengan kondisi sangat kelelahan dan kami terburu-buru ingin cepat tiba di Semarang. Di tengah perjalanan penuh istigfar dan mohon keselamatan, saya mencoba kontak dengan ICU. 

Saya takut sekali, harus menjadi focal point keluarga untuk ICU. Saya tidak tahu harus menjawab apa, dan apakah saya sudah cukup dewasa untuk menjadi narasumber keluarga pasien. Beruntungnya, telepon saya diterima oleh staff rumah sakit yang sigap dan ramah. Sangat berbeda dari suara Seseorang -yang saya ingin beri ucapan terima kasih karena menemani Babeh rujuk, tapi sekaligus rasanya pengen saya pentung,hahaha-, dokter jaga ICU memberi penjelasan dengan sangat tenang, dan menyarankan saya untuk datang ke ICU pagi hari saja, setelah saya beristirahat.  

Syukurlah, setelah berkali-kali berhenti karena suami mengantuk, kami berhasil sampai Semarang dan masuk ke kamar hotel di seberang rumah sakit. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Prioritas kami adalah tidur, sekitar 2 jam, agar ada tenaga untuk menangani urusan RS esok hari.

Hari berikutnya, saya bertemu dengan dokter paru senior yang complain mempertanyakan mengapa Babeh baru dibawa ke RS saat kondisi sudah seburuk ini. Babeh harus mendapat terapi obat dewa dan plasma konvalesen.

Perjuangan mencari plasma dan membeli obat ini benar-benar menunjukkan bahwa orang-orang baik itu ada di Dunia. Dan yang lebih penting, pengingat bahwa tidak untuk semua hal, uang bisa berbicara. Perkara plasma konvalesen ini contohnya. Kami harus kontak ratusan relawan donor, puluhan yang menjawab, belasan yang akhirnya datang ke PMI untuk mencoba donor, dan hanya dua orang yang lolos screening. Itupun masih beruntung, banyak cerita lainnya, sama sekali tidak berhasil mendapat donor yang lolos screening.

Tiga kantong plasma konvalesen dan 3 dosis obat dewa berhasil dimasukkan ke badan Babeh. Babeh merespon dengan baik. Tekanan darah mulai normal, dan bisa video call menanyakan tas.

Sehari setelahnya perawat menginfokan Babeh complain hanya diberi makanan cair lewat infus. Babeh ingin makan makanan biasa. Babeh ingin makan. Babeh dan makanan, sesuatu yang tidak terpisahkan. Kalau sudah bisa ingat makanan, berarti memang membaik.hehehe.

Seminggu dirawat, setiap hari saya olah raga jantung, deg-degan setiap ada telepon atau pesan pendek dari ICU. 

Kala itu Bulan Ramadhan. Paska sahur adalah waktu dimana saya berusaha tetap terjaga. Di jam itu, biasanya update dari ICU datang. Melihat progress membaik, saya bermaksud kembali ke Bekasi. Bergiliran jaga dengan kakak saya. 

Saya memutuskan untuk datang ke ICU, meminta video call dengan Babeh melalui handphone perawat karena Babeh tidak diijinkan memegang handphone. Memang video call kali itu saya bermaksud pamit secara implisit, karena saya berencana kembali ke Bekasi keesokan harinya.

Begitu video muncul, terlihat Babeh yang berwajah segar ceria. "Kamu masih di Semarang? Kamu masih di Semarang?" "Iya beh, aku masih di Semarang. Babeh yang semangat yaa biar cepat sehat". Tak tega saya mengatakan pamit akan pulang ke Bekasi. Saya hanya mengatakan bahwa kakak saya akan datang juga ke Semarang. Tidak sampai 1 menit lamanya, telepon diputus. Babeh kembali sesak bila terlalu banyak bicara.

Dengan hati tenang saya meninggalkan ICU. Masih di perjalanan menuju rumah, ada telepon dari ICU. Babeh minta dikeluarkan dari ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Bosan katanya.

Saya mengatakan pada perawat untuk menyampaikan pada Babeh bahwa semua biaya ditanggung pemerintah. Saya pikir Babeh tidak mau di ICU karena terpikir anak-anaknya berat menanggung biaya.

Begitulah siang dan sore, hingga malam berjalan. Tidak ada firasat apa-apa. 

Dan tibalah pagi itu

Keesokan paginya, lepas sahur, saya tetap terjaga, tapi kali ini untuk bersiap pulang ke Bekasi. Setelah selesai solat subuh, telepon masuk. Dari ICU.

Di ujung telepon perawat panik menanyakan saya ada dimana, dan meminta segera ke rumah sakit. Semenit kemudian, telepon lagi dari ICU, meminta izin pemasangan ventilator.

Detak jantung nol dan saturasi 20%. Saya menyetujui pemasangan ventilator. Saya bergegas bersiap, bersama suami mengangkut dua anak yang masih terlelap.

Selang 10 menit kemudian, kembali telepon dari ICU. Lebih tenang, hanya menanyakan saya ada dimana dan meminta secepatnya datang ke ICU.

Setibanya di ICU, setelah menunggu sekitar 5 menit, dokter jaga menghampiri saya. Meminta saya melihat layar monitor. Saya pikir, dokter akan menunjukkan kamera CCTV yang menampilkan Babeh. Tidak, ternyata bukan itu. Layar monitor berisi beberapa kotak dengan banyak grafik. Dokter meminta saya untuk melihat kotak nomor 7. "Ibu, Bapak ada di kamar nomor 7. Ini grafik monitor jantung dan nafasnya. Tadi kami coba angkat dengan pacu jantung dan ventilator, tapi tidak merespon. Pupil mata sudah tidak merespon". Saya menjumpai grafik-grafik datar di layar itu. Suara dokter membuyarkan pikiran campur aduk di kepala saya. "Nyuwun sewu Ibu, boleh saya nyatakan sekarang ya. Di pukul 7.30".

Babeh pergi untuk selamanya.

Ternyata begini rasanya, berdiri di rumah sakit, sendiri, untuk menerima persetujuan pernyataan pasien meninggal. 

Saya tidak menangis. Sama sekali tidak bisa menangis. Hanya terfikir secepatnya mengabari suami yang menunggu di mobil, bejibaku menghandle satu balita dan satu bayi 5 bulan yang kelaparan belum sarapan pagi. Selanjutnya mengabari Kakak yang berada di Bandung.

Tak terbayang bagaimana dulu Babeh dan Kakak menghadapi hal yang sama saat Ibu meninggal. Bedanya, saat itu kondisi biasa. Paling tidak bisa langsung mengumumkan di RT untuk meminta bantuan tetangga menata rumah, menerima tamu.  Yang ini kondisi tidak biasa. Selanjutnya yang terfikir hanyalah, bagaimana cara pemakamannya. 

Selama ini saya hanya melihat di TV sekilas gambaran pemakaman jenazah dengan status positif corona. Tapi saat harus mengurus itu sendiri, saya tidak tahu harus melakukan apa. 

Rumah sakit menyerahkan sepenuhnya pada keluarga, karena fasilitas pemakamam dari Pemerintah Kota akan memakan waktu yang cukup lama. Saya menelepon Pak Budi. Bapak sepuh sahabat Babeh yang sudah seminggu terakhir ini riwa riwi sibuk membantu mencarikan donor plasma konvalesen untuk Babeh.

"Mbak, maaf, saya sama seperti mbak, tidak punya pengalaman, jadi saya juga tidak tahu bagaimana prosedurnya. Saya kesana dulu saja njih"

Menutup telepon ke Pak Budi, saya makin tersadar. Ini bukan kondisi biasa. Saya seperti bermimpi, setengah mati memohon diberikan kesehatan, dijauhkan dari corona, karena akan sedih sekali harus melepas kepergian orang tersayang tanpa bisa memeluk untuk terakhir kalinya. Ternyata jauh dari terkabulnya doa, saya harus bergabung dalam kumpulan orang yang berduka akibat corona.

Selang beberapa menit kemudian, perawat datang, menyerahkan APD lengkap. Ibu, kami tunggu Ibu siap, untuk melihat Bapak.

Apa yang harus saya lakukan. Saya coba googling doa jenazah. Sebisa mungkin menghafalkan, dan merutuki kembali kesalahan tiga tahun lalu saat Ibu saya berpulang. Kenapa sudah tiga tahun lamanya, saya tetap lupa menghafal doa.

Satu hal yang membuat saya semakin lemas pagi itu, bukan karena saya sendiri. Tapi pemakaman harus dilakukan maksimal empat jam pasca meninggal. Dan kakak saya tidak mungkin mencapai Semarang dalam waktu secepat itu. Saya mengabarkan ke Kakak untuk bersiap video call, agar ikut menyaksikan Babeh untuk terakhir kalinya. Kalau Babeh masih ada, pasti sudah ribut menunda pemakaman, menunggu anak-anaknya datang. Karena beliau tahu pasti, pasti, sesak sekali rasanya, tidak menyaksikan sendiri. Aku tahu juga Beh, tapi mau bagaimana lagi. Kami ikhlas sampai disini.

Saat masuk, saya hanya bisa istigfar. Doa jenazah buyar entah kemana. Saya hanya terus menerus istigfar sambil tetap berusaha mengarahkan kamera handphone ke wajah Babeh, memastikan Kakak yang rela berbagi layar dengan bude-bude, bisa melihat dengan jelas.

Berbeda dengan perasaan denial saat melihat jenazah Ibu dulu, kali ini saya sadar, itu Babeh. Ya, Babeh yang tidak bisa terlihat tersenyum karena masih terpasang ventilator. 

Di samping ranjang ada meja dengan gelas kertas, water heater, dan sachet kopi instan di atasnya. Sepertinya Babeh tetap ingin menikmati hari-hari terakhirnya, mendekatkan diri padaNya sambil tetap ditemani minuman kesukaannya.

Saya tersenyum simpul. Sedih, tapi saya tahu Babeh baik-baik saja. Lebih baik malah.

Ambulance yang sudah saya pesan membawa peti. Petinya bagus sekali, dengan berbagai lapisan sesuai protokol kesehatan yang sudah disiapkan. Persis seperti yang ada di TV. Babeh muncul dengan kondisi tertutup rapat, tidak bisa dilihat. 

Iring-iringan jenazah hanya terdiri dari mobil saya dan ambulance. Tanpa sirine bahkan ambulance dan mobil saya sempat terpisah lampu merah. Jauh berbeda dibanding pemakaman Ibu yang Babeh siapkan dengan sangat sempurna.

Untuk pemakaman Ibu, ambulance yang terbaik, sirine yang membuka jalan, iring-iringan panjang mobil dan bus wisata besar. Maaf ya Babeh, Babeh harus diantar dengan kondisi seadanya begini.

Ambulance mampir ke rumah. Sudah ada tenda sederhana dan warga yang berkumpul. Solat Jenazah diadakan di jalan, menghadap ke mobil ambulance. Itupun sebenarnya sudah dilarang pemerintah. Saya tidak punya tenaga lagi untuk melarang itu semua. Mencegah tetangga untuk masuk ke rumah sudah membuat saya kelimpungan. Saya masih punya balita dan bayi. Setelah semua ini, kami perlu tempat berlindung menjauh dari kerumunan. Kalau tidak dirumah, dimana lagi.

Syukurlah, makam sudah dipersiapkan. Pengurusan dibantu oleh Pak RT. Menunggu proses penggalian makam terasa sangat lama.

Alhamdulillah, bersamaan dengan adzan solat dzuhur, Babeh kembali ke bumi.

Beruntungnya saya dikelilingi orang-orang baik hati. Yang rela tetap mendatangi untuk menemani keluarga yang berduka. Meskipun jenazahnya positif corona. Saya merutuki sikap hiperbola saya yang melarang Babeh takziyah keluarga positif corona. Padahal bisa jadi keluarga sama sekali tidak ada kontak dengan yang sakit. Kalau tidak ada orang-orang itu, sepertinya saya sudah pingsan saja hari itu.

Selepas pemakaman, kami pulang ke rumah. Tidak ada orang. Rasanya seperti tidak ada apa-apa. Seperti kami pulang dari jalan-jalan saja. Meskipun saya katakan baik-baik saja dan meminta Kakak tidak perlu buru-buru datang, rasanya lega sekali ketika melihat Kakak datang, tidak lama setiba saya dari pemakaman. Mungkin sebenarnya saya tidak baik-baik saja, hanya mati rasa, jadi tidak terasa.

Babeh seolah tahu anak-anaknya tidak cukup cekatan untuk menerima tamu di rumah. Jadi Babeh pergi begitu saja. Meskipun sesak sekali rasanya, kami relakan kebaikan orang tua yang bertekad tidak mau merepotkan anak-anaknya. 

Sore 18 April 2021 yang kelabu. Tapi tak sekelabu saat Ibu tiada dulu. Yang ini rasanya plong

Sampai ketemu lagi, Babeh. 

Rasanya kangen sekali! Meskipun tetap ngeledek, tapi senang sekali waktu Babeh datang ke mimpi dengan wajah cerah ceria pamer bisa makan bakso lagi.hihi! 


Selamat ketemu Ibu, Beh! Selamat makan dan minum enak bersama-sama lagi 😎

1/25/2022

Semua tentang Gajah: Bubu Gajah dan Gajah di Jalanan Ibu Kota

Sepertinya hampir semua orang setuju bahwa melihat dan mengomentari orang lain akan terasa lebih mudah dibanding dengan bercerita tentang-atau memberikan kritik untuk- diri sendiri. Masih kuat dalam ingatan, orang tua saya sering sekali membahas kehidupan orang lain dalam obrolan sehari-hari keluarga. Cerita yang diangkat mayoritas beraura negatif, diakhiri dengan istigfar mohon ampun agar dijauhkan dari kondisi tersebut, dan hamdallah bersyukur bahwa keluarga kami ada dalam kondisi yang jauh lebih baik dari tokoh di cerita itu. 

Sedikit mengingat isi The Danish Way of Parenting, ternyata salah satu hal yang diyakini membuat anak-anak di Denmark tumbuh menjadi orang yang bahagia adalah buku cerita anak yang dibuat sesuai realita. Tidak hanya menampilkan suka, tetapi juga duka, dan tidak jarang memberikan akhir cerita yang sedih. Dipikir-pikir mungkin ini sejalan dengan kebiasaan orang tua saya. Entah sengaja dengan dasar ilmu parenting atau memang tabiat saja suka ngomongin orang (hahaha), kebiasaan ngrasani -membicarakan- orang sedari dini tanpa sadar membuat saya bahagia. Mungkin karena merasa hidup di tengah keluarga yang baik-baik saja, tidak seperti si anu atau si itu yang begini dan begitu. Tentunya kalau harus mengulangi gaya parenting seperti ini saya akan memilih mengangkat pembelajaran dari buku cerita saja, tidak se-ekstrim orang tua saya yang langsung mengutip dari kisah nyata.hahaha.

The Danish Way of Parenting, saya yakin orang tua saya belum pernah baca buku ini
sumber: https://www.goodreads.com/book/show/28815322-the-danish-way-of-parenting

Selain sisi positif menumbuhkan rasa bahagia, kebiasaan mendiskusikan kondisi orang lain tadi ternyata membuat saya sering lupa untuk melihat ke dalam diri sendiri. Setelah hidup mandiri, terlebih saat kedua orang tua sudah tiada, rasanya seperti tertampar-tampar realita. Ternyata, kehidupan saya dan cerita orang tua saya, kok sama sama saja, ahahaha. Terlalu banyak memperhatikan orang lain, khawatir juga yah jadi orang yang tidak tahu diri. Agar kembali berpijak di bumi, mari kita tuliskan tentang diri sendiri kali ini. Mengingat saya tidak punya outstanding behaviour yang cukup menarik diceritakan apalagi dicontoh, mari kita ceritakan kehidupan sehari-hari saya sebagai mamah gajah saja. 

Kehidupan Bubu Gajah

Perjalanan saya menjadi bubu, ibu untuk anak-anak saya, belum seberapa panjang. Baru lima tahun lamanya dimana satu tahun belakangan dengan dua anak, tapi rasanya sudah wow sekali. Kalau sedang lupa diri, sering kali saya merutuki mengapa orang tua saya cepat sekali pergi. Pasalnya, saya ingin tanya bagaimana mereka dulu menghadapi saya. Maksudnya tentu saja mau nyontek cara-cara menghadapi anak yang macem-macem polahnya. Paling tidak agar anak-anak saya bisa merasa seperti saya, tidak sadar merasa punya luka pengasuhan dan kangen bapak ibunya ketika dewasa karena merasa bahagia tumbuh di dalam keluarga.  

Tidak ada yang luar biasa dari kehidupan saya sebagai bubu, kecuali, kehebohan jungkir balik kesana kemari untuk mengurus anak. Mungkin karena saya kurang berilmu untuk mengarungi kehidupan parenting ini. Satu yang bisa saya ceritakan adalah saya merasa cukup dekat dengan anak-anak saya. Si sulung selalu menceritakan apapun yang dilihat dan dipikirkannya, dan si bungsu siap siaga mengendus kedatangan saya di ruang keluarga selepas kerja untuk segera minta pangku atau gendong. Dengan ukuran tubuh mereka yang semakin membesar, rutinitas malam masih saja sama. Sikat gigi, bermain petak umpet, baca buku, dan diakhiri dengan nemplok sampai merem. Maaf posting kali ini penuh kejorokan - tapi bisa dikatakan dua anak ini ibarat fans berat ketek saya. Saya tidur dengan posisi 1/2 badan menghadap ke kanan dan 1/2 badan lainnya menghadap ke kiri karena dua anak saya selalu ingin nemplok dengan posisi saya menghadap ke arah mereka. Kalau sudah begini, sering kali saya iri pada didi nini towok yang bisa punya dua sisi tubuh dan wajah 😝. Setiap malam, dua anak ini tidur dengan sangat nyenyak dibawah naungan ketek saya, seolah tidak peduli pada bubunya yang meliuk-liuk encok. Well, menggerutu tapi pada faktanya ketika harus tidur tanpa anak-anak dengan posisi lurus yang jauh lebih ideal, saya tidak bisa tidur😓.

Setiap hari, ritual malam dan siang hari tidak jauh berbeda. Dua anak nemplok dan praktis saya tidak leluasa pergi kemana-mana. Jangankan berharap ke luar rumah, ke kamar mandipun drama.hahaha.


Induk koala dan dua anaknya, sangat menggambarkan saya
Sumber: http://www.tahupedia.com/content/show/1849/10-Induk-Hewan-Yang-Sangat-Protektif-Terhadap-Anaknya

Ngedumel mengapa punya anak kok nemplokan semua, sibuk mempertanyakan apakah saya akan membesarkan anak-anak yang tidak bisa hidup mandiri tanpa ketek saya, sampai suatu hari di akhir tahun lalu, saya dan suami mengantar si sulung pergi untuk ikut obeservasi sekolah. Diantar hingga bertemu dengan panitia penerimaan siswa baru, tanpa ragu dia melambaikan tangan untuk meninggalkan saya dan baba-nya, mengikuti ibu panitia menuju kelas observasi. Samar dari kejauhan, terlihat dia melepas sepatunya sendiri, meletakkan di rak sepatu, menyapa ibu guru dan anak-anak lainnya, dan dengan sangat gembira mengikuti seluruh proses observasi yang cukup panjang, setengah hari lamanya. 

Bayi gajah yang sudah tidak bayi lagi😢

Kaget dan bersyukur. Bayangan harus membujuk bayi 25 kilo yang menangis tantrum guling-guling di rumput menolak masuk ruang observasi sendiri ternyata sama sekali tidak terjadi. Anak gembira, menyisakan bubu yang terharu mellow. Bayi bubu sudah besar. Setiap moment meliuk-liuk encok dengan anak-anak nemplok sepertinya memang harus benar-benar dinikmati. Ternyata, 5-6 tahun itu akan berlalu dengan cepat sekali. Apalagi kalau mengingat taring bubuzilla yang sering kali muncul di sepanjang hari, duh, rasanya jauh lebih mellow lagi...

Mamah Gajah Pergi Bekerja

Bila peran sebagai bubu saja tidak ada yang istimewa, apa lah menariknya menceritakan saya sebagai pekerja. Tidak seperti peran sebagai bubu yang tanpa cuti, pekerjaan saya memberikan fleksibilitas tingkat tinggi dalam urusan waktu dan keluarga. Seperti banyak pekerjaan lainnya di Indonesia, kantor saya memberikan cuti melahirkan dan cuti berkabung. Mungkin yang sedikit berbeda, saya juga mendapat slot cuti untuk mengurus anak yang sakit dan cuti acara pembaptisan anak. Di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama muslim diartikan sebagai cuti untuk acara sunatan anak. Pada kenyataannya, seringkali untuk berbagai keperluan tersebut saya cukup melapor kepada atasan dan mendapat instruksi untuk izin saja, tanpa harus mengambil cuti. Jadi jatah cuti, apalagi di jaman pandemi ini, jarang sekali habis hingga di akhir tahun. hahaha.

Saya tidak akan menceritakan bagaimana saya bekerja, menangani paper work dan manusia dalam waktu bersamaan adalah hal yang sangat biasa dan tidak cukup istimewa. Satu hal yang membuat rutinitas bekerja saya dua bulan terakhir ini menjadi berbeda adalah ketika saya pindah rumah ke pinggiran kota Jakarta, dan seiring melandainya grafik kasus covid di akhir tahun lalu, kantor saya mewajibkan pekerjanya untuk datang ke kantor lagi.

Naik angkutan umum, seperti bus atau kereta, di kondisi pandemi yang masih abu-abu ini tentunya bukan pilihan terbaik. Belum sepenuhnya beroperasi jadi jumlah armada terbatas, dan membayangkan harus berdesakan dengan orang-orang lain membuat keengganan kembali ke kantor semakin besar. Tidak ada jalan lain, saya harus naik mobil ke kantor. Mengharapkan suami bisa mengantar dan menjemput adalah suatu keniscayaan. 

Saya harus belajar bawa mobil sendiri. 

Bila selama ini duduk di kursi kemudi untuk mengantar anak ke daycare yang jaraknya hanya sekitar 5 KM dari rumah dan hanya melewati jalan-jalan kecil saja sudah membuat saya gemetaran, kali ini, saya harus mengarungi jalanan Jakarta-Bekasi. Sekitar 35 KM panjangnya, melalui tol-tol besar dan jalan layang, sebagian besar diantaranya berbagi jalan dengan supir-supir truk tronton lintas kota antar provinsi. Tak terbayang bagaimana saya harus melakukannya.


Truk dan macet. Setelah duduk di kursi supir, barulah saya paham mengapa suami saya sering kali merutuki perilaku supir truk di jalan😂
sumber: https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4412621/dibilang-mahal-begini-rincian-tarif-tol-trans-jawa-untuk-truk

Percobaan pertama perjalanan ke kantor di hari Sabtu, saat jalanan tidak padat dan didampingi suami. Saya, yang tidak terbiasa nyetir di jalan tol dan lemah dalam membaca peta apalagi mengingat jalan, memerlukan waktu 3 jam untuk sampai di kantor. Pengalaman pertama ini menyisakan sakit punggung dan pundak tegang yang baru hilang seminggu kemudian, itu pun dengan bantuan 2 tube cream pereda nyeri otot dan entah berapa lembar koyo. 

Percobaan kedua, lebih baik. Masih sakit punggung dan pundak, tapi paling tidak sudah berkurang, karena tidak ada suami yang heboh mengomentari saya "ngangkangin" marka jalan atau menyetir terlalu mepet pembatas jalan akibat sibuk berusaha menjauh dari truk tronton yang ada di sebelah saya. Estimasi perjalanan 1,5 jam, berakhir dengan delay 2 jam, menjadi 3.5 jam karena saya salah ambil lajur jalan layang, okelah yang ini masih dimaafkan.

Percobaan ketiga, jauh lebih santai dan mencoba mengisi kebosanan di jalan dengan mendengarkan radio. Perjalanan menjadi sangat menyenangkan, tetapi tetap menghabiskan waktu 3 jam. Saya sibuk tertawa mendengarkan siaran radio sampai lupa melihat peta. Terlewat exit toll. Menuju exit toll itu saja sudah perjuangan tersendiri. Sekarang saya harus berputar, dan mengantri dari awal lagi. Terbayang senyum memukau petugas pom bensin dengan perkataan khas-nya: dari nol ya bu☺ -Alamak, mau pingsan rasanya!😂.

Percobaan keempat, lebih berkonsentrasi, dan yeay! 2 jam saja untuk sampai ke kantor.

Hari kelima saya merasa sudah jauh lebih lihai, bisa pindah jalur di toll tanpa mendapat klakson dari mobil lain, dan menyetir dengan lebih bersahaja. 

Sekarang, di jam-jam sibuk, saya bisa mencapai kantor atau rumah relatif hanya dengan 1,5 jam saja. Bangga, berhasil jadi supir Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), tentunya tidak termasuk ugal-ugalannya yaaa.hehehe

Kepepet adalah faktor pendorong terbesar saya. Sisanya, tentu saja setiap perjalanan harus dipersiapkan dengan baik. Bahan bakar, ban, dan saldo e-toll harus dalam keadaan terisi cukup. Untuk ketiga hal ini, suami adalah supporting system terbesar saya. Dia rajin sekali memastikan mobil dan kelengkapannya siap dipakai sang istri. Mungkin karena terlalu horor membayangkan ditelepon istri yang nangis-nangis jongkok di pinggir di jalan toll, meminta jemput karena kehabisan saldo e-toll.

Mamah Gajah dan Cap Gajah

Tentu saja cap gajah sangat mempengaruhi berbagai peran yang saya jalankan. Seperti banyak anak gajah lainnya, saya merasa senang bersekolah di kampus gajah. Tentu saja terbesit dalam pikiran, saya ingin anak-anak saya kelak juga kuliah di kampus ini, atau paling tidak menemukan tempat kuliah versi mereka, yang membuat mereka sebahagia saya. Peran saya sebagai pekerja juga tidak jauh-jauh dari cap gajah. Entah berapa gajah yang ada di sekitar saya. Saking banyaknya, mungkin lebih mudah untuk menghitung jumlah hewan lainnya saja. Bangga, pasti ada. Namun, sering kali malu juga.  Sudah banyak gajah dari kampus terbaik bangsa yang ikut bekerja tapi masalah bangsa tak kunjung selesai jua. Terlepas dari itu, tidak bisa dipungkiri, membawa label gajah cukup mempermudah saya untuk berinteraksi dalam dunia kerja karena yang ditemui biasanya ya sesama dari dunia gajah juga. Meskipun, gajah juga banyak bentuk dan jenisnya yaaa. Ada yang malu-malu, ada yang malu-maluin, eh itu sih saya aja, tapi relatif lebih menyenangkan lah. Paling tidak bisa dimulai dengan percakapan khas gajah: jurusan apa angkatan berapa. Setelah itu, lanjut mengobrol? Biasanya iya, tapi tidak jarang juga setelah pertanyaan pembuka, saya merasa ingin secepatnya melipir kabur.hahaha.

Penutup




Tentunya akan lebih mudah untuk saya bila judul tantangannya adalah tentang Tetanggamu, Mamah Gajah. Kalau itu sih, saya tinggal mengingat kembali kumpulan kisah obrolan keluarga di masa kecil, pasti lebih dari 500 kata, hahaha. Menceritakan tentang diri sendiri ternyata menantang juga ya. Sambil menulis, melihat kembali apakah hari-hari yang dijalani selama ini sudah cukup berarti. Di balik itu, karena setiap hari berlalu dengan sangat cepat, sering kali kita lupa bersyukur. Duduk sejenak menuliskan cerita ini mengingatkan saya untuk lebih mensyukuri setiap hal yang ada dalam kehidupan saya.