4/23/2025

Pamitan: Bentuk Bertahan dalam Perubahan Zaman

"Salim, salim, kita mau pulang. Sini salim dulu sama bude, sama pakde. Itu sama embah belum salim."

Salim, dalam tradisi masyarakat Jawa diasosiasikan dengan mencium tangan. Kebanyakan dilakukan ketika akan pamit. Berpamitan ini terutama dilakukan oleh yang lebih muda ke orang yang lebih tua. Sejak covid melanda, atau bertemu dengan orang-orang yang sedang merokok, saya memodifikasikan tradisi tersebut. Dari salim menjadi salam. Anak-anak tidak perlu mencium tangan, tetapi bisa dengan mengucapkan salam saja. Sejauh ini tidak dapat complain dari para tetua, jadi sepertinya aman. Bagaimana pun bentuknya, tradisi berpamitan ini tetap ada.

Salim, tradisi berpamitan
sumber: https://altsaqafah.id/

Berpamitan ternyata tidak hanya bisa dilihat pada moment casual keluarga, atau pun hanya milik suku bangsa Jawa, tetapi juga menjadi tradisi yang mendunia, antara lain dengan berbalut alasan etika. Tidak hanya pada ranah keluarga, tradisi berpamitan juga muncul pada set up profesional, di saat bekerja. Meskipun tidak diatur oleh pakde bude, atau tetua lainnya, tradisi berpamitan ini cukup sukses berevolusi di ranah korporat tentunya dengan bentuk aplikasi yang beragam. 

Untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana tradisi berpamitan diaplikasikan oleh berbagai orang, dalam balutan gaya korporat. 




Berpamitan ala tokoh milik sejuta umat

Hampir 10 tahun bekerja di tempat yang sama membuat keisengan saya meningkat pesat. Selain email berisi tumpukan masalah kehidupan, cukup menarik memperhatikan email-email berjudul good bye atau see you again. Biasanya, saya akan melihat siapa yang mengirimkan email tersebut, karena akan menentukan perasaan saat membaca isinya: apakah terlarut dalam sendu, atau sebaliknya.

Saya sering kagum ketika menerima email-email tersebut. Pertama, kagum dengan kata-kata yang dituliskan, kok bisa secantik itu. Kedua, kagum dengan keberanian orang yang mengirimkan email. Seringkali, saya menerima email tersebut karena dikirim ke label "all staff". Tandanya, tanpa harus memilah, email akan otomatis terkirim ke semua staff di perusahaan tempat saya bekerja. Terkirim ke khalayak se-Indonesia Raya saja sudah heboh menurut saya- yang ini terkirim ke seluruh staff di regional Indonesia dan Asia Tenggara. Membuat saya langsung merasa lebih beken dari Raisa kalau melakukan hal yang sama.  

Tak terbayang rasanya kalau sampai saya lebih beken dari Raisa
Sumber: Viva

Kalau sudah begini, menurut analisa saya, ada 2 golongan pengirimnya. Golongan Pertama biasanya orang dengan posisi tinggi yang memang dikenal rakyat sejagat raya. Kepergiannya menimbulkan dampak besar, dan biasanya beberapa bulan sebelumnya sudah ada tweety yang berkicau membahas rencana kepergiannya. Untuk memvalidasi keberpemilikan sosok tersebut, beberapa hari sebelum email official good bye itu dikirim, akan ada semacam undangan berkumpul, potluck, yang diatur sebagai pesta perpisahan. 

Sedangkan, Golongan Kedua, dengan email perpisahan melibatkan penerima sejagad raya lainnya adalah orang-orang yang malas mengetik alamat email satu per satu. Untuk yang ini, tidak ada banyak cerita, hanya sejenak setelah membaca, sebagian besar penerima -termasuk saya- akan berpikir: ini siapa ya?

Berpamitan dengan kebingungan

Kerja berkelompok tentunya menghadirkan dinamika. Ada yang menjadi tulang rusuk, ada yang menjadi gula-gula kapas. Ada juga yang tidak punya peran tersurat tapi menemukan sendiri fungsinya di dalam team dengan bersikap baik, dan syukur-syukur menghibur. Yang seperti ini, biasanya memegang prinsip bila tidak bisa membantu, paling tidak berusaha agar tidak merepotkan. Uniknya, ada juga orang-orang yang diciptakan untuk memegang prinsip sebaliknya. Kalau bisa sulit, mengapa harus mudah.

Begitu juga dengan berpamitan. Tradisi awal salim, yang dalam ranah korporat saya anggap diwakilkan oleh email, ternyata tidak bisa semudah itu diaplikasikan bagi sebagian orang. Bagi beberapa teman yang terjebak dalam kondisi "sulit", mereka akan menciptakan tweet-nya sendiri, tentu untuk mengabarkan rencana kepergiannya. Kicauan ini biasanya sudah beredar 1-3 bulan sebelum tanggal rencana resign. Sering kali, setiap mendekati tanggal resign, ada tweet baru mengabarkan pengunduran waktu resign. Awalnya akan resign di Februari 2024, mundur ke Juni 2024. Lalu hingga September 2024 masih ada saja orangnya. Konon katanya di awal tahun depan beliau akan resign

Bingung dan membingungkan, memang jadi hobi bagi beberapa orang. Jangan sampai jadi tradisi yang dilestarikan. 
sumber: peakpx

Mencoba untuk peduli, biasanya team yang ditinggalkan akan langsung mengatur strategi: bagaimana agar departure personel ini tidak menimbulkan kegaduhan..... dalam tim solid yang selama ini memang solid bekerja tanpa perannya.

Sudah bulan keempat di tahun berikutnya, ternyata tak jadi resign karena belum dapat tempat di posisi lainnya👀. 

Berpamitan dalam diam

Ini pengalaman pribadi, ketika suami harus berpamitan dengan kantor lama, karena laid off. Berbeda dengan pengalaman karyawan Sritex yang bahkan sempat diliput TV dulu sebelum benar-benar resmi berhenti bekerja, suami saya mendapat berita PHK di jam 7 pagi, dan resmi pengangguran per jam 12 di siang harinya.

5 jam tersisa dengan akses identitas untuk membereskan semua file di laptop kantor. Boro-boro kirim email perpisahan, ngabarin istri saja baru bisa setelah kembali bernafas normal di malam harinya. Apalagi ingat istrinya sedang hamil dan bulan depan melahirkan. Dalam kasus ini, tentu saja tidak berlaku salim. Pamitan hanya bisa dilakukan dalam diam.

Berpamitan dengan Sakral

Bekerja, untuk beberapa orang maknanya bukan hanya menyelesaikan pekerjaan dan mendapat bayaran. Ada moment bersama teman yang seringkali menjadi lebih berharga dari sekedar pekerjaan itu sendiri. Apalagi kalau teman ini kumpulan orang yang sudah melewati pahitnya dunia tantangan kehidupan bersama, pamitan jadi bukan sekedar berpindah label, tetapi juga lepas dari teman-teman kesayangan. 

Tipikal golongan ini biasanya tidak perlu berkicau untuk menginfokan rencana kepergiannya. Sebaliknya, orang-orang akan secara aktif alias kepo, menanyakan akan pindah kemana? Atau yang lebih akrab lagi akan bertanya kenapa resign?

Menyusun strategi "life after his/her departure" biasanya tidak akan langsung dilakukan oleh team karena kehidupan seakan berhenti berputar. Saking banyaknya role, tidak akan semudah itu untuk menggantikan posisinya. Alih-alih berpikir cepat, rekan yang ditinggalkan akan merenung agak linglung. Bingung, mau marah pun tak bisa. 

Dalam gamang, berpamitan biasanya dilakukan melalui pertemuan kecil yang disiapkan oleh internal team. Biasanya, isinya, mengharu biru. Nangis-nangis. 

Pada hari terakhir orang ini bekerja, email akan dikirimkan ke anggota team, atau kolega yang merasa akrab. Isinya ditulis dengan hati, mengutarakan perasaan yang semua penerima emailnya bisa relate. Kalau sudah begini, cerita mellow biasanya diakhiri dengan deretan email respon yang senada "You will be missed!"

Penutup

Datang mengetuk pintu, maka pulang pun perlu berpamitan. Unggah-ungguh sebetulnya, kurang yakin juga, apakah termasuk dalam tradisi lokal atau tidak. 

3 minggu lagi saya akan meninggalkan kantor lama. Yang jelas, saya hanya rakyat biasa, yang tidak cukup pede mendapat respon "ini siapa?". Jadi kita lihat saja bagaimana nanti jadinya.