11/30/2025

Cerita nusantara dimana kah logika

Semangat sekali menuliskan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Selain karena saya menjadi Host, tema tantangan Bulan ini membuat saya bersyukur menjadi orang Indonesia-banyak sekali ide cerita di luar logika yang bisa dituliskan. Ditambah angan-angan setor tulisan H+1 pengumuman tantangan, yang membuat saya bisa menjadi bagian cerita di luar nalar itu. Sayangnya, tidak terwujud😀-saya tetap menjaga status logis sebagai deadliner garis keras untuk setor tantangan kali ini.


Saking banyaknya cerita di luar nalar yang terjadi di Indonesia, saya kebingungan ingin menuliskan yang mana. Kejadian paling gong di bulan ini, yang tentu saja mengalahkan berita Raisa dan Hamish, adalah berita banjir bandang di Sumatera. Baru kali ini pikiran saya bercabang-cabang bingung melihat bencana nasional. Biasanya ketika ada bencana, reflek logika saya adalah memastikan apakah ada kolega yang menjadi korban, memberikan bantuan semampunya, atau pada level terkecil mendoakan. Melihat berita banjir kali ini, kepala saya ruwet. Gemas, tidak tahu harus apa dan mulai dari mana. 

Conference of Party (COP), sebuah pertemuan paling penting sejagad raya untuk membahas perubahan iklim baru saja usai. Dilaksanakan di Brazil, dengan seluruh pro dan kontranya. Selain harga hotel yang konon katanya melonjak puluhan kali lipat, Brazil menempatkan konferensi perubahan iklim ini di Kota Belem, sebuah kita di pinggiran Hutan Amazon. Maksudnya tentu saja baik, membawa pemangku kepentingan untuk membahas perubahan iklim di area hutan tropis terbesar di dunia. Biar pada bisa relate, begitu kata anak jaman sekarang. Kalau ada yang membahas pentingnya Amazon untuk mencegah dampak perubahan iklim di bumi, yang berdiskusi bisa langsung lihat apa itu Amazon.

Sayangnya, untuk menggelar konferensi ini, Pemerintah Brazil terpaksa membabat sejumlah area Hutan Amazon. Salah satunya untuk menyediakan akses jalan raya bagi para delegasi yang jumlahnya ribuan itu. Kota Belem yang sepi, tiba-tiba didatangi ribuan orang, dengan membawa karbon masing-masing. Iya, karbon, emisi dari kendaraan yang mereka pakai. Kecuali kalau semua negara datang berjalan kaki dari negara masing-masing lalu tracking menjelajah hutan Amazon, dan pertemuannya diadakan di tenda-tenda tanpa listrik dan AC.

Secetek pemahaman saya, tentunya menjadi di luar logika ketika konferensi untuk menegosiasikan target penurunan emisi gas rumah kaca, tetapi malah menghasilkan emisi yang besar. Ya tapi sudah lah, mungkin ada logika lainnya yang saya belum pahami.

Indonesia mendapat predikat fossil of the day dalam COP tahun ini. Penghargaan satir bagi negara yang membawa pelobi bahan bakar fossil terbanyak. Saya pikir hanya saya saja yang mempertanyakan, kenapa Publikasi negara kita untuk acara COP ini menampilkan logo perusahaan tambang. Logo utama yang tampil di setiap posting media sosial. Datang kesana, untuk membicarakan penurunan emisi Gas Rumah Kaca, yang salah satunya adalah dengan cara menggalakkan pemakaian energi terbarukan, tetapi disponsori oleh perusahaan tambang. Saya pikir, hanya logika saya saja yang tidak bisa mencerna ini, ternyata tidak masuk juga di logika banyak orang lainnya

Sebagai lulusan prodi di bawah pertambangan, saya mendapatkan doktrin bahwa batu bara adalah energi transisi yang bisa menjaga Indonesia tetap hidup, sebelum akhirnya energi terbarukan bisa betul-betul beredar. Saya pribadi setuju dengan hal ini, mengingat membangun bisnis energi terbarukan di Indonesia juga tidak semudah bermain engklek. Tapi kembali lagi ke COP, mungkin akan lebih cantik bila masalah transisi ini bisa disimpan rapat di dapur belakang dan kita tampilkan menu yang cantik sesuai selera tamu di meja makan. 

Belum selesai saya mencerna masalah COP, ternyata banjir bandang melanda kawasan Sumatera. Saya pikir 1-2 atau 3 kampung saja yang terendam banjir. Ternyata banjir kali ini AKAP-antar kota antar provinsi. Dan mengikuti style bus AKAP di kelok 9 yang melaju tanpa ragu, banjir bandang kali ini mengakibatkan begitu banyak korban jiwa, maupun korban hilang yang belum ditemukan. Begitu besar volume airnya, dan deras arusnya, menggerus daratan, membawa semua di dalamnya ke arah lautan. 

Logika kembali jungkir balik ketika melihat onggokan besar kayu logging terseret arus dan terhampar luas mengapung di laut. Lalu, masih ada saja yang berkomentar itu adalah kayu hasil pohon tumbang terbawa arus. Ingin rasanya membuat pertanyaan ujian akhir semester. 

Tebaklah cara kayu tersebut tumbang dari pohon, dengan memperhatikan bentuk kedua sisi potongan kayunya! a. dipotong oleh manusia dengan gergaji mesin ; b. pohon tumbang karena hujan lebat 

Belum lagi ingat beberapa bulan lalu, ada yang lantang sekali berbicara bahwa tanaman sawit sama dengan pohon hutan tropis. Sama-sama memiliki daun, katanya. 

Kapan-kapan kumasak untuk Bapak rumput teki disayur bening untuk menggantikan bayam. Kan sama-sama daun, Pak.

Andaikan ada yang mendokumentasikan cerita negeri ini. Terutama bagian penggundulan hutan untuk sawit, tambang serakah tanpa aturan, orang-orang sombong yang tidak mau beriman, dan diakhiri dengan banjir besar. Rasanya sudah lengkap untuk menambah koleksi cerita dongeng nusantara. Jadi bukan hanya cerita Malin Kundang saja yang batunya betul-betul bisa kita lihat. Tetapi kisah ini juga bisa kita lihat secara kasat mata, meskipun tetap sulit dicerna dalam logika. Dari kisah serakah manusia, hingga adzab yang menimpanya. Sayangnya, adzab disini bukan hanya menimpa yang serakah, tapi juga seluruh penduduk di negeri itu. Sungguh menyedihkan. 

Penutup

Maksud hati ingin menuliskan cerita ringan saja, tapi pikiran terlalu kalut memproses logika di balik banjir Sumatera. Mohon maaf mah, jadi numpang curhat :)