9/24/2024

Zero Waste, cerita dari sisi lainnya

Maju mundur memikirkan apakah akan ikut Zero Waste Blog Challenge adalah salah satu aktivitas penting saya sebulan ini. Memang sungguh kurang berfaedah, kenapa nggak langsung nulis aja, Rin😂. Mengetahui bahwa batas pengumpulan tantangan mundur, marilah kita bulatkan tekad untuk maju.. maju ikut tantangan maksudnya, hehehe. Kita coba dulu ya mah, semoga sukses.

Zero waste adalah istilah yang sering sekali berseliweran di kepala saya. Entah dari teks yang saya baca, dari mendengarkan orang lain berbicara, atau dari mulut saya yang sedang bekerja memberikan ceramah saran. Saking seringnya lewat, sampai terkadang saya bingung sendiri zero waste iki opo tho yo jane- zero waste itu apa sih sebetulnya ?


Ketika kantor ikut mengatur

Masih terseok-seok belajar dan gagap mendengar kata zero waste, apalagi untuk menerapkannya di rumah, sekitar 9 tahun yang lalu, tempat saya bekerja sudah mulai menerapkan aturan pengurangan penggunaan kemasan plastik. Salah satu cara yang paling didorong adalah dengan melarang penggunaan air mineral dalam kemasan botol plastik sekali pakai saat kami mengadakan acara.

Kantor saya biasa mengadakan acara di berbagai tempat, mayoritas dengan menyewa ruang pertemuan di hotel, atau meminjam ruang pertemuan di kantor-kantor pemerintahan. Saat itu, isu pengurangan sampah belum sehangat sekarang. Beberapa hotel dengan jaringan internasional sudah melek dengan isu ini, jadi ketika kami meminta penyajian air minum dengan gelas dan teko atau dispenser, meskipun belum terbiasa, mereka bisa memenuhi permintaan kami. Beda cerita dan sungguh jadi tantangan ketika harus menyelenggarakan acara di hotel minim bintang atau hotel di luar Jakarta. Saat itu, permintaan kami biasanya ditanggapi dengan tatapan tercengang.

Ketika kami bilang tidak boleh pakai air mineral dalam kemasan sekali pakai

sumber: MakeAMeme.org

Tatapan ini bisa berakhir dengan beberapa skenario. Pertama, JJP alias Janji Janji Palsu. Di depan bilang iya, di belakang botol plastik masih muncul juga dalam acara. Kedua, JJBB alias Janji Janji tapi Bisanya Begini. Gelas-gelas dan teko yang jarang dipakai muncul di permukaan. Dispenser yang entah diambil dari mana terpasang di ruang pertemuan. Kalau sudah begini, bersiap untuk puasa minum karena setelah melewati peralatan-peralatan jarang dipakai ini, air minum biasanya beraroma agak aneh. Atau pilihan lainnya ya tetap minum, dengan memanfaatkan previllage sebagai bangsa Indonesia: kebal makan minum tidak higienis😂. 

Skenario ketiga yang berakhir bahagia. Hotel dapat menyajikan dengan baik permintaan kami, entah hasil meminjam gelas hotel lain atau mungkin dari rumah salah satu pegawainya, kami tutup mata. Yang jelas, hotel-hotel dengan hasil yang ketiga ini akan masuk daftar hotel recommended untuk didatangi lagi.

Zero waste dari hati

Masih dalam rangka mengikuti peraturan dari kantor, tantangan makin meningkat ketika lokasi acara bukan di hotel. Melainkan di kantor pemerintahan. Untuk beberapa instansi yang terdepan dalam prestasi, isu minim sampah ini sudah mulai terinternalisasi. Meskipun masih on off, paling tidak mereka sudah siap dengan segala umbo rampe perlengkapannya. Gawatnya, banyak juga lembaga yang berprinsip hidup yang biasa-biasa, low profile saja. Nah, kalau sudah begini, berarti siap-siap dakwah zero waste harus benar-benar keluar dari hati. 

Bukan hanya "menasehati" tetapi biasanya kerja dengan hati itu artinya saya ikut terjun mengerjakan bersama. Kejadian paling epic adalah ketika tiba-tiba saya jadi tukang inventori di suatu kantor pemerintahan. Bukan, bukan karena saya ahli pendataan dokumen atau semacamnya. Saya mendadak bikin daftar inventori untuk memuluskan kebijakan kantor saya, mengadakan pertemuan minim sampah. Iya, saya mendadak sibuk ikut menghitung jumlah gelas, piring saji, dan teko yang ada di kantor itu.  Masih mending kalau gelas piringnya sudah ditumpuk dan tinggal dihitung saja. Yang ini harus buka-buka lemari. Mana bukan di kantor sendiri, saya kodok-kodok sudut berdebu, dan tiap menemukan piring atau gelas rasanya seperti emas. 

Yah, kalau kata para ahli mah, ini semacam pemetaan kondisi eksisting untuk mengetahui kapital atau modal sebelum menerapkan skenario kebijakan, agar rekomendasi kebijakannya applicable.😂   

Kreativitas yang Teruji

Senang sekali ketika akhirnya isu pengurangan sampah ini menjadi hangat dibicarakan. Tidak ada lagi tatapan are you crazy ketika memberikan saran untuk menghindari kemasan botol plastik sekali pakai. Lebih dari itu, mengadakan pertemuan, terutama yang berlokasi di gedung pemerintahan, sempat menjadi hal yang saya tunggu-tunggu. Bukan selain karena konten-nya, saya menunggu-nunggu sajian apa yang mereka hidangkan. 

Ubi, singkong, dan jagung rebus tersaji di atas piring rotan beralas daun pisang. Mereka naik pangkat jadi hidangan mewah di atas meja pertemuan. Di hari lainnya muncul buah potong yang tersaji di dalam mangkok keramik cantik. Aneka kue jajan pasar, dihidangkan dengan manis dalam piring-piring kecil. Lebih hebatnya lagi, mereka menggunakan alternatif pembungkus daun untuk beberapa kue yang biasanya saya lihat terbalut plastik. Selama ini saya hanya tahu daun pisang yang bisa digunakan untuk kemasan berbagai kue. Ternyata ada banyak daun lainnya yang bisa digunakan. Daun kelapa dan daun kunyit salah satunya. Tidak hanya cantik tetapi aroma kue jadi haruuuum.
Dengan asumsi sampah organik lebih mudah terurai dari sampah plastik, boleh lah upaya-upaya ini kita acungi jempol👍    

Beyond expected result

Ternyata kreativitas yang muncul akibat semangat zero waste belum berhenti pada isian piring saji. Ide lainnya muncul saat saya berkesempatan mengunjungi lokasi pilot di luar Jakarta, yang kegiatan utamanya adalah meningkatkan kesadaran anak-anak usia sekolah terkait isu kelestarian lingkungan. 

Bekerjasama dengan pemerintah daerah dan pengelola sekolah, tadinya saya hanya berekspektasi menjumpai deretan piring dan botol minum yang disediakan oleh sekolah, atau dibawa dari rumah oleh para siswa. Untuk makan siang, biar tidak banyak sampah kardus, mungkin caranya akan seperti sistem makan siang di pabrik, atau di penjara ala film Peddington 2. Maksudnya, yang mau makan antri membawa piring, dan makanan disendokkan ke piring oleh petugas. Rasanya langsung kurang selera makan membayangkan kondisi ini. Memang kadang perkara mengurangi sampah ini jadinya tarik ulur dengan hygiene. Tapi demi perintah kantor zero waste, ya sudahlah mau bagaimana lagi. 

Saat yang dinantikan tiba, apalagi kalau bukan waktu istirahat makan siang. Bersiap antri sambil membawa nampan, saya terbelalak melihat tumpukan nasi kotak yang disajikan oleh pihak sekolah. Tidak kotak sempurna, karena wadahnya terbuat dari besek. Isinya nasi, pepes telur asin dengan lembaran daun kemangi, nasi liwet, ayam goreng kampung, sambal, serta potongan lalap dan buah. Semua tertata dalam besek beralas daun pisang. Bukan hanya layak, tetapi memikat.

Lebih hebohnya lagi, besek-besek ini dikumpulkan setelah makan, dicuci, dan dijemur di terik matahari sampai kering kerontang. Jadilah seperti besek baru, bisa digunakan lagi dalam acara di hari lainnya. Kalau sudah begini rasanya acara peningkatan kesadaran ini mencapai ultimate outcome-nya. Penduduk sekolah belajar menjaga lingkungan bukan hanya dari teori-teori di tayangan power point, tetapi juga praktek langsung. 

Salah kaprah

Masalahnya, kisah zero waste tidak selalu berakhir bahagia seperti kebanyakan cerita dongeng. Seperti yang banyak terjadi di Indonesia, terkadang kita latah mengikuti trend tanpa tahu apa maksud dan tujuannya. Bukan hanya untuk yang viral, tetapi mengikuti regulasi juga ternyata bisa salah kaprah bila tidak paham betul apa maksudnya. 

Masih di kota yang sama tetapi dalam kesempatan yang berbeda, kami berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk menyelenggarakan pertemuan, yang seperti biasa harus minim sampah. 

Hari pertemuan tiba, kotak kertas berisi cemilan terhidang, dengan satu kotak teh kemasan UHT di sampingnya. Dibagikan ke setiap orang di dalam ruang pertemuan, saya pikir minuman manis ini terhitung sebagai cemilan. Berniat melihat ada kue menarik apa hari itu, saya membuka kotak kue, dan mendapati satu lagi minuman teh dengan kemasan UHT di dalamnya. Tiba waktu makan siang, tak sabar lagi saya menghampiri rekan saya yang menangani langsung perkara makanan-minuman ini.

Teman saya yang nyengir kuda melihat saya datang dengan alis naik sebelah, langsung sigap menyodorkan kota nasi untuk makan siang sambil memberikan klarifikasi. 

    "Mbak, mereka nggak ada dispenser yang bisa dibawa ke ruangan ini. Kita kan tidak mau pakai botol plastik, jadi mereka ganti dengan minuman kemasan UHT".
    
    "Lalu, karena khawatir kurang, mereka beli 3 kotak untuk masing-masing orang".

Saya lantas membuka kotak nasi, dan mendapati 1 lagi kemasan UHT. Kali ini minuman sari bau buah #tepok jidat.   

Menelan ludah karena tahu betul belum ada pengolahan kemasan multi-layer UHT di Indonesia. Sementara, yang namanya pabrik plastik daur ulang itu bisa ditemukan dimana-mana. Yang lebih gawat, zero waste yang diterapkan dengan salah kaprah ternyata bisa berasosiasi dengan meningkatnya resiko diabetes di Indonesia😂. 

Bisa karena terbiasa

Berawal dari tuntutan pekerjaan, lama-lama menjadi beban moril sendiri. Walk the talk, begitu kata teman kantor saya yang suaranya menggema di kepala setiap saya sibuk nyeramahin orang tentang pengelolaan sampah, tetapi ingat di rumah sendiri juga masih acak adut. Botol minum dan tas belanja menjadi barang wajib di tas saya. Kalau tidak ada dua barang ini rasanya seperti kurang lengkap saja. 
Tumbler dan tas belanja, penenang hati di saat pergi

Motifnya sederhana. Kalau haus, dimanapun tinggal buka botol dan minum. Kalau belanja, tidak repot bawa barang belanjaan karena mayoritas toko/supermarket di Jabodetabek saat ini tidak lagi menyediakan kantong belanja sekali pakai. Motif lainnya tentu saja kesukaan mamah-mamah, yaitu masalah ekonomis. Daripada beli air mineral, lebih baik bawa air dari rumah. Daripada beli paper bag atau tas belanja spunbond, lebih baik bawa tas belanja sendiri.     

Penutup

Zero waste bisa hadir dalam berbagai sudut pandang. Ada yang terlihat melalui aksi-aksi nyata dengan dampak langsung mengurangi sampah, ada pula yang terbalut dalam upaya tidak langsung mengurangi sampah. Semoga cerita yang saya bagikan kali ini cukup menghibur dan mendorong kita untuk mendukung zero waste.

Tidak ada komentar: