Bisa terbangun sebelum subuh dengan kondisi tidak ada deadline mendesak adalah hal yang saya nantikan. Suasana relatif hening, dan disitulah segala macam pikiran berputar di kepala. Sebagian besar diantaranya berkelebat ingatan tentang orang tua yang sudah tidak ada. Sedih, kecewa, tidak terima, merasa bersalah, menyesal. Semua rasa ini bercampur di dalam hati. Dzikir pagi dan adzan subuh yang sayup-sayup terdengar dari masjid menjadi pengiring saya yang berusaha berdamai dengan perasaan hati. Tidak untuk melupakan, saya hanya mencoba untuk menikmati setiap rasa itu. Beberapa menit setelah adzan usai biasanya saya sudah bisa berhenti sesenggukan, dan kembali ke dunia nyata.hehehe.
Cerita di tahun 2020
Tahun 2020 memang berat untuk semua orang. Babeh, yang sangat suka pergi kesana kemari, setengah mati menahan diri, atau paling tidak berusaha keras ngumpet-ngumpet dari anaknya kalau pergi kesana kemari. Lebaran 2020, terasa sangat aneh. Untuk pertama kalinya dalam hidup, babeh menjalani hari lebaran di semarang saja, tentu saja karena tidak bisa kemana-mana. Saya yakin itu lebaran pertama Babeh di Semarang, di sepanjang hidupnya. Seingat saya, saat lebaran kami selalu mudik, entah ke Boyolali atau ke Bandung untuk menikmati hari lebaran bersama eyang atau embah. Saking tidak tahunya bagaimana cara merayakan lebaran di Semarang, babeh bertekad memasak makanan hari raya. 2 ekor ayam beserta lauk pauknya. Harapannya bisa tersaji makanan hari raya seperti ritual kami di Bandung. Sayangnya, ketika jadi rasanya tidak sesuai ekspektasi. Belum lagi, bayangan akan ada banyak tamu yang bersilatu rahmi. Ternyata tidak ada sama sekali. lha wong biasanya rumah kosong saat lebaran. Apalagi kondisi pandemi begini, siapa yang mau silaturahmi. Kecewa di sini, saya rasa lebih kepada makanan yang terbuang sia-sia. Babeh dan kehebohannya tentang makanan, keterkaitan tidak terpisahkan yang akan selalu menjadi kenangan abadi.
Kekecewaan lebaran mungkin bisa diredam, karena beberapa bulan kemudian cucu keempat akan lahir. Telepon ajaib mulai berdatangan tak kunjung henti. "Rumah kamu sudah bisa ditinggali belum? babeh pengen kemping disitu". Babeh yang sudah gerah tidak bisa kemana-mana ini ingin kabur dari Semarang ke Bekasi, menginap di rumah saya yang baru setengah jadi. "Belum bisa babeh, belum diberesin rumahnya, aku nggak bisa kesana karena ini keluar rumah susah". Disusul dengan permintaan untuk segera membeli perabotan dengan uang Babeh. "Kamu beli ya, kasur ligna. Babeh pengen kayak embah dulu. Ngasih kasur ligna ke babeh sama minyok. Eh nggak berapa lama embah meninggal". Sibuk mempersiapkan lahiran dengan kondisi tidak biasa di jaman pandemi, membuat saya mengesampingkan pesan-pesan ajaib ini. Sadar tidak digubris, Babeh telepon beberapa hari sekali, masih terkait kemping dan perabot ligna.
Ada sekelebat perasaan tidak enak yang saya tangkap, tetapi saya mencoba untuk melupakan itu.
Saat anak kedua saya lahir, Babeh dengan bersusah payah menahan diri tidak mencolot ke Jakarta dan mengikuti instruksi saya untuk datang menengok sebulan setelahnya, jadi kami bisa mempersiapkan tempat menginap untuk Babeh, mengingat kala itu, saat kasus covid sedang tinggi-tingginya, mencari hotel tidak lah mudah. Saya dan suami gedubrakan mencari perabot merk ligna yang dimaksud Babeh. Kami mencoba googling dan mencari toko yang menjual perabot Ligna. Memang merk ini sangat ternama di jaman dulu, tapi tidak lagi sekarang. old fashion. Karena tidak menemukan alamat yang menjual perabot merk Ligna, kami memutuskan untuk pergi ke Chandra Karya saja. Kalaupun tidak ada merk ligna, paling tidak style perabotan disana jadul, bisa lah diakui ini ligna! Hehehe.
Di perjalanan menuju Chandra Karya, kami melewati gedung bertingkat dengan logo Ligna yang cukup besar. Sudah excited ingin mampir kesitu, setelah mendekat ternyata gedung tersebut tutup dan ada spanduk "di jual". Semoga ligna dalam bayangan Babeh hanyalah sebutan general untuk furniture. Semacam orang Indonesia yang menyebut aqua untuk air mineral, dan Indomi untuk mi instan.
Babeh berencana datang ke rumah saya di Bulan Desember dan tadinya saya berharap bisa merayakan ulang tahun Babeh. Sayangnya, tidak terlalu pas. Menjelang hari ulang tahun babeh, kondisi hectic sekali, dan saya hampir lupa. Baru teringat di pagi harinya, saya terhentak memori penyesalan tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ibu saya, dan itu menjadi ulang tahun terakhirnya.
18 Desember 2020. Malam hari, Babeh mengirimkan video sedang tepuk tangan dan nyanyi-nyanyi sendiri dengan mata berbinar ingin memotong kue ulang tahun yang saya kirimkan-baru sampai di malam hari, karena saya baru pesan di pagi harinya. Dengan wajah khas gembira melihat makanan, Babeh berguman, coba kalau ada cucu-cucu disini, bisa potong kue bersama.
Beberapa hari setelahnya, Babeh datang ke Bekasi. Cukup senang mendapati perabot Ligna sudah ada di rumah saya. Meja makan dan kasur yang saya pastikan merk-nya tidak bisa terbaca dengan jelas😂.
Babeh, sang kritikus dan manajer ulung, gerah sekali melihat kamar yang tidak punya kaca dan gantungan baju. Bagai tamu yang complain, Babeh ingin kabur keluar, mencari toko perabotan. Namun, saya larang dengan alasan protokol kesehatan.
Teringat saat-saat menjelang Ibu saya meninggal, saat saya pulang menemui Ibu untuk terakhir kalinya, piring pecah, dan lampu di plafon ruang tengah dengan sangat ajaib tiba-tiba meledak pecah. Tidak seperti itu. Tidak ada kejadian apa-apa saat Babeh berkunjung ke Bekasi. Satu-satunya kondisi tidak biasa adalah suasana Bekasi saat Babeh datang yang benar-benar dingin sejuk. Rasanya seperti sedang di Boyolali, bukan di Bekasi.
Tahun 2021 yang heboh sekali
Memasuki tahun 2021, ujian bertubi-tubi datang menerjang keluarga kecil saja. Dinyatakan positif covid, dan rumah kemasukan pencuri. Babeh yang sangat prihatin dengan kondisi saya menelepon, menanyakan bantuan apa yang saya perlukan. Sambil sesenggukan saya hanya mempertanyakan mengapa diuji seberat ini, dan saya minta maaf kepada Babeh. Mungkin selama ini saya terlalu sering marah-marah ke orang tua.
Babeh, di ujung sana, tidak berkata-kata dan langsung menutup telepon. Di akhir suara salam terdengar bergetar dan saya yakin saat itu Babeh menangis. Dipikir-pikir, ini satu-satunya moment saya meminta maaf kepada orang tua, sayangnya, untuk pertama dan terakhir kalinya. Sungkem saat lebaran, karena sedang ada banyak orang, mungkin jadi berbeda esensinya.
Tidak berapa lama dari telepon tersebut, datang paket dari Babeh, berisi laptop almarhum Ibu. Babeh tahu laptop kerja dan laptop untuk anak saya nonton video selama saya kerja ikut digondol maling. Babeh cukup sadar diri tidak punya uang untuk membelikan laptop baru untuk saya. Jadi laptop ini dikirim untuk saya pakai, sementara saya mengumpulkan uang untuk beli laptop baru.
Setelah berkunjung ke rumah saya, Babeh ribut sekali bilang ingin mengunjungi kakak saya yang ada di Bandung. Wajar, sudah satu tahun lamanya tidak bertemu cucu. Setelah perdebatan sengit melarang Babeh naik kendaraan umum, akhirnya Babeh datang dengan menyetir mobil sendiri. Perjalanan ke Bandung ditempuh sesaat setelah Babeh mendapatkan dosis pertama vaksin. Setelah ngeyel tidak semangat vaksin, akhirnya mau juga. Sayangnya, setelah vaksin, jadi jumawa.
Tidak hanya ke Bandung untuk menengok cucu, lepas dari situ, Babeh roadtrip bersama kakak dan adiknya. Mendatangi beberapa orang dan diakhir dengan kondangan acara lamaran sepupu. Saya dan kakak yang was-was hanya bisa mengingatkan dan mendoakan Babeh dijauhkan dari virus corona.
Dua minggu setelah rangkaian perjalanan ini, saya mendapat kabar Babeh tidak enak badan. Demam dan batuk. Mengingat bagaimana Babeh ngotot mendatangi saya dan kakak, rasanya langsung tidak enak. Firasat. Kondisi yang sama juga terjadi sesaat sebelum ibu saya meninggal. Beliau roadshow ke rumah saya, kakak, dan saudara lainnya. Semacam pamit.
Well, berusaha tidak berfikiran negatif, saya dan kakak mencoba membujuk Babeh untuk berobat. Babeh yang ketakutan terkena virus corona, tidak mau cek ke dokter. Alasannya, ini hanya batuk biasa. Selain itu sudah swab antigen dan negatif.
Corona dan penanganan yang kurang tepat
Selang beberapa hari, saya dan kakak mendapat kabar bahwa batuk Babeh semakin parah. Babeh, mulai enggan mengangkat telepon karena susah bicara. Kala itu, saya dan kakak mencoba mengerahkan segala upaya untuk membujuk babeh ke dokter. Rasanya ingin langsung mencolot ke semarang dan menyeret babeh ke dalam mobil untuk dibawa ke dokter. Sayangnya tidak semudah itu. Saya dan kakak ada di luar kota dengan anak-anak kecil yang masih menyusu, tidak bisa ditinggal begitu saja. Pada titik ini saya menyesali mengapa orang tua saya tidak punya anak laki-laki yang jelas tidak mungkin berada dalam kondisi hamil atau menyusui.
Satu minggu yang penuh kegelisahan. Saya kirimkan oxymeter untuk memastikan Babeh memang hanya batuk biasa, tidak sesak. Setelah akhirnya mau cek, ternyata saturasi oksigen hanya 82%. Saya hanya bisa meratap sambil terus membujuk Babeh untuk pergi ke rumah sakit mencari pertolongan. Keesokan harinya, Babeh mengirimkan foto dengan masker oksigen. Belakangan saya mendapat cerita, bahwa Babeh lari ke rumah sakit terdekat dengan ojek online, dalam kondisi saturasi hanya 70%. Mukjizat, Babeh masih bisa naik ojek. Orang pada umumnya sudah tidak akan sadar. Tidak perlu dibahas disini, saya langsung berdoa sepenuh hati, semoga Allah melindungi Bapak ojek yang membawa Babeh.
Masuk ke rumah sakit seadanya di dekat rumah, dengan kondisi saturasi 70%, Babeh di rawat di kamar inap biasa. Rumah sakit ini tidak memiliki SOP penanganan covid yang baik. Babeh dibiarkan tidak ganti baju sejak datang dan perawat hanya masuk ke ruangan 3 kali sehari. Babeh yang kesulitan dengan posisi terbelit infus dan oksigen akhirnya nekad melepas oksigen dan pergi ke kamar mandi setiap ingin BAK dan BAB.
Saya yang merasakan ketidak beresan ini hanya bisa mencoba mengontak ruang perawat, memohon-mohon bantuan untuk Babeh, paling tidak dibantu agar bisa ganti baju. Syukurlah, Kakak saya bisa pergi ke Semarang dan membawakan beberapa kudapan untuk para suster. Babeh akhirnya bisa ganti baju dan celana, pertama kalinya, setelah 3 hari dirawat.
Dalam kondisi ini saya kembali merutuki, andaikan Ibu saya masih ada. Sepertinya Ibu saya bisa menyeret Babeh lebih awal, untuk mendapat pertolongan yang semestinya, paling tidak pergi ke rumah sakit yang lebih jelas prosedur penanganannya.
Beberapa hari dirawat, Babeh minta dikirimi berbagai macam minuman instan, water heater, gelas kertas, dan pampers. Juga laundry baju dengan jumlah persis seperti yang diminta Babeh. Tidak boleh kurang dan lebih karena Babeh akan marah kalau tidak sesuai.
Saya dan kakak mencoba memenuhi semua permintaan itu dari jarak jauh. Terima kasih pada pihak-pihak yang sudah rajin sekali bikin aplikasi. Saya bisa mengirim ini dan itu untuk Babeh di Semarang, hanya dengan menggerakkan jempol saja dari Bekasi.
Lima hari berjalan perawatan, Babeh tidak lagi bisa menjawab telepon. Sekali telepon yang terangkat, terdengar suara Babeh sedang mengerang kesakitan, dengan suara pelo dan meracau. Mencoba kontak ruang perawat, info yang saya terima, Babeh sedang pusing luar biasa. Tapi kondisinya baik-baik saja.
Bagaimana mungkin baik-baik saja. Tadinya bisa terima telepon dan berdiri. Ini hanya bisa tiduran. Jangankan berdiri, berbicara saja sulit.
Sangat saya sayangkan, permintaan saya untuk rujuk Babeh ditolak mentah-mentah oleh RS tersebut. Alasannya, mereka masih bisa menangani Babeh. Memang dalam kondisi terlalu bodoh, sering kali bahkan tidak mampu menyadari kebodohan kita, aku merutuk.
Kondisi Babeh semakin menurun, dan memburuk. Masih dirawat di ruang rawat biasa. Setelah berkali-kali telepon dan memohon, dokter penanggung jawab memberikan rekomendasi rujuk. Proses mencari rumah sakit rujukan ternyata juga tidak semudah itu. Setelah sehari semalam mencari rumah sakit rujukan, akhirnya, Babeh mendapat slot di ICU RS SMC, rumah sakit andalan keluarga saya.
Babeh dirujuk tengah malam dan masuk ICU dengan kondisi saturasi 50%. Mendapat kabar Babeh dirujuk, saya memutuskan segera pergi ke Semarang, karena tidak ada keluarga yang mengurus Babeh disana. Setelah berunding dengan Kakak, diputuskan, saya giliran pertama, dan Kakak akan bergantian jaga nantinya.
Perjalanan malam dengan mobil pribadi yang saya pikir bisa dilalui dengan saya tidur menghemat energi, ternyata yang terjadi adalah ketegangan luar biasa. Suami menyetir dengan kondisi sangat kelelahan dan kami terburu-buru ingin cepat tiba di Semarang. Di tengah perjalanan penuh istigfar dan mohon keselamatan, saya mencoba kontak dengan ICU.
Saya takut sekali, harus menjadi focal point keluarga untuk ICU. Saya tidak tahu harus menjawab apa, dan apakah saya sudah cukup dewasa untuk menjadi narasumber keluarga pasien. Beruntungnya, telepon saya diterima oleh staff rumah sakit yang sigap dan ramah. Sangat berbeda dari suara Seseorang -yang saya ingin beri ucapan terima kasih karena menemani Babeh rujuk, tapi sekaligus rasanya pengen saya pentung,hahaha-, dokter jaga ICU memberi penjelasan dengan sangat tenang, dan menyarankan saya untuk datang ke ICU pagi hari saja, setelah saya beristirahat.
Syukurlah, setelah berkali-kali berhenti karena suami mengantuk, kami berhasil sampai Semarang dan masuk ke kamar hotel di seberang rumah sakit. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Prioritas kami adalah tidur, sekitar 2 jam, agar ada tenaga untuk menangani urusan RS esok hari.
Hari berikutnya, saya bertemu dengan dokter paru senior yang complain mempertanyakan mengapa Babeh baru dibawa ke RS saat kondisi sudah seburuk ini. Babeh harus mendapat terapi obat dewa dan plasma konvalesen.
Perjuangan mencari plasma dan membeli obat ini benar-benar menunjukkan bahwa orang-orang baik itu ada di Dunia. Dan yang lebih penting, pengingat bahwa tidak untuk semua hal, uang bisa berbicara. Perkara plasma konvalesen ini contohnya. Kami harus kontak ratusan relawan donor, puluhan yang menjawab, belasan yang akhirnya datang ke PMI untuk mencoba donor, dan hanya dua orang yang lolos screening. Itupun masih beruntung, banyak cerita lainnya, sama sekali tidak berhasil mendapat donor yang lolos screening.
Tiga kantong plasma konvalesen dan 3 dosis obat dewa berhasil dimasukkan ke badan Babeh. Babeh merespon dengan baik. Tekanan darah mulai normal, dan bisa video call menanyakan tas.
Sehari setelahnya perawat menginfokan Babeh complain hanya diberi makanan cair lewat infus. Babeh ingin makan makanan biasa. Babeh ingin makan. Babeh dan makanan, sesuatu yang tidak terpisahkan. Kalau sudah bisa ingat makanan, berarti memang membaik.hehehe.
Seminggu dirawat, setiap hari saya olah raga jantung, deg-degan setiap ada telepon atau pesan pendek dari ICU.
Kala itu Bulan Ramadhan. Paska sahur adalah waktu dimana saya berusaha tetap terjaga. Di jam itu, biasanya update dari ICU datang. Melihat progress membaik, saya bermaksud kembali ke Bekasi. Bergiliran jaga dengan kakak saya.
Saya memutuskan untuk datang ke ICU, meminta video call dengan Babeh melalui handphone perawat karena Babeh tidak diijinkan memegang handphone. Memang video call kali itu saya bermaksud pamit secara implisit, karena saya berencana kembali ke Bekasi keesokan harinya.
Begitu video muncul, terlihat Babeh yang berwajah segar ceria. "Kamu masih di Semarang? Kamu masih di Semarang?" "Iya beh, aku masih di Semarang. Babeh yang semangat yaa biar cepat sehat". Tak tega saya mengatakan pamit akan pulang ke Bekasi. Saya hanya mengatakan bahwa kakak saya akan datang juga ke Semarang. Tidak sampai 1 menit lamanya, telepon diputus. Babeh kembali sesak bila terlalu banyak bicara.
Dengan hati tenang saya meninggalkan ICU. Masih di perjalanan menuju rumah, ada telepon dari ICU. Babeh minta dikeluarkan dari ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Bosan katanya.
Saya mengatakan pada perawat untuk menyampaikan pada Babeh bahwa semua biaya ditanggung pemerintah. Saya pikir Babeh tidak mau di ICU karena terpikir anak-anaknya berat menanggung biaya.
Begitulah siang dan sore, hingga malam berjalan. Tidak ada firasat apa-apa.
Dan tibalah pagi itu
Keesokan paginya, lepas sahur, saya tetap terjaga, tapi kali ini untuk bersiap pulang ke Bekasi. Setelah selesai solat subuh, telepon masuk. Dari ICU.
Di ujung telepon perawat panik menanyakan saya ada dimana, dan meminta segera ke rumah sakit. Semenit kemudian, telepon lagi dari ICU, meminta izin pemasangan ventilator.
Detak jantung nol dan saturasi 20%. Saya menyetujui pemasangan ventilator. Saya bergegas bersiap, bersama suami mengangkut dua anak yang masih terlelap.
Selang 10 menit kemudian, kembali telepon dari ICU. Lebih tenang, hanya menanyakan saya ada dimana dan meminta secepatnya datang ke ICU.
Setibanya di ICU, setelah menunggu sekitar 5 menit, dokter jaga menghampiri saya. Meminta saya melihat layar monitor. Saya pikir, dokter akan menunjukkan kamera CCTV yang menampilkan Babeh. Tidak, ternyata bukan itu. Layar monitor berisi beberapa kotak dengan banyak grafik. Dokter meminta saya untuk melihat kotak nomor 7. "Ibu, Bapak ada di kamar nomor 7. Ini grafik monitor jantung dan nafasnya. Tadi kami coba angkat dengan pacu jantung dan ventilator, tapi tidak merespon. Pupil mata sudah tidak merespon". Saya menjumpai grafik-grafik datar di layar itu. Suara dokter membuyarkan pikiran campur aduk di kepala saya. "Nyuwun sewu Ibu, boleh saya nyatakan sekarang ya. Di pukul 7.30".
Babeh pergi untuk selamanya.
Ternyata begini rasanya, berdiri di rumah sakit, sendiri, untuk menerima persetujuan pernyataan pasien meninggal.
Saya tidak menangis. Sama sekali tidak bisa menangis. Hanya terfikir secepatnya mengabari suami yang menunggu di mobil, bejibaku menghandle satu balita dan satu bayi 5 bulan yang kelaparan belum sarapan pagi. Selanjutnya mengabari Kakak yang berada di Bandung.
Tak terbayang bagaimana dulu Babeh dan Kakak menghadapi hal yang sama saat Ibu meninggal. Bedanya, saat itu kondisi biasa. Paling tidak bisa langsung mengumumkan di RT untuk meminta bantuan tetangga menata rumah, menerima tamu. Yang ini kondisi tidak biasa. Selanjutnya yang terfikir hanyalah, bagaimana cara pemakamannya.
Selama ini saya hanya melihat di TV sekilas gambaran pemakaman jenazah dengan status positif corona. Tapi saat harus mengurus itu sendiri, saya tidak tahu harus melakukan apa.
Rumah sakit menyerahkan sepenuhnya pada keluarga, karena fasilitas pemakamam dari Pemerintah Kota akan memakan waktu yang cukup lama. Saya menelepon Pak Budi. Bapak sepuh sahabat Babeh yang sudah seminggu terakhir ini riwa riwi sibuk membantu mencarikan donor plasma konvalesen untuk Babeh.
"Mbak, maaf, saya sama seperti mbak, tidak punya pengalaman, jadi saya juga tidak tahu bagaimana prosedurnya. Saya kesana dulu saja njih"
Menutup telepon ke Pak Budi, saya makin tersadar. Ini bukan kondisi biasa. Saya seperti bermimpi, setengah mati memohon diberikan kesehatan, dijauhkan dari corona, karena akan sedih sekali harus melepas kepergian orang tersayang tanpa bisa memeluk untuk terakhir kalinya. Ternyata jauh dari terkabulnya doa, saya harus bergabung dalam kumpulan orang yang berduka akibat corona.
Selang beberapa menit kemudian, perawat datang, menyerahkan APD lengkap. Ibu, kami tunggu Ibu siap, untuk melihat Bapak.
Apa yang harus saya lakukan. Saya coba googling doa jenazah. Sebisa mungkin menghafalkan, dan merutuki kembali kesalahan tiga tahun lalu saat Ibu saya berpulang. Kenapa sudah tiga tahun lamanya, saya tetap lupa menghafal doa.
Satu hal yang membuat saya semakin lemas pagi itu, bukan karena saya sendiri. Tapi pemakaman harus dilakukan maksimal empat jam pasca meninggal. Dan kakak saya tidak mungkin mencapai Semarang dalam waktu secepat itu. Saya mengabarkan ke Kakak untuk bersiap video call, agar ikut menyaksikan Babeh untuk terakhir kalinya. Kalau Babeh masih ada, pasti sudah ribut menunda pemakaman, menunggu anak-anaknya datang. Karena beliau tahu pasti, pasti, sesak sekali rasanya, tidak menyaksikan sendiri. Aku tahu juga Beh, tapi mau bagaimana lagi. Kami ikhlas sampai disini.
Saat masuk, saya hanya bisa istigfar. Doa jenazah buyar entah kemana. Saya hanya terus menerus istigfar sambil tetap berusaha mengarahkan kamera handphone ke wajah Babeh, memastikan Kakak yang rela berbagi layar dengan bude-bude, bisa melihat dengan jelas.
Berbeda dengan perasaan denial saat melihat jenazah Ibu dulu, kali ini saya sadar, itu Babeh. Ya, Babeh yang tidak bisa terlihat tersenyum karena masih terpasang ventilator.
Di samping ranjang ada meja dengan gelas kertas, water heater, dan sachet kopi instan di atasnya. Sepertinya Babeh tetap ingin menikmati hari-hari terakhirnya, mendekatkan diri padaNya sambil tetap ditemani minuman kesukaannya.
Saya tersenyum simpul. Sedih, tapi saya tahu Babeh baik-baik saja. Lebih baik malah.
Ambulance yang sudah saya pesan membawa peti. Petinya bagus sekali, dengan berbagai lapisan sesuai protokol kesehatan yang sudah disiapkan. Persis seperti yang ada di TV. Babeh muncul dengan kondisi tertutup rapat, tidak bisa dilihat.
Iring-iringan jenazah hanya terdiri dari mobil saya dan ambulance. Tanpa sirine bahkan ambulance dan mobil saya sempat terpisah lampu merah. Jauh berbeda dibanding pemakaman Ibu yang Babeh siapkan dengan sangat sempurna.
Untuk pemakaman Ibu, ambulance yang terbaik, sirine yang membuka jalan, iring-iringan panjang mobil dan bus wisata besar. Maaf ya Babeh, Babeh harus diantar dengan kondisi seadanya begini.
Ambulance mampir ke rumah. Sudah ada tenda sederhana dan warga yang berkumpul. Solat Jenazah diadakan di jalan, menghadap ke mobil ambulance. Itupun sebenarnya sudah dilarang pemerintah. Saya tidak punya tenaga lagi untuk melarang itu semua. Mencegah tetangga untuk masuk ke rumah sudah membuat saya kelimpungan. Saya masih punya balita dan bayi. Setelah semua ini, kami perlu tempat berlindung menjauh dari kerumunan. Kalau tidak dirumah, dimana lagi.
Syukurlah, makam sudah dipersiapkan. Pengurusan dibantu oleh Pak RT. Menunggu proses penggalian makam terasa sangat lama.
Alhamdulillah, bersamaan dengan adzan solat dzuhur, Babeh kembali ke bumi.
Beruntungnya saya dikelilingi orang-orang baik hati. Yang rela tetap mendatangi untuk menemani keluarga yang berduka. Meskipun jenazahnya positif corona. Saya merutuki sikap hiperbola saya yang melarang Babeh takziyah keluarga positif corona. Padahal bisa jadi keluarga sama sekali tidak ada kontak dengan yang sakit. Kalau tidak ada orang-orang itu, sepertinya saya sudah pingsan saja hari itu.
Selepas pemakaman, kami pulang ke rumah. Tidak ada orang. Rasanya seperti tidak ada apa-apa. Seperti kami pulang dari jalan-jalan saja. Meskipun saya katakan baik-baik saja dan meminta Kakak tidak perlu buru-buru datang, rasanya lega sekali ketika melihat Kakak datang, tidak lama setiba saya dari pemakaman. Mungkin sebenarnya saya tidak baik-baik saja, hanya mati rasa, jadi tidak terasa.
Babeh seolah tahu anak-anaknya tidak cukup cekatan untuk menerima tamu di rumah. Jadi Babeh pergi begitu saja. Meskipun sesak sekali rasanya, kami relakan kebaikan orang tua yang bertekad tidak mau merepotkan anak-anaknya.
Sore 18 April 2021 yang kelabu. Tapi tak sekelabu saat Ibu tiada dulu. Yang ini rasanya plong.
Sampai ketemu lagi, Babeh.
Rasanya kangen sekali! Meskipun tetap ngeledek, tapi senang sekali waktu Babeh datang ke mimpi dengan wajah cerah ceria pamer bisa makan bakso lagi.hihi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar