11/20/2023

Kegiatan biasa saja

Tidak terasa, memasuki setoran terakhir tahun ini. Prestasi saya adalah satu kali bolong setoran karena ketiduran. Semoga setoran terakhir ini betul-betul bisa disetor, dan di tahun depan bisa meningkatkan prestasi: tidak bolong setoran, atau lebih baik lagi bisa lebih aktif di MGN dan menulis lebih sering lagi. 


Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini bertema Kegiatan Favorit Bersama Keluarga. Mari kita mulai!

Kehidupan Commuter

Seperti kebanyakan commuter Jabodetabek yang menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya di jalan, saya dan suami tentunya sangat menanti-nanti saat-saat kami bisa dirumah. Meskipun tidak seheboh orang-orang yang pergi petang dan pulang sudah petang lagi, tidak bisa dipungkiri bahwa perjalanan menuju dan dari Jakarta itu melelahkan. Lelah mental yang membuat lelah fisik, kata kakak saya yang biasa hidup di Bandung dan langsung sakit keluarga begitu liburan di Jakarta 😂.

Kondisi ini membuat saya menjadi anggota pasukan pulang tepat waktu bila harus pergi ke kantor, dan menerima setiap kesempatan yang ada untuk bisa mobile working. Begitu juga suami saya. Meskipun bukan jurusan Jakarta, ketika pulang tetap saja harus berjubel dengan mobil-mobil dari Jakarta yang pengendaranya sudah lelah. Faktanya, baru kami sadari bahwa kelelahan itu menular, menembus batas pintu mobil dan udara. Mengakibatkan semua pengendara di jalan yang sama jadi ikut lelah juga😁.

Suasana Lainnya

Kebetulan, kami tinggal di daerah yang tidak padat penduduk. Bukan kawasan elite yang luas kavling rumahnya seukuran lapangan bola ya, tapi tidak padat karena masih banyak kavling yang kosong. Dikelilingi pohon bambu, semak tinggi, dan pepohonan besar yang rindang. Pohon besar disini bisa mendukung dua suasana ya, asri dan sejuk atau gelap dan horor. hahahaha. 

Seolah menyeleksi penghuninya, sebagian besar warga yang tinggal disini hobi bercocok tanam. Tetangga sebelah rumah saya adalah sepasang suami istri sepuh yang hobi menanam singkong, ubi, pisang, dan pepaya. Meskipun terkenal daerah planet luar bumi yang punya empat matahari, disini cukup sering saya menjumpai embun di pagi hari. Di pagi hari ada kicauan burung, di siang hari capung-capung berterbangan, dan di malam hari ada suara tonggeret. Saat angin berhembus ada suara derik pohon bambu. Tentu saja lengkap dengan koleksi hewannya. Ular pohon, anak ular (entah jenis apa), berbagai rupa kumbang dan kodok serta katak sudah pernah mampir ke rumah. Pokoknya lengkap sudah seperti sedang hidup di desa.

Dirumah Saja 


Kelelahan di jalan dan kehidupan damai di rumah menjadikan kegiatan favorit keluarga saya adalah Di Rumah Saja. Rasanya seperti masuk ke cangkang dan enggan keluar. Herannya, kedua anak saya sejak pindah kesini juga jadi enggan diajak keluar, lebih memilih untuk dirumah saja. Padahal dulu saat tinggal di tengah kota Jakarta, rasanya tidak bisa diam. Bangun tidur langsung berpikir ke Mall mana kita hari ini. 


Sekarang, mungkin karena jauh dari keramaian kota, kami lebih memilih menghabiskan waktu dirumah. Saya belanja ke pasar melihat sayur-sayuran, penjual kelapa, dan ikan laut segar. Baca buku atau movie time dirumah menjadi asik. Kadang dengan layar besar bila tidak sengaja saya atau suami harus membawa proyektor kantor pulang ke rumah, atau lebih sering dengan TV ukuran biasa yang ada dirumah. Yang jelas movie time  dengan snack selalu menjadi waktu yang ditunggu-tungu oleh anak-anak.

Bila sedang cari kegiatan lain, kami jalan-jalan keluar komplek, menyusuri kebun singkong dan rumah-rumah warga. Tidak jarang kami panen daun singkong atau daun pepaya jepang. Di hari-hari tertentu bisa menikmati pisang kepok kuning atau ubi manis yang dikirim tetangga hasil panen tetangga yang berkebun di sekitar rumah😁. Di lain hari anak-anak main sepeda, atau sekedar kami duduk minum teh di teras sambil angkat kaki mumpung dirumah sendiri, memandangi pohon bambu liar jadi momen yang ditunggu-tunggu. 


Penutup

Begitulah cerita kegiatan favorit keluarga saya. Biasa saja, tidak memerlukan banyak biaya, tapi kami menikmatinya :)







 

10/20/2023

Bermimpi tentang Investasi

Setelah dua minggu sibuk nggak karuan urusan kantor, saya memutuskan untuk rehat. Kemarin rehat terpaksa tanpa rencana karena kantor yang hanya 250 meter dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkepung masa di hari pertama pendaftaran calon presiden dan wakilnya. 

Heboh KPU di dekat kantor (credit foto: Oliver Baudlr)

Tidak bisa menembus kerumunan, jadilah saya putar balik dan pulang. Laptop over heat yang tidak bisa menyala menjadi penanda semesta mengingatkan saya, hidup ini isinya bukan hanya kerja dan kerja saja. Bayar hutang uyel-uyel anak selagi ada yang bisa diuyel-uyel perlu diingat juga.

Hari ini adalah hari rehat yang sesungguhnya saya rencanakan. Sudah diingat-ingat sejak tema diumumkan, akan posting di hari terakhir saja untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober. Kenyataannya, saya malah lupa hari ini tanggal 20. Untung ingat barusan, 5 jam sebelum batas waktu pengumpulan. hahaha


Sudahlah lupa tanggal, temanya susah pula. Susah untuk saya maksudnya, masalah investasi ini saya kibar-kibar bendera putih. Minim ilmu dan tidak punya contoh dari orang tua juga. Orang tua saya golongan tidak neko-neko soal tabungan dan investasi. Cukup menyiapkan tabungan untuk sekolah anak dan naik haji, sisanya untuk menikmati kehidupan hari ini. Ada baiknya, tetapi konsep ini juga belum tentu cocok diterapkan di zaman sekarang.Mumpung terfasilitasi oleh tema tantangan blogging bulan ini, mari kita tuliskan rencana angan-angan investasi yang saya inginkan.

Sepertinya Asik Investasi Properti

Karena nonton serial drama Korea King Hotel, pikiran saya jadi kemana-mana😂. Perpaduan nonton King Hotel dan Live to 100 rekomendasi Teh May membuat saya ingin punya investasi properti.

King hotel, investasi yang menggiurkan (sumber foto: preview)

Karena berencana menjadi pemilik hotel raksasa seperti King Hotel rasanya terlalu ngawur, mari kita alihkan mimpinya ke kos-kosan saja😂. Lebih tepatnya kos-kosan di Bandung yang isinya anak ITB- sangat spesifik boleh kan ya? Hehehe. Jadi Ibu kos rasanya mungkin mirip dengan pemilik hotel. Datang sesekali menengok properti dan menemui para pengguna, memastikan mereka senang dengan pelayanan yang diberikan. Bonusnya, sering ngobrol dengan anak muda alias mahasiswa yang katanya bikin sehat awet muda. Kita boleh menua, tetapi isi kos-kosan yang terus berganti tentunya akan selalu berada di rentang usia anak muda. Sebuah investasi untuk menunjang harapan sampai ke usia senja dengan kondisi masih sehat, mandiri, dan bisa beraktivitas biasa.

Investasi Kebun Sayur agar Pasokan Nutrisi Datang Teratur

Selain rutin berinteraksi, kunci sehat dan tetap mandiri di usia senja ala Live to 100 adalah pada kualitas makanan yang dimakan. Makan sayur segar untuk saya yang tinggal di sebelah Jakarta tetapi sudah masuk area planet lain ini merupakan suatu kemewahan. Mungkin bisa pergi ke supermarket untuk mendapat sayur segar. Tetapi rasanya tentu berbeda dengan berbelanja ke pasar tradisional dan melihat hamparan sayur segar -sesuatu yang lumrah dan biasa saja di Bandung.

 
Investasi kebun sayur (sumber foto: pinterest)

Rasanya ingin sekali investasi kebun sayur. Dalam angan-angan, bisa makan sayur yang baru dipetik dari kebun sendiri tentu rasanya menyenangkan sekali. Bila berhasil menanam dalam jumlah banyak, bisa dibagikan ke tetangga atau dijajakan di pasar tradisional. Membayangkan hidup seperti Pak Ardiwilaga dalam Film Petualangan Sherina yang pertama, pemilik perkebunan sayur di Bandung Utara, rasanya sehat sekali😂.

Agar seperti Pak Ardiwilaga (sumber foto: Di Ujung Langit)
 

Mulai dari Rak Buku dulu

Saya sudah ngaku sejak awal, fakir ilmu soal investasi. Angan-angan dan rencana sih banyak, tetapi sama sekali tidak tahu harus mulai dari mana untuk mewujudkannya. Boleh berangan-angan, tapi jangan lupa kembali ke bumi. Daripada bingung harus berbuat apa untuk mengejar angan, saya putuskan untuk berinvestasi dari hal yang paling membumi: Rak buku.

Investasi paling penting

Rak buku yang saya beli hanya rak biasa, harganya tidak seberapa, isinya pun masih ala kadarnya. Belakangan terisi lebih penuh karena saya mengangkut sebagian besar buku-buku dari rumah di Semarang. Tetapi dari sini lah perjalanan mencapai angan-angan saya harapkan dapat terwujud. Rak ini yang menjadi pengingat sudah berapa banyak buku yang dibaca oleh keluarga saya. Sibuk meracau tidak tahu investasi, sudah ada belum buku tentang investasinya? bila sudah beli, dibaca atau hanya terpajang di rak saja? Sungguh, rak buku adalah investasi paling berharga yang saya miliki saat ini karena dari sinilah investasi-investasi besar lainnya, baiknya yang bersifat materi maupun non materi bisa berawal.
 

Penutup 

Senang sekali berhasil posting bulan ini. Mohon maaf bila isinya meracau ya, Mah. Bicara investasi ini bisa dalam sekali maknanya, dari sekedar nilai ekonomi, hingga ke makna hidup, tergantung bagaimana kita melihatnya. Untuk saya, investasi perlu melihat externality. Bukan hanya dalam nilai uang, tetapi mempertimbangkan hal-hal yang sering kali tidak bisa dinilai dengan uang.
 

9/20/2023

Uang, bukan hanya Uang

Terbesit enggan rasanya untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Menuliskan ujian terberat memaksa kita untuk mengingat kembali, dan untuk saya rasanya seperti menjalani kembali kejadian tersebut. 

Tapi yasudah lah, toh saya sudah deklarasi masuk ke fase sadar, menerima, dan berdamai dengan kejadian-kejadian itu. Pas banget kemarin, saat menulis cerita ini, hari lahir almarhum Ibu, lengkap sudah aura sendu😂. Anggap saja kali ini untuk test the water, cek ombak, apakah betul-betul sudah berdamai?


 

Ternyata hidup bukan hanya perkara uang

Orang tua saya berprinsip anak tidak boleh tau kalau orang tua tidak punya uang. Karena taunya selalu ada uang, sepanjang masa kecil saya habiskan dengan hidup dalam kedamaian. Saya hidup di keluarga yang tidak berlebih, tetapi Alhamdulillah tidak merasakan uang SPP nunggak. Karena bukan orang kaya yang bisa pamer harta, uang SPP yang tidak nunggak adalah pride bagi orang tua saya. 

Ujian terberat justru datang dari sisi sebaliknya. Allah mengingatkan saya, bahwa uang bukan lah segalanya. 

Tempat tidur yang tidak terima kencleng

April 2021. Bapak kena covid dan dirawat seminggu di rumah sakit yang kurang bonafide. Kondisinya memburuk dan akhirnya disetujui dokter untuk dirujuk. Mencari tempat tidur kosong di rumah sakit rujukan ternyata tidak semudah cek saldo di mobile banking yang hanya perlu jempol tanpa urat dahi berkerut dan leher tegang karena spaneng
 
Sungguh saat itu ingin rasanya menghalalkan segala cara. Mencari orang yang berkuasa terhadap kasur-kasur ini dan menyisipkan kencleng sogokan untuknya tanpa harus sabar menanti sistem yang lebih lama down-nya daripada aktif-nya. 
 
Semua orang punya uang, semua orang kena covid, dan semua orang ingin keluarganya selamat. Semua orang rela bayar lebih, bayar kencleng, untuk dapat bed pasien. 
 
Masalahnya, yang harusnya terima kencleng kemungkinan besar juga sedang kena covid. Atau,  mengingat slot tempat tidur diatur terpusat oleh Pemerintah, bisa jadi yang harusnya terima kencleng ini sedang spaneng juga ikut antri slot rawat inap pasien covid😅.

Plasma darah, bukan Plasma TV

Saat harus mencari plasma konvalesen untuk Bapak, ingin sekali kukeluarkan uang seperti saat ingin transaksi plasma TV. Kalau perlu ambil pinjaman di bank, untuk beli 2 kantong plasma kualitas super yang diminta dokter plus extra charge untuk pengantaran kilat boleh juga. 
 
Masalahnya, tidak ada toko yang jual. Plasma yang dicari ini harus diambil dari darah ex pasien covid, yang antibodi covidnya masih bagus, sembuh dalam waktu kurang dari satu bulan, dan belum pernah hamil. Terlihat mudah mengingat pasien covid jumlahnya ribuan. Kenyataannya, dari ratusan orang yang kontak dengan kami dan bersedia donor, hanya puluhan yang lolos screening awal dan datang ke PMI, dan tidak ada yang berhasil donor plasma di 2 hari pertama pencarian kami. 
 
Emosi bercampur rasa tidak percaya. Ternyata ada kondisi dengan variable diluar kontrol yang sebesar itu. Baru sekali saya alami. Hanya satu yang bisa dikontrol, usaha kita untuk melangitkan semua doa. Alhamdulillah 3 kantong plasma dari 2 pendonor berhasil didapat di hari ketiga pencarian, setelah menambah kontak dengan 100 orang lainnya. 

Satu Lagi yang Tidak Bisa Dihubungkan dengan Uang

Suatu pagi yang cerah di Kota Padang, saat saya berkemas untuk kembali ke rumah setelah 2 malam dinas.

"Bub anak-anak demam nih. Tadi jam 4 tiba-tiba muntah semua."

"Demamnya tinggi nggak? Lemes? Makan minum mau? Semalam gimana?"

"Semalam baik-baik aja. Mulai naik, tapi nggak tinggi sih. Masih mau sarapan."


 
"Bub, aku bawa ke RS aja ya."

"Kenapa?"

 
 
"Aku udah di RS, dokternya baru ada siang. Aku ke IGD aja ya."

"Demamnya makin tinggi?"
 

"Bub, adek kejang. Barusan berhenti tapi terus sekarang kayak nggak sadar. Mas tiba-tiba jatuh di lantai, lemes nggak bisa berdiri"

"Flight attendance take-off position."

****
 
Ini bukan perjalanan belasan jam ke belahan dunia lainnya. Hanya menyeberang Selat Sunda 1,5 jam lamanya. Rasanya seperti menunggu berkali-kali rotasi bumi. 1,5 jam yang penuh prasangka dan menghadirkan trauma dinas ke luar kota. 1,5 jam penuh isakan. Sungguh, saya cetek soal ketahanan terhadap ujian kehidupan. Hanya 1,5 jam saja rasanya sudah ingin kibar-kibar bendera putih. 


 


8/20/2023

Meniti Jalur Kereta untuk Mencari Keinginan

Gemas rasanya karena gagal memenuhi ambisi tahun ini ikut tantangan MGN dan voting setiap bulan. Penyebabnya karena bulan lalu saya baru mulai menulis dan blogwalking mepet di hari deadline, tentu saja berujung ketiduran di detik-detik proklamasi😞. Mulai mencicil blogwalking dan menulis posting di H-2 deadline adalah prestasi saya di bulan ini. Sekecil apapun perbaikan, selayaknya tetap kita apresiasi dan semoga yang ini sukses nggak ketiduran 2 malam berturut-turut😂.

 

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini bertema Keinginan yang Masih Ingin Dicapai Mamah. Sama seperti ketika harus menuliskan tentang hobi, saya yang jarang baca ini tidak punya cukup ide untuk memikirkan keinginan. Apalagi berkaca pada orang tua saya yang keduanya berpulang tanpa meninggalkan banyak drama, sepertinya hidup di dunia cukup yang biasa-biasa saja. Harapannya hanya ada dua: naik haji dan menikahkan kedua putrinya, setelah itu memang betul-betul selesai di dunia😀.

 

Keinginan di Jaman Dulu

Dulu, saya punya impian untuk jalan-jalan keliling Indonesia. Itupun hasil nyontek terinspirasi kakak. Selepas lulus S1 dia ikut proyekan dosen dan jalan-jalan keliling Indonesia. Sepertinya seru sekali. Alhamdulillah impian saya untuk nyontek jejak kakak satu-satunya terwujud. Muko-muko, Masohi, Morowali, Mamuju, Morotai, Tobelo, intinya yang saat belajar Geografi di SMP dulu rasanya tidak ada nama-nama daerah ini.

Searah jarum jam: Tiba-tiba diminta berangkat ke Kolaka via Makassar dengan flight tengah malam, keluyuran di jalanan cari penginapan dapat bonus pisang epe dan palekko iti; Ke pantai pakai kemeja? tentu saja sudah biasa; Foto siluet ala pemuda pemudi di pelabuhan Tobelo; Sejenak kabur ke Morotai untuk lihat tempat mandi Arthur Douglas MacArthur, hampir tidak bisa pulang karena badai di tengah laut, dan dapat bonus standar pantai meningkat jauh😂

Satu yang saya sayangkan, kenapa saya tidak merencanakan jalan-jalan ke luar negeri dulu. Bukan karena tidak ada contekan yah. Kakak saya sudah melanglang buana entah ke negara mana saja. Saya yang kudet menolak tawaran S2 ke luar negeri dan lanjut menikmati alam Indonesia. Ketika berkerja, punya 2 anak, dan tidak berbakat menyisipkan acara tamasya dalam agenda dinas kantor, saya baru sadar, ingin sekali rasanya jalan-jalan keliling dunia, tentunya sekarang dengan suami dan anak-anak.

 

Mari Jalan-jalan Lihat Kereta!

Ketika impian sudah ada, saking tidak tahunya,  saya bahkan masih bingung harus mulai dari mana. Satu dari hanya sedikit buku yang berhasil saya baca adalah buku cerita tentang Kereta milik anak saya.   

Big book, big dream
 
Anak pertama saya memang fans berat kereta. Mungkin karena dulu kami tinggal di dekat rel KRL dan hampir setiap hari dia naik kereta. Bapak masinis, suara klakson cess oongg, jurusan kereta, dan sekarang beralih ke seri gerbong kereta apa, dibuat dimana, di tahun berapa, bergerak dengan teknologi apa. Melihat sorot matanya yang berbinar ketika lihat kereta, sepertinya menarik juga jalan-jalan keluar negeri untuk mencari berbagai macam kereta.

 

Lihat Big Boy di Amerika

The Union Pacific Big Boy merupakan salah satu kereta pertama yang menggunakan lokomotif uap di dunia. Bekerja untuk mengangkut batubara dari pertambangan milik Pacific Union di Wyoming, sebuah negara bagian Amerika Serikat. Lokomotif uap kereta Big Boy merupakan yang terpanjang dan terberat di dunia. Konon lokomotifnya mampu menarik hingga 100 gerbong yang bermuatan!
 
Bersyukur juga Indonesia tidak punya kereta seperti ini di Jakarta. Tidak terbayang antri lampu merah Kalibata menunggu 100 gerbong untuk lewat, berapa jam lamanya😂.
 
Sayangnya, kereta yang beroperasi sejak jaman perang dunia kedua ini sudah tidak lagi melayani rute operasional regular. Sebagian besar lokomotif aslinya bisa dilihat di museum transportasi di Missouri, Colorado, Pennsylvania, Wisconsin, atau Texas. Ada satu lokomotif seri 4014 yang saat ini dioperasikan oleh Union Pacific hanya untuk tour dalam acara khusus saja. Okelah, mari kita pergi Wyoming kalau begitu!

 

Pergi ke Inggris Bertemu Green Arrow

Ada yang suka nonton Thomas and Friends? Saya baru tahu, ternyata tokoh kereta disini tidak semuanya fiksi. Percy, kereta hijau sahabat Thomas yang baik hati, ternyata adalah Green Arrow- kereta kuno jaman perang dunia kedua😂. Karakter Percy cukup tepat menggambarkan Green Arrow yang sesungguhnya. Si kereta yang tidak bisa diam karena bisa melaju dengan cepat dan sering dimintai tolong untuk  mengantarkan surat. Green Arrow didesain untuk menjadi kereta cepat pengangkut penumpang yang beroperasi di jalur antara London dan Doncaster, Inggris. Saking bagusnya performance kereta ini, akhirnya digunakan juga untuk mengangkut barang yang perlu cepat sampai ke tujuan. 
 
Percy and it's reality

Sejak tahun 1962 kereta ini sudah berhenti melayani rute reguler dan hanya digunakan untuk keperluan tour saja. Di tahun 2008, kereta ini benar-benar berhenti beroperasi dan disimpan di Shildon. Saat ini lokomotifnya disimpan di Museum Doncaster's Danum, tapi hanya hingga tahun 2024 😕. Yah, baiklah. Kalau begitu, marilah kita pantau akan dipindahkan kemana lagi teman Thomas yang satu ini.

 

Boleh Juga Mampir Ke India, Naik Gunung dengan Kereta

The Darjeeling Himalayan Railways adalah kereta penumpang yang melayani rute antara New Jalpaiguri dan Daerjeling di India. Kereta ini mendaki pengunungan Himalaya, mulai dari 100 meter hingga mencapai ketinggian 2.200 meter diatas permukaan laut. Namanya juga mendaki gunung, rute rel kereta ini melintasi tepi tebing dan jurang, namun ada juga bagian jalur anti mainstream yang berada di tengah pasar. Mungkin seperti trem di Eropa, tapi sepertinya sulit membayangkan keduanya serupa. Kereta Darjeeling benar-benar melintas diantara lapak-lapak pedagang di pasar, bisa dikatakan tanpa ada jarak. Untuk menjaga ekspektasi bersama, lebih baik tidak ada yang memikirkan buffer safety zone disini😂. 
 
Saya harus berfikir dua kali sebelum memilih kereta ini sebagai stepping stone impian jalan-jalan saya. Suatu hari, salah satu channel TV menayangkan liputan reporter yang mencoba jalan-jalan naik kereta ini. Masinis duduk di lokomotif terbuka tanpa pelindung kepala, persis seperti kereta mini di mall -padahal rutenya di kaki Pegunungan Himalaya, mungkin hangat-hangat saja untuk yang sudah biasa😨. Kereta ini bergerak dengan bahan bakar batubara, dan kehabisan bahan bakar di tengah jalan adalah hal yang biasa😂. Mudah-mudahan, tiap habis pas posisinya nggak di pinggir tebing dan jurang banget yah😂.   
 
Mamah bosan naik mini train sama anak di mall? bisa coba versi lebih menantangnya di Pegunungan Himalaya😬

Kereta yang disebut juga The Toy Train ini masih beroperasi hingga sekarang. Memang benar, less worry more healthy😂. Kereta-kereta tua lainnya yang terlalu banyak dipikirkan ini itunya malah sudah berhenti beroperasi. Meskipun agak-agak ceritanya, tak apalah, tidak ada salahnya kita coba. Sambil bawa obat tensi, dan banyak berdoa. Toh sepertinya penumpangnya baik-baik saja😂.

 

Penutup

Sebetulnya masih banyak kereta menarik lainnya. Ada The Ghan di Australia dan ada Flying Scotchman, si Gordon teman Thomas, di Amerika juga. Naik Trans-Siberian Expert dari Moscow ke Rusia bagian timur pun layak untuk masuk jadi daftar keinginan. Belum lagi mencoba naik Maglev, kereta dengan magnet. Rasanya seperti pergi ke masa depan lihat benda ajaib dari kantong doraemon😯. 

Cukuuuup, cukup sampai di sini atau akan berujung ketiduran dan gagal submit lagi😂.
 
Bersyukur sekali dengan tema tantangan bulan ini. Hitung-hitung menyicil bikin itinerary versi makro, agar saat tiba-tiba ada rezeki sudah tidak bingung lagi.  Sekarang aku tahu, aku ingin jalan-jalan ke luar negeri lihat berbagai macam kereta! 

Ngomong-ngomong, Mamah sudah pernah naik kereta apa saja mah? 

6/20/2023

Rumah kesayangan, bunker penyimpan sejuta kenangan

Aneh sekali rasanya. Baru sekarang saya menyadari, salah satu hal yang paling menakutkan adalah mengingat kembali kenangan di masa kecil. Berat sekali rasanya untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini. Tapi demi pencapaian hidup paling hakiki tahun ini: tidak bolos setoran tantangan, marilah kita beranikan diri. Meskipun memang benar kata Teh Uril: Tidak sesimpel itu, Ferguso!


 Dan benar saja, baru mulai mengetik paragraf pembuka, saya sudah sesenggukan nggak karuan.

 

Rumah kesayangan

Saya lahir dan menghabiskan masa kecil hingga lulus SMA di Semarang. Tinggal di sebuah rumah pemberian kakek untuk ibu, berlokasi di bagian barat kota, dulu dikelilingi kebun jambu biji. Dulu, di bagian depan penuh sekali dengan tanaman suplir dan kuping gajah koleksi ibu. Biasanya ibu akan bertaring bertanduk ketika ada kucing numpang buah hajat di atasnya atau daun kuping gajah tiba-tiba krowak jadi kudapan ayam tetangga.
welcome home!
Ukuran memang relatif. Saat pindah ke ibu kota dan berkeliling mencari rumah (yang affordable), kusadari ternyata rumah ini besar sekali😂

Tentu saja foto diatas adalah penampakan rumah setelah mengalami banyak perubahan. Konsep rumah tumbuh benar-benar dijalankan oleh orang tua saya. Dulu, di bagian depan hanya ada teras seuprit yang selalu becek kalau hujan dan setiap belajar kelompok di rumah selalu ada teman yang kejengkang. Saking umpel-umpelannya duduk di teras kecil itu😂. Di depan teras ada pohon mangga harum manis. Buahnya manis, besar, dan tentu saja setiap panen cukup untuk dibagikan ke tetangga se-RT. 
 
Bapak dan ibu meletakkan meja kursi kayu di teras itu. Maksudnya semacam modal untuk mengharap doa, ada yang ngapelin anak-anaknya. Sayang, yang terjadi tidak ada proper ngapel yang benar-benar terjadi. Kakak saya punya pacar dan bolak balik diantar mas-mas pulang kerumah saat SMA, tapi rasanya tidak ada yang cukup berani untuk duduk disitu lama-lama sambil diintrogasi orang tua. Saya? nggak pernah punya pacar euy😪. Jadilah kursi teras ini hanya dipakai untuk ngapel oleh kucing-kucing tetangga😂

 

Ruang tamu, arti tetangga untukmu 

Seperti rumah jadul pada umumnya, rumah orang tua saya punya ruang tamu yang cukup longgar. Tamu bisa duduk santai menghabiskan berjam-jam untuk mengobrol disini. Hangat, akrab, dan nyaman. Tidak seperti rumah saya jaman sekarang yang rata-rata tidak punya ruang tamu.hehehe.
 
monggo, monggo pinarak
Silahkan duduk, kata bapak ibu
 
Memang, mereka sedekat itu dengan tetangga. Saat tinggal disana, yang terlihat hanya tamu datang dan pergi silih berganti. Di ruang ini, bapak saya biasa menerima bimbingan mahasiswa dan ibu saya -yang entah mengapa selalu terpilih jadi bendahara PKK RW- menerima tamu untuk transaksi keuangan. Saat kedua orang tua sudah tiada, baru kami tahu, tetangga-tetangga kami sayang sekali dengan rumah ini. Bahkan posesifnya melebihi kami anak-anaknya yang pernah tinggal disana😂.

 

Kamar, tempatku berubah wujud  

Maaf, bukan mau sombong. Tapi saya termasuk anak berprestasi dulu (perlu bold dengan garis bawah untuk menghindari bias😂). Juara bayi sehat saat batita, juara pesantren ramadhan saat balita dan usia TK, juara murid teladan saat SD, ketua osis dan juara lomba pramuka saat SMP, lanjut juara lomba palang merah remaja saat SMA. Bisa masuk ITB juga bisa dihitung prestasi lah ya, hahaha.
 
Lain di luar lain di dalam. Diluar saya garang tegar dan berprestasi. Di rumah saya anak kolokan yang selalu minta diladeni dan bobok di ketek ibu. Kamar tentu saja menjadi secret comfort zone dimana saya menghabiskan waktu dengan mengunci pintu lalu mengamuk ketika merasa terganggu. Nangis berteriak, nendangi tembok sambil nduduti sprei. Penyebabnya bisa apa saja. Permintaan yang tidak dikabulkan orang tua, ditegur orang tua, atau malas ikut les privat. Guru les sudah datang dan saya kabur mengunci pintu sembunyi di kamar. Teriakan saya ketika ngamuk ini bisa terdengar oleh satu gang RT. Dipikir-pikir kok bisa yaaaa, bapak ibu sabar sekali. Kalau saya yang ada di posisi mereka, rasanya $#!!$#$#%!!!😓.
 
  
Meja belajar di kamar, sekarang ukurannya tampak kecil sekali. Saya bisa menggelar semua buku pelajaran dan latihan soal disini, dulu.
 
Bapak yang selalu self claim bukan sekedar pengajar tapi juga seorang pendidik, selalu menekankan pentingnya meja belajar untuk anak. Kamar dengan meja belajar harus siap sebelum anak masuk sekolah. Belajar, membaca buku, dan menulis di meja dengan posisi tegak duduk di kursi.
 
maaf ya beh, mas masuk SD bulan Juli ini tapi kamar sama meja belajarnya belum siap, jangan marah ya beh. lagi disiapin kok😔.
 
Tentunya bapak yang aliran super jadul belum mengenal konsep sekolah alam dimana anak-anak belajar sambil ndlosor di lantai. Belum tau aliran mana yang lebih baik. Yang jelas, meja ini menjadi saksi bagaimana saya mencapai impian masuk sekolah kebanggaan. Bermodal menghafal jawaban soal karena tidak terlalu pintar, di sinilahsaya menggelar segala buku contoh soal, sambil mendengarkan radio dari boombox. Berharap kecengan kirim lagu dan salam, meskipun dalam kasus ini harapan tak pernah menjadi kenyataan😂.

 

Makan, makanan, kehangatan, dan kegendutan

Makan adalah source of happiness keluarga saya. Bapak ibu hobi makan, dan menurun ke anak-anaknya. Ibu tidak hobi masak. Hanya masak kalau kepepet, itupun menunya indomi rebus dicemplungin sayur atau telur ceplok. Ada asisten yang bertugas masak makanan atau kami jajan keluar kalau ingin makan istimewa. Tidak seperti belajar, bapak menerapkan gaya bebas untuk makan. Meskipun punya meja makan, hanya bapak yang biasa makan disitu. Piring, serbet makan, dan wijikan -kobokan- selalu tersedia untuk bapak. Saya dan kakak lebih sering makan di depan TV, duduk di lantai atau di sofa.
Lauk disajikan di meja makan ini. Tumis buncis intil-intil jantung pisang, mangut manyung, dan terik daging. Kangennya😓
 
Meskipun tanpa table manner bapak ibu selalu mewajibkan kami makan. Harus sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Ibu akan menyuapi saya yang buru-buru pakai seragam dan sepatu sekolah. Entah mengapa tidak ada yang namanya sarapan dengan roti atau oatmeal di jaman itu, jadi menunya nasi atau indomi. Sepulang sekolah segelas susu sudah menunggu di meja makan. Disajikan dengan gelas dunkin donat bulat, berisi susu kental manis dengan campuran serbuk milo yang akan dihujat netizen kalau diberikan ke anak-anak jaman sekarang😂.     
 

A space you call it home

Hari ini, tiba waktunya untuk saya dan kakak melepas rumah kesayangan. Berat sekali rasanya, sedih seperti saat orang tua berpulang, tapi terasa jauh lebih berat karena kita sudah diberi tahu kapan waktunya akan tiba. Terlalu indah untuk diakhiri, tetapi lebih buruk lagi bahkan kalau tidak pernah terjadi. It's not only house, I call it home. Rumah yang meskipun fisiknya nanti tidak ada lagi, tetapi rasa-nya akan selalu ada di hati. Mengisi celah ruang yang tidak pernah akan terganti, kubawa untuk bersanding dengan cerita indah selanjutnya😊.   
 
 

 
 

5/20/2023

Oseng Kerang, seperti Cinta yang Hilang

Cukup menantang juga untuk memikirkan makanan favorit saya. Sulit, karena saya suka makan. Sama seperti teh Anggunbagi saya di dunia ini hanya ada makanan yang enak dan atau enak sekali. Sisanya adalah sesuatu yang sama sekali tidak bisa dimakan dan saya anggap itu bukanlah makanan, hehehe.  

 


Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei 2023 ini memaksa saya untuk mendata ulang makanan-makanan enak kesukaan saya. Menghasilkan daftar panjang, yang mungkin bisa memberikan inspirasi untuk buka usaha kuliner, atau untuk merintis youtube channel bertema makanan enak untukmu mamah.

Proses looping untuk menelusuri daftar panjang makanan enak dan enak banget menghasilkan satu keputusan makanan favorit yang punya cerita dalam kehidupan saya: oseng kerang pedas.


Setelah cukup sulit mencari karena tidak punya koleksi pribadi, sepertinya foto di channel cookpad mbak Dini Rahmawati ini yang paling mewakili

Jatuh Cinta pada Percobaan Pertama

Yup! oseng kerang, bukan tumis kerang. Menurut saya, kata oseng lebih pas untuk menggambarkan bagaimana citra rasa masakan ini. Sangat njowo dan ndeso. Dimasak dengan wajan tua yang pantatnya gosong dan menimbulkan aroma sangit. Wajannya bekas memasak berbagai rupa makanan lainnya dan entah sudah berapa hari tidak dicuci😆.  Jelas, yang model begini memperkaya khasanah rasa. Gurih, pedas, manis, dengan aroma bumbu dapur komplit khas masakan jawa. Melekoh, kalau kata Ibu saya.

Saya pertama kali makan oseng kerang ini di Semarang, kota masa kecil saya. Memang, selain terkenal dengan soto ayam, Semarang juga dikenal dengan masakan kerangnya. Kota Semarang memang dekat laut. Anehnya, saya lebih sering makan ikan bandeng, mujaer, atau lele. Pokoknya ikan-ikan yang didapat bukan dari laut. Selain itu, ada juga sih mangut. Tapi masakan ini menggunakan bahan dasar ikan manyung atau iwak pe (ikan pari) yang diasap. Jauh dari bayangan seafood fresh from the ocean, hehehe.

Satu-satunya makanan laut segar yang cukup mudah ditemui di Semarang adalah kerang. Saya jatuh cinta dengan oseng kerang yang dibawa oleh Ibu sepulang mengajar di SMA 13 Semarang. Dibeli dari warung kecil di area Mijen. Selain oseng kerang, ada juga belut pedas. Saya masih usia SD kala itu, hah heh hoh kepedesan, tapi entah mengapa enak sekali dua masakan ini. Bisa nambah nasi berkali-kali, mungkin juga ini yang menjadikan saya anak SD kategori ginok-ginok pada jamannya.

Bertemu lagi di Bandung

Saat kuliah di Bandung, tentu saja saya tidak lagi bisa menikmati sajian kerang pedas yang dibeli di Mijen. Terlalu jauh, dan saat itu belum ada P**el yang bisa kirim frozen food dalam semalam sampai. Kalaupun sudah ada, tentunya ibu saya lebih memilih mengantarkannya sendiri sembari sidak anak mahasiswa yang cuma jawab sekecap kecap kalau ditelepon tiap hari😢. Karena tinggal jauh dari kampus dan belum menyadari besarnya penghematan uang bila bawa bekal makan siang dari rumah, tentunya setiap hari saya lalui dengan jajan. ke Kantin Bengkok atau Tambang kalau sedang punya uang, lari ke Salman kalau akhir bulan, dan mengiba ke CC barat bagian kemahasiswaan untuk minta kupon makan kalau sedang super penghematan. 

Alangkah bahagianya saya hari itu, ketika menyambangi kantin Salman dan ada lauk kerang pedas kesukaan saya. Rasa duo bawang, cabai yang menggigit, aroma lengkuas dan sereh, serta rasa manis yang ringan. Semakin bahagia karena setelah sampai di kasir saya hanya perlu bayar delapan ribu rupiah. Sudah dapat sepiring besar oseng kerang dan sayur sup tanpa bakso. Perfect Combo!

Di lain kesempatan, saya pergi lagi ke kantin Salman dengan harapan bertemu si kerang pedas pujaan hati. Sayang sekali, dia tak muncul lagi, mungkin se-ITB hanya saya yang doyan kerang pedas😕. 

Selain di dalam kampus, saya juga hobi makan di sekitaran Dago. Bukan, bukan mau gegayaan. Alasannya cuma karena saya rajin numpang duduk atau tidur di kos teman saya, menunggu kelas selanjutnya yang terkadang jedanya cukup panjang tetapi nanggung untuk pulang ke rumah yang jauh. Kos teman saya ada di dekat Warteg Kharisma Bahari, jadilah saya cukup sering keluar masuk warteg ini. Disinilah saya menemukan kembali oseng kerang kesukaan saya. Masakan warteg khas jawa yang rasanya cenderung manis, dan tentunya dengan harga ramah di kantong. Beberapa hari berikutnya, saat saya kembali makan di warteg ini, oseng kerang konsisten selalu ada. Sejak saat itulah saya baru sadar, ternyata oseng kerang pedas kesukaan saya adalah makanan khas warteg😁. 

Pencarian Panjang di Ibu Kota

Mudah sekali untuk menjumpai warteg di Jakarta. Teringat kembali pada oseng kerang pedas dan berbekal keyakinan bahwa masakan ini adalah menu wajib yang ada di warteg, masuklah saya ke satu warteg di daerah Jakarta Selatan. Hore, ada oseng kerang pedas! hap hap hap, tanpa banyak berpikir, saya makan dengan lahap. Sepiring besar nasi dengan oseng kerang pedas dan sup sayur. Ditambah es teh, rasanya menyenangkan sekali. Mengulang kembali perasaan bahagia ketika makan di kantin Salman dan di Dago. Citra rasa otentik yang saya yakini kebenarannya, karena kelihatan sekilas bagian belakang warteg ini jorok sekali. 

Namun sodara-sodara, kebahagiaan tak selalu bisa berlangsung selamanya. Dua hari setelahnya, saya sakit perut dan diare akut. Ibukota mengajarkan kepada saya, bahwa serupa tapi tak sama itu memang benar adanya😂.

Mencoba Peruntungan

Minggu lalu saya pulang terlambat dari kantor. Karena macet luar biasa, saya putuskan untuk turun bus lebih awal. Berjalan kaki dengan perut lapar, saya tertarik untuk masuk ke sebuah warteg yang ada di pinggir jalan. Tertulis besar-besar di depannya: Resto Warteg Kharisma Bahari, Resto ala Warteg.

Wah, menarik. Barangkali ada oseng kerang kesukaan saya, semoga tanpa drama sakit perut. Dilihat sekilas dapur di belakang arena penyajian sangat bersih. Bangunannya juga dicat apik dengan bangku-bangku baru. Tidak seperti warteg biasanya. Sayangnya, yang ini bukan warteg yang sesungguhnya. Tidak ada oseng kerang kesayangan saya disana😪.

Penutup

Demikianlah cerita saya menjelang deadline. Merupakan prestasi untuk saya bisa bertahan tidak ikut ketiduran di saat anak-anak sudah tidur. Semoga bisa konsisten untuk ikut tantangan setiap bulan dan yang terpenting, semoga menghibur mamah-mamah semua yaa.
 
     

4/14/2023

Sapi Boyolali selalu di Hati

Boyolali adalah kota yang akan pertama kali muncul di kepala saya ketika ada pertanyaan: kota mana yang paling berkesan untukmu. Bukan, bukan karena ada segudang prestasi dan atraksi hingga turis lokal dan mancanegara berduyun-duyun datang, namun, Boyolali mengukir memory tersendiri untuk saya. Ayah saya berasal dari Boyolali, dan pergi ke Boyolali menjadi ritual tahunan keluarga kami saat lebaran tiba. Kali ini saya tidak mau cerita bagaimana kami menghabiskan waktu saat lebaran di Boyolali, karena selain akan mengandung mewek bombay, juga tidak sesuai dengan tema tantangan yang harus saya tulis. Yups, tulisan ini saya buat untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan April 203 dengan tema "Landmark kota yang ingin atau pernah dikunjungi".


Kota Kecil Mempercantik Diri

Boyolali saat ini tidak sama seperti dulu. Dulu, pergi ke Boyolali berarti saatnya kami mengunjungi Tirta Tlatar untuk mandi di kolam renang mata air asli, ke Janti untuk makan ikan di pemancingan, ke belakang stadion untuk makan soto Boyolali, antri di depan mbok penjual bubur tumpang untuk sarapan, dan tentu saja menyambangi Koperasi Unit Desa (KUD) untuk mengisi jerigen-jerigen kosong dengan susu sapi segar. 



Soto, susu segar, dan bubur tumpang, icon Boyolali untuk saya

Deretan makanan diatas sebetulnya paling cocok untuk dijadikan icon kota kecil ini. Sayangnya, kalau dilanjutkan bahas yang tadi, tema tantangan blogging harus bergeser. Bukan landmark, tapi mellowmark #mulai maksa

Sekitar 7 tahun yang lalu, Boyolali berbenah. Satu kawasan yang diharapkan dapat menjadi pusat kegiatan masyarakat mulai dibangun, menyatukan gedung pemerintahan, pusat perniagaan, dan juga lapangan luas semacam alun-alun dalam satu tempat. 

Layaknya alun-alun yang sesungguhnya, Boyolali juga menempatkan icon pada lapangan luas ini. Bila alun-alun di banyak kota lainnya menempatkan pohon bringin sebagai pemandangan utama, warga Boyolali memilih menempatkan sapi raksasa sebagai icon yang tak kan terlupa.


Lembu Sora

Yess, Lembu Sora namanya. Sapi raksasa yang duduk menggeletak dengan santai, seolah tidak punya masalah hidup. Sangat menggambarkan kehidupan damai ala Boyolali.

Lembu Sora

Saya tidak banyak tahu tentang sejarah, jadi tergelitik juga mencari tahu, kenapa Lembu Sora yang dipilih sebagai icon. Dari hasil googling kilat, Lembu Sora adalah tokoh pemberani di kerajaan Majapahit, yang punya loyalitas sangat kuat pada Raden Wijaya. Okelah, mungkin Boyolali punya harapan besar pada warganya untuk menjadi pemberani dan loyal kepada daerahnya. Tidak salah lagi, memang orang-orang Boyolali ini dimanapun dan kapanpun bangga sekali dengan daerah asalnya. Berani, lugas, supel, itulah karakter umum orang-orang Boyolali. Jadi ketika disebut orang Boyolali, sepertinya ada asumsi bahwa otomatis kita memiliki sifat-sifat itu, padahal sih ya belum tentu.hehehe. 

Susu Segar Boyolali

Pertanyaan selanjutnya, kenapa icon sapi yang dipilih, apakah karena Lembu Sora itu literally seekor Lembu? Mungkin mamah-mamah pembaca ada yang gemes banget dan ingin segera komentar menceritakan lebih detail tentang Lembu Sora. Meskipun belum pernah lihat Lembu Sora versi pahlawan di cerita sejarah, patung Lembu Sora di alun-alun Boyolali ini memenuhi bayangan imajinasi saya tentang Sapi Perah. Sapi penghasil susu segar Boyolali, yang bisa saya teguk tanpa berhenti hingga habis 1 Liter dalam sekali minum.

Susu segar Boyolali jaman dulu, memang enak mah. Untuk saya yang pecinta susu dan sudah kenal susu segar Boyolali, begitu datang ke ITB dan minum susu segar di gerbang belakang, rasanya terkhianati sekali🤣. Di Boyolali, susu segar biasanya kental. Bila setelah direbus kita diamkan di dalam gelas, akan muncul lembaran lemak di permukannya. Saya menyebutnya langit-langit susu. Ayah saya yang sejak kecil tinggal di Boyolali selalu bangga menceritakan langsung minum susu yang baru selesai diperah. Saya sendiri belum pernah. Selalu minum hasil perahan yang dijual KUD, dan pastinya sudah dicampur air. Tentu saja meskipun sudah dicampur air, tetap bisa kita sebut susu yaa..bukan air bau susu.hahaha

Kembali lagi ke Lembu Sora

Boyolali, sejak dulu kala memang identik dengan sapi. Yang jelas sejak dulu ada 1 patung sapi di dekat pasar induk, dan 1 patung sapi di dekat Kridanggo, fasilitas olah raga dan penyimpanan benda peninggalan purbakala. Saya yang masih bocil kala itu, senang sekali lihat patung sapi. Ukurannya tidak terlalu besar. Mungkin Lembu Sora hadir untuk menjadi induk patung-patung sapi yang sudah ada.

Sebetulnya Lembu Sora ini adalah sebuah gedung. Semacam education center, berisi hall dengan kursi berbentuk teater dan layar besar yang bisa menyajikan informasi terkait Boyolali untuk pengunjung. Saya sendiri waktu main ke sana tidak sampai masuk ke dalam. Karena datang malam hari, saya lebih tertarik untuk mendekat kepada tukang ronde, sambil menghibur anak saya yang ingin naik odong-odong.

Bapak saya bangga sekali ada gedung sapi ini. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh banyak warga Boyolali lainnya. 

Saya sebetulnya masih bertanya-tanya, apakah memang sapi perah menjadi icon yang tepat untuk Boyolali. Memang susu sapinya jadi favorit saya. Tapi, setau saya tidak ada peternakan profesional yang memang bisa memproduksi susu berkualitas baik dengan skala besar disana. KUD tempat saya biasa membeli susu mendapat pasokan dari petani perseorangan, yang mengantarkan susu dengan sepeda. Bisa terbayang bagaimana kapasitas produksinya. Yah, mungkin sapi raksasa ini dibuat sebagai pengingat, sapi perah adalah potensi Boyolali, peternak sapi tradisional perlu dibina dan dikembangkan, bukan dimusnahkan.

Terlepas dari kehidupan sapi perah -eh peternaknya- di Boyolali, cukup menghibur pergi ke pusat kebupaten ini. Ada odong-odong unlimited naik sakpuasmu dengan hanya membayar 5 ribu rupiah saja, dan tentunya deretan tukang ronde yang diatur rapi dan diperbolehkan berjualan disekitar area Gedung Lembu Sora. Meskipun belum bisa mengidentifikasi filosofi dibaliknya, melihat Lembu Sora saya langsung terbayang, sosok ramah, banyak teman, sekaligus besar, kuat, berwibawa, dan  siap menyeruduk siapa pun yang mengganggu, benar-benar seperti orang Boyolali lah pokoknya 😄.

Ketika orang Boyolali menatap masa depannya

Penutup

Sekian cerita dari saya, yang dibuat dengan sangat berdedikasi selama perjalanan pulang di bus, dan sambil berdiri menunggu gojek di pinggir jalan. Silahkan mampir ke Boyolali, minum susu segar dan mampir ke alun-alun untuk ketemu Lembu Sora ya mah!

3/03/2023

Toaster ala ala mempermudah segalanya

Soal bagaimana memanggang roti

Salah satu perdebatan paling fenomenal antara saya dan suami yang berlangsung sejak awal nikah adalah apakah kami perlu punya toaster atau tidak. Suami dengan cita-citanya yang ingin menikmati kehidupan damai sentosa di pagi hari, nyeruput teh sambil sarapan roti tawar bau-bau gosong dengan permukaan garing, ingin sekali punya toaster. Masukin roti ke toaster, tinggal duduk sambil baca koran atau nonton TV tanpa harus berpikir, dan menunggu roti yang muncul keluar dari toaster tampaknya menjadi tujuan hidup beliau yang paling hakiki. Kenyataannya, pagi hari dengan satu toddler yang nemplok dan satu anak TK yang belum mandi padahal 5 menit lagi dijemput mobil sekolah tentu saja jauh dari ekspektasi. 

Saya, dengan pengalaman ikut pramuka sejak SD hingga SMA, berpendapat bahwa segala hal bisa dilakukan dengan satu alat saja yang kami sudah punya: teflon. Yes, teflon biasa yang harganya nggak mahal juga. Dengan kengawuran saya dalam memasak, pan teflon ini bisa alih fungsi jadi wok, pot, steamer, atau lainnya. Jadi kalau cuma perlu untuk panggang roti, yah itu sih memang sudah apa adanya fungsinya.

Kembali lagi ke pagi hari yang hectic

Meskipun tinggal di pinggiran Jakarta, yang disebut orang-orang adalah planet lain dengan dua matahari saking panasnya, ada empat dari enam isi rumah kami yang hobi sekali mandi pakai air hangat. Sayangnya, hampir 2 tahun terakhir ini water heater belum bisa kembali dipasang sehingga kami harus merebus air dengan kompor setiap mau mandi. Selain itu, ada dua anak dan satu bapak yang tidak terlalu hobi makan salad atau apapun yang tidak dimasak, menambah daftar panjang deskripsi pekerjaan kompor kami. 

Kompor dengan dua tungku ini sibuk sekali, terutama setiap pagi. Menyiapkan sarapan, bekal, dan air panas untuk mandi. Bukan hanya mendidihkan air, tapi juga kepala mamak, terutama kalau tiba-tiba ada request dadakan yang muncul pagi-pagi, semacam: aku nggak mau telur rebus mau pancake aja. Bikin adonannya mungkin nggak seberapa, tapi nungguin manggangnya itu yang perkara, dan kompornya penuh juga. hedeh!

Demi claim punya toaster

Saya mensyukuri banyak hal yang terjadi dalam hidup saya, satu diantaranya yang paling saya syukuri adalah keputusan impulsif untuk membeli alat panggang sederhana yang ditawarkan oleh salah satu grup Jastip milik anggota ITBm. Niatnya murni membahagiakan suami, meskipun roti-nya tidak bisa lompat keluar sendiri seperti yang ada di angan-angannya, saya sudah bisa claim kita punya toaster-alat untuk membuat roti panggang. Murah meriah, hanya 90 ribu rupiah saja. Dengan sistem pre order, dipesan dari China, dan seperti dugaan, waktu dibuka manualnya tidak bisa saya baca. Sebetulnya saya tidak punya ekspektasi tinggi saat membeli barang ini. Too good to be true, sudah siap kalau sama sekali nggak bisa dipakai, hanya berharap jangan bikin konslet listrik di rumah saja.



Toaster yang dibeli dengan impulsif

Ukurannya kecil, cocok dengan keterbatasan ruang di dapur saya. Meskipun awalnya bingung karena tidak ada tombol dan tulisan keterangan apapun, ternyata penggunaannya sangat mudah. Cukup mengaitkan lempeng alas pemanggang hingga menempel ke besi pemanasnya lalu sambungkan ke sumber listrik. Alat ini akan menyala dengan sendirinya dan mati otomatis ketika suhu sudah terlalu panas (biasanya saat makanan di dalamnya sudah matang). Ada beberapa jenis lempeng pemanggangnya, untuk toaster, takoyaki mini, dan waffle. Karena harus dibeli terpisah saya memutuskan hanya beli dua. Dengan asumsi waffle bisa dibuat dengan cetakan toaster, sungguh emak-emak tidak mau rugi.   

Lifehack: pemanggang serba guna

Karena sudah punya alat ini, here we go! Praktik life hack sarapan praktis yang sering muncul di video iklan sosial media rasanya menjadi lebih dekat dengan kenyataan dan bukan hanya angan-angan. 

Egg-toast adalah percobaan pertama. Sukses besar! semua suka dan makan dengan bahagia. Selanjutnya French-toast, wow hidup terasa lebih mudah. Lebih advance, pancake dan waffle, bisa. Saat iseng saya bikin takoyaki berbagai isi yang dilahap oleh anak kicik dengan penuh suka ria. Tentu saja, selevel dengan alatnya, resepnya juga ala-ala ya, hahaha. Entah semakin jago masak atau semakin ngawur, saya masak telur dadar dan ceplok, juga beef teriyaki, dengan alat ini. 

Akhirnya bisa sarapan dengan menu bervariasi tanpa kepala mamak ngebul. Tanpa banyak berusaha, tidak perlu kompor, dan yang paling penting: bisa ditinggal. Masak dengan teflon juga minim usaha, tapi kita harus selalu ada di depannya. Entah sudah berapa kali makanan gosong karena saya lupa sedang masak dengan teflon. Terbantu sekali ada alat ala-ala ini. Masukkan semua bahan lalu tinggalkan, lima menit kemudian matang.

Ala-ala selalu ada ceritanya

Yah namanya juga barang murah mah, syukur-syukur nggak bikin listrik konslet. Kalau sesekali suka lupa mati saat sudah panas, dimaafkan lah ya. Iya mah, otomatisnya suka nggak jalan tiba-tiba. Memang bukan kehidupan namanya kalau semua berjalan terlalu mudah. Saat semesta kurang bersahabat, atau si toaster ingin istirahat, makanan yang saya masak gosong saat saya tinggal telalu lama. Memang baru sekali sih si toaster ngebul dalam 1 tahun pemakaian ini. Karena sudah sangat berjasa menghilangkan kebulan di kepala, jadi aku tetap cinta.  

Penutup     

Demikianlah cerita singkat dari saya yang dibuat untuk ikut Tantangan MGN Bulan Maret dengan tema life-hack yang mempermudah hidup, semoga menghibur dan barangkali menginspirasi mamah-mamah lainnya. 




        
 


  
 

2/20/2023

Balada anak sakit dan percaya diri sendiri

Hobi pergi ke dokter

Anak sakit adalah problematika hidup paling pelik bagi sebagian besar mamah-mamah di muka bumi ini. Tidak semua, tapi saya adalah satu diantaranya. Nggak bohong, saya mengaku paling cemen  kalau sudah menghadapi anak sakit. Masa anak intens sakit dalam kasus saya selalu terjadi saat usia anak 1-3 tahun. Karena ada 2 anak, jadinya semacam siklus berulang untuk saya. Di Indonesia, sangat lah mudah bagi pasien untuk menemui dokter, bukan hanya dokter umum tetapi juga lompat langsung ke dokter spesialis. Entah ini berkah, apa musibah.hahaha

Saat anak pertama berusia 2 tahun, hampir setiap hari kamis saya izin kantor untuk mengantar anak ke dokter. Izin datang terlambat, izin datang siang bolong, atau izin tidak masuk sekalian saking tidak bisa membayangkan, baru datang dan duduk 5 menit kok sudah tiba waktunya pulang. Kantor saya saat itu menumpang di kantor pemerintahan dengan jam kerja yang tidak fleksibel. Boleh kerja lewat dari jam 5 tapi AC dimatikan, sebuah tool yang efektif untuk mengingatkan orang Jakarta agar tidak terlalu gila kerja. Lepas dari itu, mana bisa mamak lembur saat anak sakit. Sampai di kantorpun bukannya membuka file kerjaan, malah googling "obat alami meredakan batuk anak" atau "terapkan ini bila ingin anak tidur nyenyak saat hidungnya tersumbat". Pada akhirnya, tidak satupun tips di laman tersebut pernah saya terapkan karena keburu panik duluan.

Datangnya pandemi dan serentetan pengalaman kurang asik yang dibawanya membuat tekad saya untuk lebih bijak dan tenang ketika anak kedua sakit belum bisa berjalan dengan mudah. Lebih heboh lagi, bukan hanya membawa satu anak ke dokter, tapi juga harus membawa keduanya. Karena -mama you know it lah ya- memisahkan adik yang batuk dari kakak yang sehat sedangkan ibunya cuma ada satu adalah suatu kesulitan yang hakiki. Tahun lalu, saya habiskan dengan bolak balik ke IGD membawa 2 anak yang sakit, kira-kira 10 hari sekali. Iyes, IGD! karena anak dengan keluhan batuk-pilek-demam sejak ada pandemi tidak boleh masuk ke klinik anak. Setiap mengabari teman kantor rasanya mengada-ada sekali, sebulan empat kali ke IGD. 

Bukan hal aneh lagi untuk saya melihat perawat IGD dengan ekspresi takjubnya, "Ibu bukannya minggu lalu sudah kesini?" dan dokter anak yang awalnya melayani dengan penuh kasih, hingga akhirnya hanya berusaha keras meyakinkan kalau anak saya baik-baik saja. Tidak perlu obat, tidak perlu treatment, apalagi opname. 


Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog edisi kali ini bertema buku yang berpengaruh besar dalam hidup saya. Diantara buku-buku yang berhasil saya beli baca, buku ini cukup berhasil menggiring saya untuk tobat.hahaha

How to Raise a Healthy Child in Spite of Your Doctor

Mengembalikan fungsi orangtua

Ditulis oleh Robert S. Mendelsohn, seorang dokter anak legendaris Amerika yang juga berprofesi sebagai pengajar. Sependek pemahaman saya yang gampang banget terkagum-kagum ini, membaca profil penulisnya cukup membuat saya meyakini bahwa buku ini berdasar pada pengalaman panjang penulisnya, bukan hanya sebatas teori belaka. 

Seperti tertampar rasanya membaca chapter awal yang berkali-kali menuliskan bahwa diagnosa paling akurat saat anak sakit hanya bisa dilakukan oleh orang tua atau orang yang merawat anak tersebut. Bagaimana penyakit bisa dideteksi secara sederhana dari perubahan tatapan mata dan ekspresi wajah anak, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang sehari-hari mendampingi anak tersebut. 

Dulu, kita mengenal konsep dokter keluarga. Seorang dokter yang mengenal betul keluarga kita, dari sisi riwayat penyakitnya dan tidak jarang sampai ke personalnya. Bukan hanya sok kenal sok dekat, ternyata begitulah seharusnya dokter bekerja, bukan hanya pemeriksaan 5 menit tetapi juga mempertimbangkan riwayat pasien dan keluarga. Tidak hanya ada untuk memberikan obat, dokter keluarga juga memberikan dorongan semangat dan kehangatan. Ketika usia sekolah dasar dan bolak balik batuk demam, saya hanya sembuh ketika dibawa ke dokter keluarga, dokter Niken namanya. Baru antri di bangku panjang putihnya saja saya sudah sehat, entah bagaimana mekanisme kerjanya.  

Sebisa mungkin menghindarlah dari dokter

Bagian-bagian selanjutnya dari buku ini menggambarkan bagaimana mengerikannya praktik kedokteran anak saat ini, dimana treatment yang tidak diperlukan -dan sebetulnya memberikan efek negatif lebih banyak daripada penyakitnya sendiri- sering kali diberikan dan tidak disadari oleh pasien. Mulai dari obat-obatan, tes urin, cek darah, hingga x-ray yang ternyata berbahaya bila dilakukan berlebihan. Kembali lagi ke bagian melankolis, buku ini mempertanyakan kemampuan diagnosa penyakit oleh dokter yang bahkan tidak tahu siapa nama pasien yang sedang ada di hadapannya. Merunut lebih jauh, buku ini menggambarkan keprihatinan pada materi pendidikan dokter yang minim edukasi tentang pentingnya nutrisi dan serta diagnosa minim intervensi. Antara takjub dan horor mengingat kembali kelakuan diri sendiri. Entah sudah berapa kali anak-anak saya kena tubles cek darah, cek urin, skan sken skan sken dengan hasil negatif, semuanya baik-baik saja.

Tapi tentunya tidak sengawur itu menangani anak sakit dirumah. Menjelang bagian akhir, buku ini memberikan gambaran kondisi-kondisi yang memerlukan penanganan medis. Untuk penyakit-penyakit tertentu yang tidak bisa sembuh dengan hanya dipeluk mamak, buku ini tetap mengingatkan bahwa kedokteran adalah salah satu profesi yang waktu studinya paling panjang. Percayalah, pasti ada sesuatu yang dipelajari oleh dokter dan tidak bisa dilakukan oleh mamah.

Penutup

Tidak semua isi buku ini menjadi titik tobat untuk saya sih. Saya tetap pro vaksin meskipun itu termasuk treatment yang dipertanyakan dalam buku ini. Sisanya, lumayan lah, membuat saya berpikir ulang setiap mau mencolot ke IGD. Lebih dari itu, buku ini memberikan suntikan percaya diri bagi saya sebagai orang tua yang sebetulnya paling tau tentang anak saya sendiri. Semacam dihantui dokter galak yang siap ngomel, hahaha. Semoga cerita kali ini bermanfaat ya! :)