1/31/2022

Surat Untuk Pak Moleo

Dear Pak Moleo,

Terima kasih telah hadir menyambut kami di hari-hari awal kami mulai tinggal di desa. 

Kau tahu, kami datang dalam situasi yang jauh dari kata mudah. Pindah mendadak karena aku harus isolasi mandiri, dimana anakku, terutama yang besar, harus kembali beradaptasi. Awal pandemi sudah memaksanya untuk beradaptasi dari lingkungan daycare yang ramai ceria, menjadi rumah dengan satu teman saja. Ceria masih ada, tetapi bertengkar sering juga. Butuh waktu untuk memahami itu semua, dan kami pindah di saat-saat dia sudah menikmati pertemanannya. Di desa ini, sama sekali tidak ada teman. Jangankan teman, manusia pun jarang terlihat. Adanya hanya berbagai hewan yang menikmati kehidupannya di semak belukar lebat di sekeliling rumah. Terbayang bagaimana rasanya. Orang dewasa saja merasa sulit, apalagi anak seusia dia.

Sang adik, melihat kegundahan kakaknya, tentu saja terbawa suasana. Apalagi bubu yang biasanya selalu siaga, kala itu hanya muncul di waktu-waktu menyusu saja. Itupun tidak terlihat wajahnya. Berbalut pakaian panjang dan masker medis ganda. Hanya menyusu, tanpa cium dan peluk menghangatkan yang biasanya langsung meredakan tangisannya. Sungguh aneh situasi kala itu.

Pasca sebulan kami disini, aku bergabung dalam grup pesan pendek beranggotakan ibu-ibu yang tinggal disini. Percakapan di grup itu isinya ghibah sekali.

"Bunbun baru saja melahirkan, Tom punya istri lagi"

"Chatty itu anaknya Moleo, tapi dinikahi juga sama bapaknya" 

"Eh, Frank sekarang sudah punya istri lagi di komplek lain"

Shock tidak terkira. Apakah aku kurang berdoa memohon perlindunganNya dari lingkungan yang buruk. Mengapa aku disatukan dalam lingkungan yang suka membicarakan orang. Mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tanpa tabu, dan bapak-bapak disini beristri lebih dari satu. 

Belum selesai pikiranku berputar, di lain harinya, muncul berita duka cita.

"Pagi ini Tom meninggal di rumah"

Disusul deretan pesan bernada penghiburan.

Pusing kepala, semuanya tanda tanya. Sambil mencoba menerka-nerka Bu Bunbun, Bu Chatty, Pak Tom dan Pak Moleo tinggal di blok apa nomor berapa. Jadi terpikir juga apakah Pak Tom sudah tua. Memang, karena pandemi, tidak seperti pindahan rumah yang sewajarnya, kami tidah bisa mengundang tetangga datang ke rumah atau mendatangi rumah mereka untuk berkenalan.

Belakangan setelah menerima laporan rutin keuangan komplek, aku tahu. Nama-nama yang aku cari tidak masuk dalam daftar penduduk disini. Kalaupun tinggal disini, mereka tidak diharuskan bayar iuran komplek. Memang, tahun lalu disepakati pembebasan iuran lingkungan untuk warga yang sedang berada dalam kondisi sulit.

Ah, sudah lah. Mungkin lain waktu, kalau pandemi sudah berlalu, aku bisa bertemu dengan mereka.

***

Hari berlalu, percakapan dalam grup itu terasa semakin aneh untukku. 

"Bunbun sedang hamil lagi nih Ibu-ibu"

"Yang hamil kemarin anaknya lima belum selesai menyus"

"Anaknya lucu-lucu loh, abu kuning, putih"

Hayah. Mungkin perpindahan penuh kegalauan ini memang sudah benar-benar mengacau kepalaku. Grup itu membicarakan makhluk sejenismu, bukan sejenisku. Pantas saja diskusi di dalamnya tanpa sensor dan etika manusia.

***

Kamu bukan yang satu-satunya disini. Hampir setiap rumah memelihara makhluk sejenismu. Bukan cuma satu, tapi tiga atau empat. Bahkan ada rumah di ujung sana yang memelihara 19 ekor di luar rumah, dan begitu ada kesempatan berkunjung, kudapati yang 19 itu belum semuanya. Masih ada beberapa lainnya di dalam rumah. 

Dari sekian banyak makhluk sejenismu di sini, anak keduaku hanya suka kepadamu. Belakangan aku tahu. Kamu lah Pak Moleo yang beristri banyak itu. Tidak hanya digandrungi ibu-ibu dari sejenismu, kau juga menarik perhatian anak perempuanku.

Kau satu-satunya yang selalu datang ke rumah di pagi hari dan mengeong memanggil. Bila belum ada jawaban, kau tunggu anakku dengan sabar.  Duduk di teras rumah, berjemur di bawah sinar matahari, atau meringkuk saat cuaca dingin dan sejuk. Setia menunggu anakku jalan-jalan keluar rumah. Tidak hanya menunggu keluar, kau ikut menemani sepanjang perjalanannya. Entah apa yang kau harapkan. Canda tawa penuh kasih sayang, atau sekedar berbagi makanan karena kau lapar.

Sering kali, saat anakku ingin turun dari gendongan, kau bersikap sangat manja. Mendekat atau tidur meringkuk di sekitar kaki anakku. Anakku gembira sekali.

Namun, tidak jarang kau datang dengan penuh luka. Dekil, entah penyakit apa yang ada di tubuhmu. Aku hanya bisa menyingkirkan anakku jauh-jauh darimu. Aku sendiri tidak pernah dan tidak tahu cara memelihara makhluk sejenismu. 

Satu yang aku tahu, aku selalu berangan-angan andaikan ada binatang peliharaan yang bisa dielus lucu, tapi tidak pup dan pipis. sembarangan. 

Ya! seringkali kau pipis sembarangan. Katanya kau hanya ingin menandai teritori. Tapi mengapa? Rasanya sebal sekali kalau kau sudah mulai berbuat begini. Apalagi, di awal bulan lalu kau mengendap masuk rumah tanpa izin, dan menggondol satu-satunya potongan ayam yang tersisa untuk makan malam suamiku. Huhh, rasanya ingin kupentung dirimu.

Melihat aku yang emosi, engkau hanya mengeong dan menggoler manja seperti biasa. Tanpa rasa bersalah menikmati ayam panggang hasil curianmu di depanku. Huff!

Apa lah arti emosiku. Esok harinya kau tetap datang menyambangi anakku. Kau mengeong dan anak satu tahunku mengoceh tanpa kata. Bersaut-sautan, seru kali, tanpa ada yang bisa kupahami. Mungkin begini rasanya orang tua yang ingin nguping anaknya ngobrol apa dengan temannya, apa lagi pacarnya.

***

Hai Pak Moleo, kucing putih bermata biru abu. Kuyakin kau bukan kucing biasanya. Beberapa orang yang melihatmu, kagum. Warna mata yang berbeda menjadikan kau bukan kucing kampung sembarangan. Kucing mahal, kata orang-orang yang bergelut di duniamu.

Apapun itu, hanya satu pintaku. Tolong lah, bersikap baik, bukan hanya kepada anakku tapi juga kepadaku.

Andaikan kau bisa baca suratku ini.

Salam sebel-sebel gimana gitu,

Bubu

Pak Moleo, sungguh iri aku padamu. Saat ku harus bangun dan bekerja pagi-pagi, kau mengeong dan menggoler di bawah sinar matahari

Surat ini ditulis untuk nulis kompakan Mamah Gajah Ngeblog Bulan Januari. Tadinya sih mau kompakan nulis sama Kakak, tapi terlalu sulit untuk merangkum semua itu dengan singkat kata. Jadi ditulis disini saja deh.


11 komentar:

May mengatakan...

haha..ternyata ghibahin kucing ya..kasian nih kucing-kucing mereka pasti kupingnya panas, diomongin terus :D

dewi mengatakan...

Ammpuuunn .... kucing ya teh ; pa Maleo bermata warna beda benar itu bukan kucing biasa.

Salam ya dari Tahu, Tempe, dan Tofu kucing oyen di teras rumahku juga gak boleh masuk dalam rumah.

Lia mengatakan...

Keren ya nama kucingnya.pak Moleo. Di rumah mertua juga banyak kucing, tapi namanya nama lokal; mika, cuplis,dan banyak lagi. Ga terlalu apal,karena bukan penyuka kucing 😃

Andina mengatakan...

:)) seru plot twist nya. Udah mikir macem2 ternyata doi kucing. Kreatif, teh

Dini mengatakan...

Tapi seru itu brarti orang kompleknyaaa, peduli kucing. Soalnya ada juga tuh obrolan grup wa ttg cara gimana mengenyahkan kucing komplek ��

fsrinurilla mengatakan...

Ahahaha. Kreatif pisan emang dah Mamah Ririn.

Aku sempat shock juga pas baca kalau Chatty anaknya Pak Moleo, tapi mau dinikahi juga sama bapaknya. Wkwkwkwk. Sudah macam skandal di salah satu kerajaan di Game of Throne saja ehehe.

Memang ya WAG geng ibu-ibu di tempat baru isinya ghibah semua wkwkwk.

Somehow isi surat Ririn ini ada terselubung kritik sosial dalam hidup bermasyarakat juga ya.

Keren pisan, Ririn :)

ResTu Eka mengatakan...

Ternyata Kuceng :|

aitiiiy mengatakan...

Salam sebel-sebel gimana gitu xD lucu bangetttt tehh.. ternyata kucinggg hahahaha

DIP mengatakan...

Haaaah?? serius ada wag khusus ngomongin kucing?? hihihi beneran kaget bacanya. tapi bersyukur ya ada Pak Moleo jadi teman buat anak juga :)

Mutiara mengatakan...

Seru plot twist-nya, Teh. Walau makin lama makin keliatan siapa Pak Maleo, foto yang ada di akhir beneran kayak buka kotak berisi kejutan 😆.

Risna mengatakan...

hahaha nanti jangan kaget kalau tiba-tiba pak moleo balas suratnya ya, tapi jawabanya pake bahasa kucing. meong meong meong gitu hihihi