Bulan Agustus tahun ini berat sekali rasanya mengibarkan bendera merah putih. Betul, lemari berantakan selalu menjadi alibi utama. Namun, biasa, saya masih bersemangat 45 untuk menemukan lembaran bendera, tegopoh-gopoh mengeluarkan tiang bambu panjang atau apapun yang bisa menggantikannya, serta mengajak anak-anak ikut serta mengibarkan sang merah putih di depan rumah. Bulan ini cukup berbeda, kurang motivasi saja rasanya. Seperti terlalu banyak yang dirutuki melihat kondisi bangsa sendiri. Namun sebelum keluhan berlanjut, mari kita ikut Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bertema Teknologi: Memerdekakan atau Menjajah.
Semacam cek singkat, apakah memang kita saat ini terjajah, atau malah dipermudah, dan kondisi ini lah yang kita inginkan. Dari sekian banyak topik, saya coba mengambil cuplikan potret dari sisi kehadiran teknologi dalam penyediaan makanan.
Surga Makanan
Tak perlu diragukan lagi, Indonesia, dengan kekayaaan sumber daya alamnya menyuguhkan berbagai bahan makanan yang melimpah ruah. Tadinya saya pikir kondisi ini hanya berlaku bila kita tinggal di pedesaan. Bertani di sawah, atau dari kebun yang terbentang luas, ada berbagai macam sayur atau buah yang disediakan alam, dan tinggal kita ambil saja untuk memenuhi kebutuhan makanan kita. Ternyata jauh lebih mudah, Mah. Saya, tinggal di area pendukung kota Jakarta, dengan kepungan pabrik dan tanah secuplik, ternyata masih bisa merasakan kondisi memperoleh makanan alami dari lingkungan sekitar.
Waktu pertama pindah ke rumah ini, kami menikmati puluhan buah pepaya manis dari pohon pepaya liar yang tumbuh di halaman belakang. Sepertinya tumbuh karena terbawa burung kalau dilihat dari deretan pohon yang sungguh tidak beraturan. Di depan dan samping rumah, berderet jejeran pohon singkong yang daunnya tak pernah habis diambil, hasil tetangga saya menancapkan batang singkong dengan tanpa upaya berlebih. Pisang kepok kuning pulen dari deretan pohon pisang yang ditanam dengan sekali tancap juga sering tersedia. Apalagi daun pepaya jepang yang manis karena baru dipetik pagi hari sebelum dimasak, jangan ditanya, selalu ada. Belum lagi batang pohon kelor yang tadinya hanya didirikan sebagai bagian dari para-para, malah tumbuh subur dan menyediakan stok daun kelor untuk bothok atau sayur bening setiap saat bagi keluarga kami.
Sungguh nikmat mana lagi yang kau dustakan.
Pilihan Makanan yang Semakin Beragam
Kehadiran teknologi membuat pilihan makanan yang ada di Indonesia menjadi semakin beragam. Kalau dulu hanya ada gaplek, saat saya usia sekolah sudah ada yang namanya mi instan. Tidak perlu lagi kelaparan menunggu panen singkong, atau bergantung pada produksi manual gaplek. Cukup pergi ke warung terdekat, membuka bungkus plastik, dan dalam hitungan menit perut nyaman hangat terisi, sungguh kenikmatan yang haqiqi (harus ditulis tebal untuk menggambarkan sensasi nikmat yang dihadirkan i*domie).
Bila i*domie-meskipun sudah ditambah dengan telur dan pakcoy hijau untuk mengurangi rasa bersalah- dirasa kurang elegan dan kekinian, masih ada sereal berbagai rasa dalam bermacam bentuk kemasan. Disiram dengan susu yang sudah tersedia di dalam kotak multilayer: memastikan hasil perahan sapi ini bisa dinikmati seluruh Bangsa Indonesia tanpa harus banyak berusaha, antri ke Koperasi Unit Desa, apalagi harus dimulai dari memelihara sapi. Pilihan lainnya adalah memenuhi kebutuhan pangan dengan mengkombinasikan suguhan alam dan campuran teknologi: granola dengan potongan buah.
Diluar itu, kombinasi tepung terigu tentu saja menjadi godaan tersendiri. Gorengan baru keluar dari wajan dengan minyak berkilau, atau pancake hangat dengan taburan topping yang menjadi andalan mamah ketika anak kicik sudah mulai eak eok malas sarapan nasi, sayur, dan telur ceplok.
sumber: www.pontianak.tribun.com
Hasilnya Kau Pilih Sendiri
Semenjak harus memasak Makan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI), saya baru menyadari, bahwa kehadiran teknologi dalam penyediaan makanan bisa menjadi pisau bermata dua. Saya pikir tadinya, karena ada teknologi di bidang ini, kehidupan manusia menjadi lebih mudah. Terutama bagi orang-orang yang tinggal di Indonesia, atau dimana pun kekudetan terjadi, teknologi di bidang pangan bisa menjadi penyelemat bangsa. Ternyata ada pula sudut pandang lainnya.
Saya sangat berterima kasih dengan kehadiran teknologi dalam penyediaan makanan. Entah apa jadinya bila tidak ada teknologi susu formula. Anak saya yang bingung puting setelah perawatan sakit kuning seminggu setelah lahir mungkin akan tumbuh kurang gizi dengan berbagai komplikasi yang menyertainya bila saat itu hanya ada air susu ibu. Mungkin beras akan semakin langka bila tidak ada teknologi yang memungkinkan untuk mengolah gandum impor menjadi tepung. Mungkin kita tidak akan minum susu sapi lagi saat ini bila tidak ada teknologi kemasan ulta process.
Contoh lainnya yang terbayangkan, sepertinya akan lebih banyak anak yang keracunan bila penyediaan makanan, apalagi dalam jumlah massal, tidak didukung intelegensi manusia yang memadai teknologi #eh.
Di sisi lain, kehadiran teknologi dalam penyediaan pangan ternyata bisa menjadi berbahaya ketika tidak digunakan dengan bijak. Sudah bukan hal baru lagi, dimana makanan kemasan dibanjuri dengan gula dan garam berlebih. Deretan nama asing senyawa kimia tersusun rapi mengisi bagian ingredients. Pengawet makanan, tentu saja tidak usah ditanya lagi.
Dengan proses pengawetan bersuhu tinggi tentunya membuat kita tidak lagi bisa berbicara tentang kandungan gizi. Gizi fortifikasi dimasukkan kembali ke dalam material makanan yang sudah kopong akibat proses produksi itu, lagi-lagi dengan bantuan teknologi. Kandungan makanan menjadi lebih terkuantifikasi, begitu kata suami saya yang tukang bikin minuman kemasan.
Kegendutan? jangan ditanya. Gempuran karbohidrat, garam, gula, dan pengawet makanan. Bukan hal baru mendengar beragam diabetes dan obesitas tidak hanya menyasar orang dewasa tetapi juga sudah merambah anak-anak.
Ketika kondisi seperti ini, memang kita tidak bisa hanya mengeluh lagi. Menyalahkan teknologi sebagai sumber penjajahan sepertinya sudah kurang cocok. Toh kita memanfaatkan juga teknologi tersebut. Pada akhirnya, akan kembali ke pilihan masing-masing. Apakah kita akan terjajah teknologi -dan jadi kegendutan-, atau kita memanfaatkan teknologi untuk memenuhi kebutuhanan makanan yang mendukung kesehatan.
Penutup
Begitulah secuplik refleksi, agar selalu ingat tidak hanya terus merutuk. Karena sebetulnya yang diperlukan untuk bertahan di negeri konoha adalah kontrol diri.