Sepertinya hampir semua orang setuju bahwa melihat dan mengomentari orang lain akan terasa lebih mudah dibanding dengan bercerita tentang-atau memberikan kritik untuk- diri sendiri. Masih kuat dalam ingatan, orang tua saya sering sekali membahas kehidupan orang lain dalam obrolan sehari-hari keluarga. Cerita yang diangkat mayoritas beraura negatif, diakhiri dengan istigfar mohon ampun agar dijauhkan dari kondisi tersebut, dan hamdallah bersyukur bahwa keluarga kami ada dalam kondisi yang jauh lebih baik dari tokoh di cerita itu.
Sedikit mengingat isi The Danish Way of Parenting, ternyata salah satu hal yang diyakini membuat anak-anak di Denmark tumbuh menjadi orang yang bahagia adalah buku cerita anak yang dibuat sesuai realita. Tidak hanya menampilkan suka, tetapi juga duka, dan tidak jarang memberikan akhir cerita yang sedih. Dipikir-pikir mungkin ini sejalan dengan kebiasaan orang tua saya. Entah sengaja dengan dasar ilmu parenting atau memang tabiat saja suka ngomongin orang (hahaha), kebiasaan ngrasani -membicarakan- orang sedari dini tanpa sadar membuat saya bahagia. Mungkin karena merasa hidup di tengah keluarga yang baik-baik saja, tidak seperti si anu atau si itu yang begini dan begitu. Tentunya kalau harus mengulangi gaya parenting seperti ini saya akan memilih mengangkat pembelajaran dari buku cerita saja, tidak se-ekstrim orang tua saya yang langsung mengutip dari kisah nyata.hahaha.
The Danish Way of Parenting, saya yakin orang tua saya belum pernah baca buku ini
sumber: https://www.goodreads.com/book/show/28815322-the-danish-way-of-parenting
Selain sisi positif menumbuhkan rasa bahagia, kebiasaan mendiskusikan kondisi orang lain tadi ternyata membuat saya sering lupa untuk melihat ke dalam diri sendiri. Setelah hidup mandiri, terlebih saat kedua orang tua sudah tiada, rasanya seperti tertampar-tampar realita. Ternyata, kehidupan saya dan cerita orang tua saya, kok sama sama saja, ahahaha. Terlalu banyak memperhatikan orang lain, khawatir juga yah jadi orang yang tidak tahu diri. Agar kembali berpijak di bumi, mari kita tuliskan tentang diri sendiri kali ini. Mengingat saya tidak punya outstanding behaviour yang cukup menarik diceritakan apalagi dicontoh, mari kita ceritakan kehidupan sehari-hari saya sebagai mamah gajah saja.
Kehidupan Bubu Gajah
Perjalanan saya menjadi bubu, ibu untuk anak-anak saya, belum seberapa panjang. Baru lima tahun lamanya dimana satu tahun belakangan dengan dua anak, tapi rasanya sudah wow sekali. Kalau sedang lupa diri, sering kali saya merutuki mengapa orang tua saya cepat sekali pergi. Pasalnya, saya ingin tanya bagaimana mereka dulu menghadapi saya. Maksudnya tentu saja mau nyontek cara-cara menghadapi anak yang macem-macem polahnya. Paling tidak agar anak-anak saya bisa merasa seperti saya, tidak sadar merasa punya luka pengasuhan dan kangen bapak ibunya ketika dewasa karena merasa bahagia tumbuh di dalam keluarga.
Tidak ada yang luar biasa dari kehidupan saya sebagai bubu, kecuali, kehebohan jungkir balik kesana kemari untuk mengurus anak. Mungkin karena saya kurang berilmu untuk mengarungi kehidupan parenting ini. Satu yang bisa saya ceritakan adalah saya merasa cukup dekat dengan anak-anak saya. Si sulung selalu menceritakan apapun yang dilihat dan dipikirkannya, dan si bungsu siap siaga mengendus kedatangan saya di ruang keluarga selepas kerja untuk segera minta pangku atau gendong. Dengan ukuran tubuh mereka yang semakin membesar, rutinitas malam masih saja sama. Sikat gigi, bermain petak umpet, baca buku, dan diakhiri dengan nemplok sampai merem. Maaf posting kali ini penuh kejorokan - tapi bisa dikatakan dua anak ini ibarat fans berat ketek saya. Saya tidur dengan posisi 1/2 badan menghadap ke kanan dan 1/2 badan lainnya menghadap ke kiri karena dua anak saya selalu ingin nemplok dengan posisi saya menghadap ke arah mereka. Kalau sudah begini, sering kali saya iri pada didi nini towok yang bisa punya dua sisi tubuh dan wajah 😝. Setiap malam, dua anak ini tidur dengan sangat nyenyak dibawah naungan ketek saya, seolah tidak peduli pada bubunya yang meliuk-liuk encok. Well, menggerutu tapi pada faktanya ketika harus tidur tanpa anak-anak dengan posisi lurus yang jauh lebih ideal, saya tidak bisa tidur😓.
Setiap hari, ritual malam dan siang hari tidak jauh berbeda. Dua anak nemplok dan praktis saya tidak leluasa pergi kemana-mana. Jangankan berharap ke luar rumah, ke kamar mandipun drama.hahaha.
Induk koala dan dua anaknya, sangat menggambarkan saya
Sumber: http://www.tahupedia.com/content/show/1849/10-Induk-Hewan-Yang-Sangat-Protektif-Terhadap-Anaknya
Ngedumel mengapa punya anak kok nemplokan semua, sibuk mempertanyakan apakah saya akan membesarkan anak-anak yang tidak bisa hidup mandiri tanpa ketek saya, sampai suatu hari di akhir tahun lalu, saya dan suami mengantar si sulung pergi untuk ikut obeservasi sekolah. Diantar hingga bertemu dengan panitia penerimaan siswa baru, tanpa ragu dia melambaikan tangan untuk meninggalkan saya dan baba-nya, mengikuti ibu panitia menuju kelas observasi. Samar dari kejauhan, terlihat dia melepas sepatunya sendiri, meletakkan di rak sepatu, menyapa ibu guru dan anak-anak lainnya, dan dengan sangat gembira mengikuti seluruh proses observasi yang cukup panjang, setengah hari lamanya.
Bayi gajah yang sudah tidak bayi lagi😢
Kaget dan bersyukur. Bayangan harus membujuk bayi 25 kilo yang menangis tantrum guling-guling di rumput menolak masuk ruang observasi sendiri ternyata sama sekali tidak terjadi. Anak gembira, menyisakan bubu yang terharu mellow. Bayi bubu sudah besar. Setiap moment meliuk-liuk encok dengan anak-anak nemplok sepertinya memang harus benar-benar dinikmati. Ternyata, 5-6 tahun itu akan berlalu dengan cepat sekali. Apalagi kalau mengingat taring bubuzilla yang sering kali muncul di sepanjang hari, duh, rasanya jauh lebih mellow lagi...
Mamah Gajah Pergi Bekerja
Bila peran sebagai bubu saja tidak ada yang istimewa, apa lah menariknya menceritakan saya sebagai pekerja. Tidak seperti peran sebagai bubu yang tanpa cuti, pekerjaan saya memberikan fleksibilitas tingkat tinggi dalam urusan waktu dan keluarga. Seperti banyak pekerjaan lainnya di Indonesia, kantor saya memberikan cuti melahirkan dan cuti berkabung. Mungkin yang sedikit berbeda, saya juga mendapat slot cuti untuk mengurus anak yang sakit dan cuti acara pembaptisan anak. Di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama muslim diartikan sebagai cuti untuk acara sunatan anak. Pada kenyataannya, seringkali untuk berbagai keperluan tersebut saya cukup melapor kepada atasan dan mendapat instruksi untuk izin saja, tanpa harus mengambil cuti. Jadi jatah cuti, apalagi di jaman pandemi ini, jarang sekali habis hingga di akhir tahun. hahaha.
Saya tidak akan menceritakan bagaimana saya bekerja, menangani paper work dan manusia dalam waktu bersamaan adalah hal yang sangat biasa dan tidak cukup istimewa. Satu hal yang membuat rutinitas bekerja saya dua bulan terakhir ini menjadi berbeda adalah ketika saya pindah rumah ke pinggiran kota Jakarta, dan seiring melandainya grafik kasus covid di akhir tahun lalu, kantor saya mewajibkan pekerjanya untuk datang ke kantor lagi.
Naik angkutan umum, seperti bus atau kereta, di kondisi pandemi yang masih abu-abu ini tentunya bukan pilihan terbaik. Belum sepenuhnya beroperasi jadi jumlah armada terbatas, dan membayangkan harus berdesakan dengan orang-orang lain membuat keengganan kembali ke kantor semakin besar. Tidak ada jalan lain, saya harus naik mobil ke kantor. Mengharapkan suami bisa mengantar dan menjemput adalah suatu keniscayaan.
Saya harus belajar bawa mobil sendiri.
Bila selama ini duduk di kursi kemudi untuk mengantar anak ke daycare yang jaraknya hanya sekitar 5 KM dari rumah dan hanya melewati jalan-jalan kecil saja sudah membuat saya gemetaran, kali ini, saya harus mengarungi jalanan Jakarta-Bekasi. Sekitar 35 KM panjangnya, melalui tol-tol besar dan jalan layang, sebagian besar diantaranya berbagi jalan dengan supir-supir truk tronton lintas kota antar provinsi. Tak terbayang bagaimana saya harus melakukannya.
Truk dan macet. Setelah duduk di kursi supir, barulah saya paham mengapa suami saya sering kali merutuki perilaku supir truk di jalan😂
sumber: https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4412621/dibilang-mahal-begini-rincian-tarif-tol-trans-jawa-untuk-truk
Percobaan pertama perjalanan ke kantor di hari Sabtu, saat jalanan tidak padat dan didampingi suami. Saya, yang tidak terbiasa nyetir di jalan tol dan lemah dalam membaca peta apalagi mengingat jalan, memerlukan waktu 3 jam untuk sampai di kantor. Pengalaman pertama ini menyisakan sakit punggung dan pundak tegang yang baru hilang seminggu kemudian, itu pun dengan bantuan 2 tube cream pereda nyeri otot dan entah berapa lembar koyo.
Percobaan kedua, lebih baik. Masih sakit punggung dan pundak, tapi paling tidak sudah berkurang, karena tidak ada suami yang heboh mengomentari saya "ngangkangin" marka jalan atau menyetir terlalu mepet pembatas jalan akibat sibuk berusaha menjauh dari truk tronton yang ada di sebelah saya. Estimasi perjalanan 1,5 jam, berakhir dengan delay 2 jam, menjadi 3.5 jam karena saya salah ambil lajur jalan layang, okelah yang ini masih dimaafkan.
Percobaan ketiga, jauh lebih santai dan mencoba mengisi kebosanan di jalan dengan mendengarkan radio. Perjalanan menjadi sangat menyenangkan, tetapi tetap menghabiskan waktu 3 jam. Saya sibuk tertawa mendengarkan siaran radio sampai lupa melihat peta. Terlewat exit toll. Menuju exit toll itu saja sudah perjuangan tersendiri. Sekarang saya harus berputar, dan mengantri dari awal lagi. Terbayang senyum memukau petugas pom bensin dengan perkataan khas-nya: dari nol ya bu☺ -Alamak, mau pingsan rasanya!😂.
Percobaan keempat, lebih berkonsentrasi, dan yeay! 2 jam saja untuk sampai ke kantor.
Hari kelima saya merasa sudah jauh lebih lihai, bisa pindah jalur di toll tanpa mendapat klakson dari mobil lain, dan menyetir dengan lebih bersahaja.
Sekarang, di jam-jam sibuk, saya bisa mencapai kantor atau rumah relatif hanya dengan 1,5 jam saja. Bangga, berhasil jadi supir Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), tentunya tidak termasuk ugal-ugalannya yaaa.hehehe
Kepepet adalah faktor pendorong terbesar saya. Sisanya, tentu saja setiap perjalanan harus dipersiapkan dengan baik. Bahan bakar, ban, dan saldo e-toll harus dalam keadaan terisi cukup. Untuk ketiga hal ini, suami adalah supporting system terbesar saya. Dia rajin sekali memastikan mobil dan kelengkapannya siap dipakai sang istri. Mungkin karena terlalu horor membayangkan ditelepon istri yang nangis-nangis jongkok di pinggir di jalan toll, meminta jemput karena kehabisan saldo e-toll.
Mamah Gajah dan Cap Gajah
Tentu saja cap gajah sangat mempengaruhi berbagai peran yang saya jalankan. Seperti banyak anak gajah lainnya, saya merasa senang bersekolah di kampus gajah. Tentu saja terbesit dalam pikiran, saya ingin anak-anak saya kelak juga kuliah di kampus ini, atau paling tidak menemukan tempat kuliah versi mereka, yang membuat mereka sebahagia saya. Peran saya sebagai pekerja juga tidak jauh-jauh dari cap gajah. Entah berapa gajah yang ada di sekitar saya. Saking banyaknya, mungkin lebih mudah untuk menghitung jumlah hewan lainnya saja. Bangga, pasti ada. Namun, sering kali malu juga. Sudah banyak gajah dari kampus terbaik bangsa yang ikut bekerja tapi masalah bangsa tak kunjung selesai jua. Terlepas dari itu, tidak bisa dipungkiri, membawa label gajah cukup mempermudah saya untuk berinteraksi dalam dunia kerja karena yang ditemui biasanya ya sesama dari dunia gajah juga. Meskipun, gajah juga banyak bentuk dan jenisnya yaaa. Ada yang malu-malu, ada yang malu-maluin, eh itu sih saya aja, tapi relatif lebih menyenangkan lah. Paling tidak bisa dimulai dengan percakapan khas gajah: jurusan apa angkatan berapa. Setelah itu, lanjut mengobrol? Biasanya iya, tapi tidak jarang juga setelah pertanyaan pembuka, saya merasa ingin secepatnya melipir kabur.hahaha.
Penutup
Tentunya akan lebih mudah untuk saya bila judul tantangannya adalah tentang Tetanggamu, Mamah Gajah. Kalau itu sih, saya tinggal mengingat kembali kumpulan kisah obrolan keluarga di masa kecil, pasti lebih dari 500 kata, hahaha. Menceritakan tentang diri sendiri ternyata menantang juga ya. Sambil menulis, melihat kembali apakah hari-hari yang dijalani selama ini sudah cukup berarti. Di balik itu, karena setiap hari berlalu dengan sangat cepat, sering kali kita lupa bersyukur. Duduk sejenak menuliskan cerita ini mengingatkan saya untuk lebih mensyukuri setiap hal yang ada dalam kehidupan saya.
2 komentar:
Wkwkwkwkwkwk ya ampun, penutupnya itu lho, bikin ngakak, emang dah Bubu Gajah satu ini bisaan bikin perut terkocok. "Tentang Tetanggamu, Mamah Gajah". Ya Lord, ampun Ririn. wkwkwkwk.
Wah seru banget bacanya, apalagi yang bagian proses nyetir sendiri lewat tol. Ruar biasa, alhamdulillah akhirnya BISA ya Ririn. Selamat ya. :)
Nice to know u Ririn. :)
Suka sekali sama tulisannya Teh Ririn (atau Mbak nih karena aku membaca ada kata-kata ngrasani dan polah). Waktu baca bagian bayi gajah yang ke sekolah sendiri saya terharu sampai mimbik-mimbik ikutan ngebayangin kalau nanti anak sendiri sekolah juga gimana (padahal masih lama banget), tapi pas cerita trial nyetir di tol saya juga bisa ketawa-tawa, apalagi bagian nangis-nangis jongkok di pinggir jalan tol. Salut sekali sama Teh Ririn yang kerja tapi masih bisa dekat nempel sama dua anaknya.
Btw salam kenal Teh, hehe
Posting Komentar