6/20/2025

Mencari Makna Me Time tanpa Internet

Menjelang 82 menit terakhir batas akhir Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Juni 2025, sambil mengarungi fenomena macet Jumat malam Kota Jakarta, mari kita tulis dengan kilat cerita Me Time tanpa Internet.


Me Time Impian

Tiga hari belakangan saya ikut retreat kantor, menginap di sebuah hotel dengan desain resort di Anyer. Hotel mewah pada jamannya, tapi jangan ditanya bagaimana kondisinya saat saya menginap 2 malam kemarin. Khawatir posting ini malah jadi cerita me time dengan uka-uka🫠.

Entah karena anak baru, entah memang apes saja, atau malah beruntung. Saya dapat kamar paling ujung, cukup jauh dari venue. Bentuk hotel ini bukan bangunan tinggi di satu gedung, tetapi ada rumah-rumah 2 tingkat yang menyebar di berbagai titik, di area yang cukup luas. Kamar saya, seperti pulau sabang, menjadi titik terluar resort, dengan sudut kamar menghadap semak dan pepohonan yang di ujungnya ada pantai.

Karena sudah terdampar begitu, ingin hati sekalian saja kabur melaut. Sayangnya hari pertama hujan, jadilah saya tetap jadi anak baru baik-baik, ikut semua agenda retreat

Pagi ini langit cerah. Saya sudah bertekad tidur cepat agar besok bisa bangun pagi dan pergi ke pantai.

..dan viola!

Saya sukses bangun pagi dan duduk di pinggir pantai. Diterpa angin laut menjelang matahari terbit, dengan bau pasir dan air laur yang pekat. Suara deru ombak yang terpecah beradu. Kepiting kecil berlarian. Inhale... exhale...... Menjernihkan pikiran, melatih kembali diafragma untuk bernafas yang sesungguhnya. Bernafas seutuhnya, yang tidak dikejar pikiran anak hari ini bekal apa ataupun deadline kantor belum selesai. 

Sungguh me time tanpa internet impian yang sesungguhnya.

Pantai di dekat kamar saya

Impian, kadang hanya angan. Baru saja membuka pintu untuk keluar kamar mau ke pantai, handphone di meja bergetar.

Adek nangis-nangis semaleman nggak bisa tidur cari bubu

Yaudah, video call deh.

Anak wedok cari bubu

Me time tanpa internet bubar jalan.

Mencoba Me Time yang Bermanfaat

Saya ingun sekali punya rumah dengan halaman rumput. Kenyataannya, rumput tetangga memang selalu lebih hijau, karena rumput sendiri malas merawatnya. Saya pikir, bekasi adalah planet yang tidak ramah untuk makhluk hidup. Bukan hanya manusia, tetapi juga tumbuhan. Ternyata, dibawah 4 matahari yang dimiliki Bekasi, rumput masih tumbuh subur. Bagaikan mencari salon potong rambut, ternyata tidak semudah itu menemukan bapak tukang rumput yang style potongannya pas. 

Karena lengah sedikit rumput jadi gondrong, saya mulai mencoba memotong rumput. Awalnya dengan motivasi rumput bisa rapi tapi tidak perlu repot mencari Bapak tukang rumput. Lama-lama memotong rumput jadi hobi. Dan lebih lanjut, jadi me time.

Cekress cekress. Kalau sedang relax, rumput terpotong rapi dan rata. CEKRESS CEKRESS, kadang juga saya sedang mumet atau emosi, gunting jadi naik turun tidak stabil dan berakhir rumput botak di area-area tertentu atau ada tanaman lain yang ikut terpotong. 

Tapi boleh lah saya lanjurkan, apalagi kalau pakai gunting rumput besar. Me time sekaligus melatih otot lengan.

Me Time yang Kids-Friendly

Salah satu alasan utama seorang Ibu tidak bisa me time adalah karena tidak bisa, atau tidak mau meninggalkan anak.

Sama seperti banyak ibu lainnya, waktu saya untuk detached sangat terbatas. Potong rumput hanya bisa damai sekitar 30 menit. Mungkin bisa lebih panjang kalau bersedia potong rumput sambil video call- entah dimana me time-nya.

Untuk mensiasati itu, saya mencari me time lain yang lebih kids friendly. Saya bisa me time dengan tetap berada di dekat anak-anak saya, yaitu dengan main puzzle.

Ketika main puzzle, anak saya bisa sibuk sendiri dengan puzzle-nya, dan saya bisa asik mumet dengan puzzle saya. Tidak dipungkiri, me time jenis ini memerlukan keahlian khusus. Yaitu keahlian untuk melepaskan jiwa dari raga. Jadi raga tetap bersama anak, tetapi jiwa bisa me time.

Tinggal dipastikan puzzlenya yang menarik dan kita tidak dikejar target. Karena harapannya setelah me time bisa relax, bukannya malah tensi tinggi.

Penutup

Begitulah secuplik cerita me time tanpa HP ala mamah-mamah yang masih terjebak di jalanan jumat malam pulang retreat, dan sudah ditunggu anak yang nangis-nangis, menahan lelah 2 hari nggak ketemu ibunya. 

5/17/2025

Sampah yang Tidak Populer

Mencoba menulis tentang opini tidak populer rasanya membawa saya kepada memori perdebatan di kantor tentang sampah. Hampir semua orang (paling tidak orang Indonesia, lah), tertarik dengan topik ini. Mungkin karena peduli pada bumi, dan pengalaman pribadi-terganggu oleh sampah, atau melihat sisi lain dari permasalahan umat manusia ini. 

Untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang batas pengumpulannya tinggal 2 jam lagi 😁, saya ingin mendokumentasikan beberapa opini tidak populer yang ternyata benar-benar tidak populer, soal sampah.


Mengubah sampah menjadi berkah

Masih teringat jelas bagaimana Ibu Sri Bebassari, salah satu legenda perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia, dengan suara khas berapi-apinya menjelaskan tentang bagaimana sampah seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang bernilai. Menurut beliau, dan banyak ahli lainnya, sampah tidak seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang menjijikkan dan harus dihindari. Sebaliknya, paradigma sampah perlu digeser sedikit menjadi sesuatu yang membawa berkah. Definisi sampah pun menjadi lebih luas dengan paradigma baru ini, bukan hanya residu yang tidak terpakai, tetapi sampah adalah segala sesuatu yang berada tidak pada tempatnya atau menimbulkan gangguan pada sekitarnya.

Ibu Sri Bebassari, legenda sampah Indonesia
Sedih sekali, kemarin beliau berpulang untuk selamanya
foto: greeners.co

Tumpukan daun kering di halaman belakang yang tidak mengganggu sudah bisa dikeluarkan dari kategori sampah. Sisa potongan sayur adalah sampah, tetapi ketika mereka dimanfaatkan kembali, bisa mengubah nasibnya. Bukan lagi sampah, tetapi berkah. Tetangga Mamah punya mobil mewah baru, tapi parkir sembarangan dan menyusahkan orang mau lewat, nah itu sampah, bukan barang mewah. Saya yakin Mamah punya contoh sampah pada banyak kasus lainnya 😄. Baru paham mengapa sampah dijadikan kata umpatan, sesederhana dan setepat itu ternyata cara penggunaannya.

Definisi sampah dari Ibu Sri Bebassari ini diadopsi oleh semakin banyak orang. Sependek pemahaman saya, maksudnya adalah untuk mendorong masyarakat untuk mau mengelola sampah, tidak hanya jijik lalu tidak mau ada sampah di dekatnya. Di tengah banyak orang sepakat dengan konsep ini, saya pribadi termasuk golongan yang malah jadi agak ngeri. Saya, seperti berjuta orang lainnya, juga masih takut dengan sampah. Meskipun bertahun-tahun mendapat rezeki melalui topik ini, tapi ketika melihat sampah sebagai berkah, yang bagi sebagian besar orang di Indonesia dimaknai sebagai pundi-pundi rupiah, akan menjadi sangat berbeda akhir ceritanya. 

Langsung terbayang lagi cerita tentang mesin pengumpul botol plastik. Setiap memasukkan botol plastik, kita akan mendapatkan poin hadiah yang bisa dikumpulkan dan ditukar menjadi voucher belanja. Bukan hanya memasukkan botol bekas minumannya, ternyata banyak orang yang secara aktif mengumpulkan botol bekas, entah dari manapun. Pilihan lainnya adalah sengaja banyak-banyak minum minuman kemasan, agar punya banyak botol bekas. Memang betul, Indonesia itu lahan subur industri kreatif. Namanya orang Indonesia, ada aja idenya. Kalau sudah begini, bukan sobat pegadaian namanya, menyelesaikan masalah dengan masalah lainnya.  
 

Soal menyerah memilah sampah

Sabar jangan emosi dulu yah, Mah. Saya juga masih mencoba memilah sampah. Apalagi kalau ingat tugas di kantor, dakwah soal pemilahan sampah. Rasanya hidup di dunia ini seperti bermuka dua. hahaha.

Mungkin beberapa Mamah merasakan kondisi sulit saat TPA Leuwi Gajah meledak dan longsor. Banyak TPA lainnya menuju ke nasib yang sama, mah. Karena kapasitasnya sudah tidak cukup lagi, tetapi selama masih ada manusia di bumi, tentu saja sampah terus saja dihasilkan. Untuk itulah sampah harus dihindari sejak dari sumbernya, dan disini peran Mamah sebagai CEO di rumah sangat diperlukan.

Kalau boleh unjuk suara dari hati yang terdalam, sejujurnya saya termasuk yang kurang beriman pada gerakkan memilah sampah. Apalagi setelah ditantang oleh client menghitung impact dari kegiatan memilah sampah yang saya anjurkan. Sungguh sulit jungkir balik sirkus, membuat angkanya menjadi terlihat signifikan. Siapa yang bilang memilah sampah itu mudah. Nooo. Tapi kan memilah sampah itu tidak ada biayanya. Siapa bilaaaaang. Justru effort terbesar, dan terempong dari membangun sistem pengelolaan sampah adalah bagian menggerakkan masyarakatnya.  Sudah lah sulit, setelah memilah, ternyata masih ada ber-ratus ton sampah yang harus ditimbun di TPA setiap harinya mengalir dari rumah-rumah di seluruh kota. Bukan mengecilkan upaya kita, tapi memang kecil sih, Mah 💁.

Terlepas dari pro dan kontra-nya, cara pengelolahan sampah paling jitu, terutama untuk Indonesia (dengan keaneka ragaman industri kreatifnya), untuk saya adalah Insinerator.

Tentu saja cara ini harus dikelola dengan proper yah. Jangan jadi kayak tetangga sebrang komplek saya juga. Meskipun sama-sama pembakaran, yang bakar sampah di kebon sebelah ini bikin bengek. Insinerator seharusnya tidak. Dalam case ini, saya sepakat dengan netijen pengguna mesin botol plastik: memilah sampah untuk mencari berkah. Memilah yang bisa dimanfaatkan untuk menambah pemasukkan. Sisanya, langsung dibakar saja. Dengan operasional proper, sobat pegadaian bisa berkumpul, menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Perlu berapa jenis tong sampah?

Sungguh menyulut emosi di jiwa kalau ingin buang sampah di tempatnya, tetapi yang ada di hadapan adalah deretan wadah menyerupai pelangi. Mejikuhibiniu. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Belum lagi labelnya cuma berisi gambar saja, tanpa tulisan keterangan. Apalagi label daur ulang yang segitiga berpanah itu. Menurut saya, artinya adalah wadah untuk plastik atau material-material yang bisa didaur ulang. Pas dibuka, eh isinya sampah basah semua. Ternyata wadah itu untuk sampah organik. Lha, gimana sih.

Sudah lah bukan fans berat pemilahan sampah. Masih harus berjuang memikirkan penggolongan sampah, tentu saja bubar jalan.

Mejikuhibinibu-karena yang terakhir abu-abu, hahaha
sumber: mbizmarket

Saya selalu berpendapat, sepertinya tong sampah itu cukup ada 2 jenis pemilahan. Untuk material yang mungkin masih berguna dan untuk sampah yang sesungguhnya. Kalau untuk di rumah, boleh lah 3 wadah, karena sampah basah masih berpotensi untuk diselamatkan. Jadi ketika datang ke tempat sampah, cukup berpikir, yang mau saya buang ini betul-betul sampah, atau mungkin masih ada gunanya. Apalagi di tempat-tempat umum dengan jumlah sampah besar. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau tong sampahnya ada 7. Wadah berlabel daur ulang, sudah pasti isinya mix, antara organik atau plastik, karena ada orang-orang seperti saya, maupun orang-orang berjenis pemikiran berbeda lainnya. 

Mungkin akan lebih mudah kalau jenis tongnya hanya ada 2. Petugas sampah akan mengambil kantong berisi material masih berharga untuk diserahkan ke bandar selanjutnya. Lalu, sisanya, langsung menjadi santapan bergizi bagi insinerator.

Penutup

Begitulah mah, sekelumit cerita semi curcol soal pendapat saya yang tidak populer. Tentunya dihasilkan dari pemahaman saya yang masih minim juga. Kalau menurut Mamah bagaimana?