Aneh sekali rasanya. Baru sekarang saya menyadari, salah satu hal yang paling menakutkan adalah mengingat kembali kenangan di masa kecil. Berat sekali rasanya untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini. Tapi demi pencapaian hidup paling hakiki tahun ini: tidak bolos setoran tantangan, marilah kita beranikan diri. Meskipun memang benar kata Teh Uril: Tidak sesimpel itu, Ferguso!
Dan benar saja, baru mulai mengetik paragraf pembuka, saya sudah sesenggukan nggak karuan.
Rumah kesayangan
Saya lahir dan menghabiskan masa kecil hingga lulus SMA di Semarang. Tinggal di sebuah rumah pemberian kakek untuk ibu, berlokasi di bagian barat kota, dulu dikelilingi kebun jambu biji. Dulu, di bagian depan penuh sekali dengan tanaman suplir dan kuping gajah koleksi ibu. Biasanya ibu akan bertaring bertanduk ketika ada kucing numpang buah hajat di atasnya atau daun kuping gajah tiba-tiba krowak jadi kudapan ayam tetangga.
welcome home!
Ukuran memang relatif. Saat pindah ke ibu kota dan berkeliling mencari rumah (yang affordable), kusadari ternyata rumah ini besar sekali😂
Tentu saja foto diatas adalah penampakan rumah setelah mengalami banyak perubahan. Konsep rumah tumbuh benar-benar dijalankan oleh orang tua saya. Dulu, di bagian depan hanya ada teras seuprit yang selalu becek kalau hujan dan setiap belajar kelompok di rumah selalu ada teman yang kejengkang. Saking umpel-umpelannya duduk di teras kecil itu😂. Di depan teras ada pohon mangga harum manis. Buahnya manis, besar, dan tentu saja setiap panen cukup untuk dibagikan ke tetangga se-RT.
Bapak dan ibu meletakkan meja kursi kayu di teras itu. Maksudnya semacam modal untuk mengharap doa, ada yang ngapelin anak-anaknya. Sayang, yang terjadi tidak ada proper ngapel yang benar-benar terjadi. Kakak saya punya pacar dan bolak balik diantar mas-mas pulang kerumah saat SMA, tapi rasanya tidak ada yang cukup berani untuk duduk disitu lama-lama sambil diintrogasi orang tua. Saya? nggak pernah punya pacar euy😪. Jadilah kursi teras ini hanya dipakai untuk ngapel oleh kucing-kucing tetangga😂
Ruang tamu, arti tetangga untukmu
Seperti rumah jadul pada umumnya, rumah orang tua saya punya ruang tamu yang cukup longgar. Tamu bisa duduk santai menghabiskan berjam-jam untuk mengobrol disini. Hangat, akrab, dan nyaman. Tidak seperti rumah saya jaman sekarang yang rata-rata tidak punya ruang tamu.hehehe.
Memang, mereka sedekat itu dengan tetangga. Saat tinggal disana, yang terlihat hanya tamu datang dan pergi silih berganti. Di ruang ini, bapak saya biasa menerima bimbingan mahasiswa dan ibu saya -yang entah mengapa selalu terpilih jadi bendahara PKK RW- menerima tamu untuk transaksi keuangan. Saat kedua orang tua sudah tiada, baru kami tahu, tetangga-tetangga kami sayang sekali dengan rumah ini. Bahkan posesifnya melebihi kami anak-anaknya yang pernah tinggal disana😂.
Kamar, tempatku berubah wujud
Maaf, bukan mau sombong. Tapi saya termasuk anak berprestasi dulu (perlu bold dengan garis bawah untuk menghindari bias😂). Juara bayi sehat saat batita, juara pesantren ramadhan saat balita dan usia TK, juara murid teladan saat SD, ketua osis dan juara lomba pramuka saat SMP, lanjut juara lomba palang merah remaja saat SMA. Bisa masuk ITB juga bisa dihitung prestasi lah ya, hahaha.
Lain di luar lain di dalam. Diluar saya garang tegar dan berprestasi. Di rumah saya anak kolokan yang selalu minta diladeni dan bobok di ketek ibu. Kamar tentu saja menjadi secret comfort zone dimana saya menghabiskan waktu dengan mengunci pintu lalu mengamuk ketika merasa terganggu. Nangis berteriak, nendangi tembok sambil nduduti sprei. Penyebabnya bisa apa saja. Permintaan yang tidak dikabulkan orang tua, ditegur orang tua, atau malas ikut les privat. Guru les sudah datang dan saya kabur mengunci pintu sembunyi di kamar. Teriakan saya ketika ngamuk ini bisa terdengar oleh satu gang RT. Dipikir-pikir kok bisa yaaaa, bapak ibu sabar sekali. Kalau saya yang ada di posisi mereka, rasanya $#!!$#$#%!!!😓.
Meja belajar di kamar, sekarang ukurannya tampak kecil sekali. Saya bisa menggelar semua buku pelajaran dan latihan soal disini, dulu.
maaf ya beh, mas masuk SD bulan Juli ini tapi kamar sama meja belajarnya belum siap, jangan marah ya beh. lagi disiapin kok😔.
Tentunya bapak yang aliran super jadul belum mengenal konsep sekolah alam dimana anak-anak belajar sambil ndlosor di lantai. Belum tau aliran mana yang lebih baik. Yang jelas, meja ini menjadi saksi bagaimana saya mencapai impian masuk sekolah kebanggaan. Bermodal menghafal jawaban soal karena tidak terlalu pintar, di sinilahsaya menggelar segala buku contoh soal, sambil mendengarkan radio dari boombox. Berharap kecengan kirim lagu dan salam, meskipun dalam kasus ini harapan tak pernah menjadi kenyataan😂.
Makan, makanan, kehangatan, dan kegendutan
Makan adalah source of happiness keluarga saya. Bapak ibu hobi makan, dan menurun ke anak-anaknya. Ibu tidak hobi masak. Hanya masak kalau kepepet, itupun menunya indomi rebus dicemplungin sayur atau telur ceplok. Ada asisten yang bertugas masak makanan atau kami jajan keluar kalau ingin makan istimewa. Tidak seperti belajar, bapak menerapkan gaya bebas untuk makan. Meskipun punya meja makan, hanya bapak yang biasa makan disitu. Piring, serbet makan, dan wijikan -kobokan- selalu tersedia untuk bapak. Saya dan kakak lebih sering makan di depan TV, duduk di lantai atau di sofa.
Lauk disajikan di meja makan ini. Tumis buncis intil-intil jantung pisang, mangut manyung, dan terik daging. Kangennya😓
Meskipun tanpa table manner bapak ibu selalu mewajibkan kami makan. Harus sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Ibu akan menyuapi saya yang buru-buru pakai seragam dan sepatu sekolah. Entah mengapa tidak ada yang namanya sarapan dengan roti atau oatmeal di jaman itu, jadi menunya nasi atau indomi. Sepulang sekolah segelas susu sudah menunggu di meja makan. Disajikan dengan gelas dunkin donat bulat, berisi susu kental manis dengan campuran serbuk milo yang akan dihujat netizen kalau diberikan ke anak-anak jaman sekarang😂.
A space you call it home
Hari ini, tiba waktunya untuk saya dan kakak melepas rumah kesayangan. Berat sekali rasanya, sedih seperti saat orang tua berpulang, tapi terasa jauh lebih berat karena kita sudah diberi tahu kapan waktunya akan tiba. Terlalu indah untuk diakhiri, tetapi lebih buruk lagi bahkan kalau tidak pernah terjadi. It's not only house, I call it home. Rumah yang meskipun fisiknya nanti tidak ada lagi, tetapi rasa-nya akan selalu ada di hati. Mengisi celah ruang yang tidak pernah akan terganti, kubawa untuk bersanding dengan cerita indah selanjutnya😊.
9 komentar:
bittersweet memory <3 <3
Melepas rumah masa kecil tuh... memang seperti merelakan separuh hati untuk pergi ya. Begitu banyak memori yang rasanya pengen dikekep sendiri, tapi memang kita tahu itu tak mungkin. Saya juga merasakan hal serupa, Teh Ririn, ketika harus melepas rumah bapak & ibu... dengan segala jejak sejarahnya yang jadi kenangan.
Tidak terasa, air mata menetes.... Sedih dan mengharukan. Peluk virtual untuk Ririn. Semoga yang akan menempati rumah Ririn dan Restu mampu menjaga rumah ini dengan penuh kehangatan dan berkah...
Ceritanya bikin saya mewek, tapi bikin ngikik juga, ampun Ririn, wkwkwk, banyak kekocakan nyempil.
Semangat selalu, Mamah Ririn. :)
Dari atas langsung berpikir, ini dokumentasi fotonya komplit amat? Trus di akhir jadi mengerti dengan haru. Tulisan yang bakal jadi kenangan, ini ya 🥰
I feel u teh. Saya kan di bandung merantau ya. Bbrp tahun lalu saya safar ke rumah masa kecil. Dulu kami cuma numpang disana. Pas saya minta main ke komplek situ lagi kaget ternyata rumah itu sudah rata dengan tanah. Jadi lahan kosong dengan rumput2 meninggi. Sedih rasanya. Mksd hati ingin sekedar foto tampak luar lah, sekarang kan sudah gampang ada hape. Jadi gak dapat apa apa
Waaahhhh ... Teh Ririn adiknya teh Restu ya. Rumah masa kecil yang indah ...
Kisahnya bikin terharu...Rumah masa kecil kami yg mana ya?...Soalnya dulu sering pindah. Pernah sih ketemu, trus foto depan rumahnya deh...Udah rumah org lain...
Ririn.... meja belajar kita sama deh kayanya. Ligna ya. Ha...ha...
Btw, kalau fotonya ukurannya dibuat besar, pasti lebih cakep-cakep deh.
Posting Komentar