2/15/2025

Kebiasaan deh!

Sungguh saya tergelitik mendengar celetukan Kak Risna saat pengumuman topik Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang pertama. "Kebiasaan jadi deadliner tuh," celetuknya sambil tertawa. Mencoba mengelak tapi setelah ditelusuri lagi, memang, hal yang cukup konsisten saya lakukan hingga bisa dibilang itu kebiasaan saya adalah jadi deadliner di tantangan MGN (ketawa geli sambil malu sendiri).




Baiklah, mari kita zoom in kilas balik kebiasaan saya untuk bisa ikut tantangan MGN tanggal 20 di setiap bulan, paling tidak diprotret dalam hampir 12 bulan belakangan.

Merencanakan akhir yang Indah

Saya tahu, tercepot-cepot nulis dan submit tantangan di setiap bulan bukan lah pengalaman yang menyenangkan untuk diulangi lagi. Makanya, di awal bulan, terutama saat tema tantangan sudah diumumkan, saya selalu bertekad kuat langsung menulis saat itu juga. Biasanya ide langsung muncul ketika pertama kali membaca tema. Bahkan poin demi poin gagasan langsung mengalir deras. Saat itu, dimana dan kapanpun setting waktunya, rasanya seperti sedang menyambut pagi yang indah, matahari bersinar dan burung berkicau, menyongsong masa depan yang cerah.

Bangun rin, bangun. Selang beberapa menit setelah saya selesai membaca tema tantangan dan mencetuskan poin-poin kerangka tulisan di kepala, alarm berbunyi. Tergopoh-gopoh saya terbangun dari mimpi indah sedang duduk di pagi hari yang indah.

 "BUBUUUUUU," teriak anak wedok memanggil. Kakiku gatal, punggungku nggak enak, aku mimpi zombie, atau di hari-hari lainnya, ketika saya rasa semua sudah disiapkan untuk menghindari ini, anak wedok tetap bangun. "Bubu udah beliin aku makanan kucing?". Dengan berbagai alasan yang bisa dijadikan alasan, ibunya harus berhenti menatap handphone agar segera bisa menatap wajahnya. 

Semacam membandingkan pembukaan UUD 45 dan menjalani kehidupan sebagai warga negara di Indonesia, saya semakin paham bahwa cita-cita tidak selalu bisa, apalagi mudah, untuk terlaksana. Di awal kemerdekaan, cita-citanya adalah negara yang adil dan makmur. Ternyata setelah lebih dari 75 tahun berjalan, rasanya seperti semakin jauh dari rencana ya. Nah, tidak usahlah sibuk mengomentari para pengatur negara, karena mewujudkan cita-cita pribadi saja kalang kabut, Rin. Padahal bukan cita-cita yang setinggi-tinggi langit. Ini hanya rencana sederhana, ikut tantangan MGN dengan lebih bersahaja. 

Tidak perlu menunggu 75 tahun, 2-3 jam saja setelah saya selesai membaca tema tantangan, biasanya cita-cita setor tantangan MGN yang sudah saya harapkan di setiap bulan, buyar.

Tapi yang namanya hidup, harus optimis dan jalan terus. Rencana, tentu harus ada  cadangannya dong. Kalau gagal, kita ganti rencana. Kalau sebelumnya saya membaca tema tantangan di pagi hari saat bangun pagi, di bulan selanjutnya saya akan membaca tema tantangan di Bus, saat perjalanan ke kantor.

Memasuki bus, matahari kembali bersinar dan kicau burung menyambut saya masuk ke dunia harapan. Membuka web MGN, membaca, dan bersiap membuka blogger mobile. Sambil menunggu loading, tangan saya bergerak membuka channel kantor. Membalas 1 pesan, 2 pesan, 3 pesan, lalu disusul getar handphone menandakan pesan lainnya masuk. 4 pesan, 5, 6, 7. Sampailah saya di halte depan kantor, yang artinya sudah saatnya saya turun dari Bus. Ya, hari itu berakhir dengan laman blogger saya terbuka, tanpa ada tulisan apa-apa di dalamnya.

Menunda-nunda

Saya punya 18 hari setelahnya, tetapi selalu ada alasan untuk menunda. Ah masih ada besok. Besoknya, masih ada besok lagi. Ah, masih seminggu lagi. Tidak terasa, sudah tanggal 18, tandanya besok adalah hari terakhir untuk bisa duduk cantik, ikut tantangan dengan bersahaja tanpa harus dikejar-kerja detak jam.

Tanggal 19 datang, dan cerita di awal bulan tantangan berulang. Biasanya di hari ini, ceritanya lebih heboh lagi. Tiba-tiba dikirim kantor ke luar kota dan seharian heboh di lapangan, atau 1 dari dua anak sakit. Sebagai pelengkap heboh, bisa juga 2 anak kompak sakitnya. Hari damai untuk menulis tantangan akhirnya berganti menjadi hari heboh pergi ke dokter, atau maraton dakwah bertemu orang-orang di lapangan.

Dan hari itu datang

Tanggal 20, biasanya saya akan menjadi lebih galak dari biasanya. Kalau sudah begini, saya akan berangkat ke kantor pagi-pagi, dan fokus untuk tidak tergoda membuka channel kantor ketika duduk di bus. 

Ketak ketik ketak ketik.

Yang saya heran, hampir setiap saya merencanakan posting di bus, jalanan ke kantor tiba-tiba menjadi lancar. Waktu perjalanan berkurang sekitar 15-20 menit. Dan akhirnya, kurang 1-2 paragraf lagi, saya sudah harus turun dari bus. Nanti lanjut di kantor deh, begitu selalu pikiran saya.

Menuju lift saya terus merapal, untuk menancapkan ingatan harus posting. Semacam anak-anak yang didoktrin melalui kata-kata. Sayangnya, doktrin kata-kata hanya di dalam kepala saya saja. Orang-orang di kantor saya mana tau sedang ada apa. Jadilah begitu masuk melangkah ke dalam kantor, bertemu orang tak ada jedanya. Hingga tiba waktunya pulang. Hedeh, perasaan kalender kosong.

Kebiasaan lainnya adalah ketika tanggal 20 adalah jadwal saya kerja dari rumah. Rasanya ingin bersyukur, karena bisa ngumpet sejenak, tetapi memang tetap tidak boleh sombong. Setiap sombong dan optimis berlebihan, meskipun kerja dari rumah, selalu ada kejadian-kejadian aneh. Kebakaran dalam arti bukan sebenarnya selalu terjadi ketika saya merasa akan punya banyak waktu di hari itu untuk menikmati hari posting tantangan. Telepon tiada henti berdering, dan berakhir lebih heboh dibanding hari-hari dimana saya harus ke kantor. 

Dua skenario akhir cerita

Kalau sudah heboh tiada henti begitu, biasanya saya akan merasa bersalah, dan sore hari, ketika harusnya bisa posting, saya akan keluar dari gua tempat semedi bekerja dan bermain dengan anak. Berikutnya, saya akan mewanti-wanti anak untuk tidur lebih cepat karena masih ada yang harus bubu kerjakan di malam ini. Berikutnya, saya akan minum kopi dan makan tidak terlalu banyak agar tidak mengantuk.

Beberapa jam setelahnnya, semakin saya berharap anak saya cepat tidur, semakin mereka berdua sulit tidur. Hingga akhirnya saya menyerah dan ikut berbaring untuk memeluk mereka. Satu skenario adalah ketika saya bisa bangun pukul 23.00 atau paling tidak 23.00, lalu tercepot-cepot menulis tantangan. Atau skenario lainnya adalah saya bangun 00.02, dan meratap.

Penutup

Benar-benar catatan receh yang bisa saya tuliskan disini. Bukan untuk terus menjadi kebiasaan, tapi maksudnya untuk refleksi, evaluasi biar tidak terjadi lagi. Meskipun untuk posting kali ini, tetap belum bisa terealisasi ya perbaikan evaluasinya. hehehe












11/20/2024

Foto dua anak







Ini adalah foto saya dan kakak. Di balik dua anak ginok-ginok dalam foto ini, ada seorang Ibu yang menciptakan memori luar biasa, terutama untuk anak bungsunya.

Ibu tempatku mencari nyaman

Ingat sekali, menjelang akad nikah, saya termehek-mehek nangis sesenggukan, takut menikah. Takut tidak tahu apa yang akan terjadi setelau menikah. Takut berpindah dari tangan ayah dan ibu yang sudah terbukti keamanannya, ke tangan seorang laki-laki yang entah bagaimana lah nanti jadinya. Memeluk ibu, dan tidur beralaskan lengannya sebagai bantal, sesenggukan sampai tertidur menjelang akad nikah. Setelah menikah, rasanya tetap ingin memeluk ibu sesuka hati, tapi sulit sekali dengan posisi perut melentung hamil, apalagi setelah ada anak piyik yang saat itu baru lahir.

Garang di Bandung, tapi anak ketek begitu pulang ke Semarang. Iya, saya masih tidur mencari ketek Ibu meskipun sudah mahasiswa. Jangan ditanya ketika SMA, SMP, atau usia di bawahnya. Momen favorit adalah ketika Ibu sudah pulang dari mengajar di sekolah, dan saya bisa dusel dusel ketek Ibu tidur siang sampai puas. Ibu pun merasa ayem kalau bisa ngetekin anaknya, kalimat ini entah mengapa menjadi afirmasi positif, membuat saya merasa menjadi diri yang sangat berharga. 

Ibu (ternyata) pemersatu keluarga

Ada kata ternyata di dalam kurung, karena ini baru saya sadari setelah Ibu tiada. Anggota keluarga ini selain ibu adalah 1 orang bapak sumbu pendek, 1 orang anak yang tidak pernah bisa dimengerti orang tuanya, dan 1 orang anak dengan weton yang sama dengan bapaknya, jadi konon tak akan pernah akur dengan bapaknya. Ajaibnya keluarga ini bisa berjalan bersama dengan baik-baik saja. Ternyata kuncinya ada pada ibunya. Setelah ibu tidak ada, saya heran bukan main. Mengapa sulit sekali berkomunikasi dengan Bapak. Ternyata selama ini Ibu saya semacam pemimpin redaksi, memfilter semua narasi 2 arah. Sampai ke tangan pembaca sudah terstruktur, mudah dimengerti, dan tentu saja dalam kasus keluarga saya hasil edit pimred tidak sebombastis naskah aslinya. 

Selain karena kemampuan redaksionalnya yang memukau, saya masih berusaha mengingat-ingat apa yang dilakukan orang tua saya, terutama Ibu saya, sampai-sampai saya dan kakak sama sekali tidak tertarik untuk bermusuhan. Mungkin juga karena tidak ada harta warisan bombastis yang sering menjadi sumber perkara keluarga. Tapi sepertinya lebih dari itu. Saya cuma ingat ibu saya cerita, paska saya lahir, ibu berusaha untuk tetap memperhatikan kakak saya. Memastikan dia tidak kehilangan perhatian, meskipun sudah punya adik. Sampai-sampai kelewatan lupa memperhatikan saya, sehingga saya ngencut jempol dan gigi berantakan saking ibu tetap fokus ke kakak saya. 

Ibu memperlihatkan bagaimana wanita harus berdaya

Berdaya disini kalau ala-ala instagram salah satunya adalah menyediakan menu makanan bergizi. Terlepas dari minimnya pengetahuan saat itu, salah satu prestasi terbesar ibu saya adalah memiliki 2 anak yang berat badannya melejit naik pada garis Kartu Menuju Sehat (KMS-kartu posyandu). Bukan hanya selalu naik, tapi mentok kelewat batas atas, sampai-sampai harus ditulis manual karena grafik yang ada sudah tidak cukup lagi angkanya. Tentu saja bukan masakan ibu yang saya kangen, karena kami selalu makan masakan embak ART. Tapi yang tercatat di kepala saya adalah agenda Ibu tiap hari sabtu pergi ke pasar, membeli beragam ikan, daging, dan ayam. Sampai rumah mencuci semuanya dan menyiapkan dalam porsi-porsi sekali masak. Dipikir-pikir canggih juga, sudah mengenal meal prep sejak jaman dulu.

Sisanya, adalah jalan ninja. Sarapan indomi bakso sayur telur, kornet telur, atau nyemil sosis goreng kecap. Tentu saja tidak sehat, tapi entah mengapa tetap bikin kangen Ibu.

Ibu saya bekerja, sebagai guru SMA. Berangkat pulang menyetir mobil, hijet merah hadiah dari kakek saya, yang sudah ada sejak saya lahir. Pulang pergi di tengah terik matahari Kota Semarang, Ibu saya baru berani bermimpi membeli mobil ber-AC ketika semua anaknya sudah masuk jenjang kuliah. Itu pun mobil bekas yang dijual oleh kakaknya dengan harga super miring dan pinjaman lunak selunak-lunaknya. Perempuan menyetir mobil kala itu masih jarang di Semarang. Makanya Ibu terkenal diantara kenek-kenek bus jurusan Ngaliyan Boja, rute yang Ibu lewati setiap menuju sekolah tempat mengajar dari rumah.

Satu lagi "ternyata" yang baru saya sadari ketika Ibu sudah tidak ada. Saya pikir menjadi guru SMA hanya hobi saja untuk Ibu karena gajinya tidak seberapa. Belakangan setelah saya lulus kuliah Ibu seperti bisa menikmati hidup yang sesungguhnya, mau beli apa saja bisa. Tapi saya pikir, ya itu karena sejauh yang terpikirkan olehnya ya yang dipengenin itu-itu saja. Ternyata, setelah Ibu tidak ada, Bapak heran dan pusing bukan main. Selama ini semua bisa terbayar. Hitang hitung, otak atik, tetap saja mustahil cukup untuk membayar semuanya. Yang jelas Bapak dan kami anak-anaknya tidak pernah merasa tidak tercukupi kebutuhannya. Kami tetap jalan-jalan dan makan diluar, sesuai kemampuan. Nggak nelangsa ngirit-ngirit banget lah. Ternyata, tidak terasa kontribusi ibu besar sekali. Mungkin gaji yang tidak seberapa selama ini benar-benar tidak pernah dipakai untuk dirinya sendiri. Mungkin juga jadi cukup berkat tangan sakti ibu yang kemampuan mengelola finansialnya luar biasa. Entah yang benar yang mana, intinya kok bisa. 

Tidak berhenti disitu. Ibu saya, entah minum suplemen apa sampai-sampai besar sekali tenaganya, rajin sekali bikin ini itu. Bikin kolase foto, jadi tim heboh persiapan 17 agustusan di komplek rumah, jadi tim heboh pentas seni di sekolah, bikin slide power point untuk mengajar di sekolah dengan animasi dimana saat itu masih jarang sekali guru yang kepikiran mengajar dengan media digital, sampai menulis artikel di koran. Ckckckck. Saya cuma kerja dan ngurus anak sepulang kerja aja rasanya cuma pengen nggletak ketika ada kesempatan. Kok bisa.

Ibu, adalah benchmarking kanker usus

Ini khusus untuk saya pribadi. Bila kanker usus adalah prompt, chat GPT dalam kepala saya otomatis menghasilkan narasi adegan di Bulan Desember 2016-Januari 2017. Akhir tahun selalu bernada sendu kelabu untuk saya. Rentetan gejala, penyesalan lambat tindakan, rentetan tes, progress yang naik turun dan tidak jelas kabarnya, masih erat sekali rasanya. Apalagi akhir tahun cuaca selalu mendung-mendung kelabu. Film horor kembali berputar minggu lalu ketika ada rekan kantor yang istrinya wafat karena kanker usus. Mungkin semua orang aneh melihat saya, tiba-tiba sesenggukan tidak terkontrol. Duh, sudah lah

***


Lalu, ini adalah foto mini me. Ya, kedua anak saya. Dibalik dua anak yang semua lahir ginok-ginok tapi lalu menemukan bentuknya masing-masing ketika semakin membesar, ada seorang Ibu yang berharap dapat menghasilkan memori luar biasa juga.

Tidak ada Subjudul khusus yang bisa saya tuliskan untuk menceritakan ibu dari kedua anak yang ini. Memori yang berputar di kepala sejauh ini adalah up and down kehidupan, yang membuatnya sering kali ingin kembali ke wujud anak ketek saja. Mencoba berdaya dengan bekerja, tetapi rasanya kondisi sekarang jauh berbeda dari kondisi dulu. Rasanya ingin sekali memanggil Ibu untuk bertanya, bagaimana saya dan kakak begini dan begitu, ketika Ibu pergi bekerja. Mencoba berdaya dengan menyiapkan bahan makanan dan jadi ahli pengatur keuangan keluarga, tapi tetap saja rasanya ada banyak tanda tanya.  

Penuh syukur bisa terbangun pukul 23.15, sehingga masih bisa ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan November.