5/20/2022
Mentho, Serupa tapi Tak Sama
2/21/2022
traveling
Saya merasa cukup beruntung bisa jalan-jalan keliling Indonesia setelah lulus sarjana. Sudah lah gratis, dibayar pula. Yaa memang sih bukan jalan-jalan dengan baju unyu atau make up cantik agar cantik saat berfoto ria. Saya agak kurang berbakat pakai bedak dan lipstik karena gampang keringetan-gembrobyos. Terlebih, hampir sebagian besar jalan-jalan saya keliling Indonesia dalam rangka ngubek-ngubek tempat sampah. Keliling kota panas-panasan adalah keharusan, bedak lipstik otomatis bubar jalan.
Tempat sampah di rumah orang, tempat sampah di depan pasar, tempat sampah di pengkolan jalan, sampai tempat sampah super besar yang mirip gunung atau kolam sampah, yang rata-rata ada di setiap kota, you name it. Dalam kehidupan biasa, saya akan menghindar atau tutup hidung setiap lewat tempat sampah yang rata-rata bau itu. Dalam setiap jalan-jalan ini, saya harus mendekat sedekat mungkin, memilah satu persatu sampah yang saya temui, bahkan nangis bombay pusing kalau tempat sampahnya bersih kosong karena saya telat datang dan isinya keburu diangkut petugas kebersihan😢.
Dari sekian perjalanan yang saya lakukan, jalan-jalan dalam rangka meet n greet tong sampah di berbagai penjuru nusantara selalu memberi kenangan tersendiri. Tapi, khusus untuk ikut Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Februari ini, saya akan cerita pengalaman perjalanan yang paling berkesan di antara sekian banyak perjalanan nyampah yang penuh kenangan.
Kabur Sejenak ke Pulau Morotai
Seperti perjalanan menyampah lainnya, dalam perjalanan kali ini saya harus melakukan sampling selama delapan hari. Biasanya, di hari terakhir ada waktu sisa untuk mendatangi tempat-tempat menarik, mumpung saya sedang disitu. Setelah memprediksi waktu dan uang yang ada di tangan (saya membiasakan diri membawa uang tunai untuk segala keperluan karena tidak di semua daerah ATM mudah ditemui. Boro-boro ATM, listrik bisa menyala 24 jam saja mewah sekali), saya dan partner survey saya memutuskan akan pergi ke Pulau Morotai.
Let's go!
Keberangkatan dari Tobelo ke Morotai ditempuh dengan kapal kayu bermesin. Lama perjalanan 2,5 jam. Tanpa pemesanan tiket, kami cukup beruntung bisa menumpang rombongan yang saat itu juga akan pergi ke Morotai. Harga tiketnya 100ribu saja. Perjalanan di tengah hari yang sejuk karena matahari tidak bersinar terik.
Morotai, destinasi wisata yang saat ini sedang giat digarap oleh Pemerintah Indonesia, menyuguhkan kombinasi wisata sejarah Perang Dunia II dan alam yang memukau. Saya tidak akan cerita wisata Morotai disini, itu sih tugas pemerintah daerahnya saja.hehehe. Yang jelas, selain tempat mandi Douglas Mac Arthur, bagian dari Pulau Morotai yang berhasil membuat saya jatuh cinta tentu saja pantainya. Ya, pantai. Air berwarna biru kehijauan yang sangaaaaaaat jerniiiiiiiih. Keindahan alam ini paling jelas terlihat bila kita berjalan menuju ke Pulau Dodola.
Deru ombak yang tenang... Berjalan di hamparan pasir putih setapak.. Laut biru yang jernih di kiri dan kanan membentang....
Super bahagia! Rasanya standar pantai bagus langsung naik begitu mengunjungi pulau ini (prihatin, hahaha).
foto di morotaiCuaca mendung, menjelang waktu terbenamnya matahari, tetapi pantainya masih sebagus itu!
Tobat di Perjalanan PulangBila perjalanan berangkat ditempuh dengan cukup mulus dan beruntung, tidak begitu dengan perjalanan pulang kembali ke Tobelo. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Bila tidak ingat besok sore harus naik pesawat dari Ternate, rasanya saya ingin lebih lama main di pantai tinggal di Morotai. Langit mendung dan lebih gawatnya lagi, tidak ada rombongan lain yang akan ke Tobelo. Saya dan teman saya ternganga menyadari fakta bahwa kami harus menyewa speed boat pribadi, sekitar 800 ribu harganya. Menghabiskan sisa uang makan, yasudah lah. Mau gimana lagi, tidak kembali ke Tobelo saat itu juga bukanlah pilihan terbaik. Toh sudah hari terakhir survey. Bisa makan indomie saja nanti malam atau popmie murah di sepanjang sisa perjalanan. Paling tidak kalau pingsan karena mabok micin, sudah sampai -atau di pesawat menuju ke- jakarta😝.
Khayalan menikmati perjalan di private speed boat dan ber-swa foto ala Syahrini yang naik jet pribadi ternyata belum bisa terlaksana. Mau foto, eh badan goyang kesana kemari, naik turun semacam naik odong-odong di pasar malam. Siapa sangka, sekitar 15 menit kemudian wahana odong-odong naik level. Rasanya speed boat diayun maju mundur naik turun. Kalau itu sedang naik kora-kora di Dufan sih, tentunya saya senang-senang saja. Sayangnya ini tidak. Apalagi setelah terayun-ayun cukup tinggi, badan kami melompat-lompat kesana kemari. Sempat terfikir saat itu mengapa hanya pesawat yang punya seat belt di perut. Ternyata naik speed boat badan juga bisa mental mental seperti ini. Beberapa kali kepala saya kejedot atap speedboat yang memang tidak terlalu tinggi. Langit di luar gelap sekali dan tak berapa lama kemudian turun hujan, disusul dengan kilat dan petir bersautan.
Seorang ibu warga lokal yang sejak tadi ada di dalam speed boat ribut mencari kresek karena merasa mual. Alamak, ada yang mabok pula. Semoga isi kresek nggak ikut melompat-lompat, gawat juga kalau muncrat ke penumpang lainnya, batin saya. Keributan mencari kresek di susul dengan teriakan panik dari seorang bapak kru speed boat.
Sulit sekali arahkan kapal. Salah arah kita! Gelombang tinggi sekali!
Arah mana kita sekarang?
Filipin!
Hahh, ke filipin? Reflek saya melihat jam tangan, sudah pukul 7 malam. Artinya, tidak terasa, sudah 2 jam kami terombang ambing di lautan. Perjalanan dengan speed boat seharusnya jauh lebih singkat dari kapal kayu. Dalam kondisi normal, 1,5 jam saja kami sudah bisa sampai di Tobelo lagi. Sungguh seketika saya ingin sujud ke dosen saya, meminta maaf karena kabur diam-diam ke Morotai. Saya buka handphone, dengan putus asa berharap ada sinyal untuk kirim sms mengabarkan permohonan maaf dan informasi bahwa sample sampah ada di kolong kasur penginapan-in case saya tidak selamat. Tentu saja nihil. Di daratan saja susah sinyal, apalagi di tengah laut. Badai pulak.
"Bagikan pelampung" teriak kapten speed boat "Tidak ada! minggu lalu bawa keluar semua" balas keneknya.
Sudah tidak ada lagi kesempatan untuk merutuki buruknya safety perjalanan laut di Indonesia. Bayangan ngeri nama saya muncul di koran sebagai korban tidak selamat dari speed boat yang tenggelam terkena badai langsung berkelebatan. Sinetron sekali, tapi saat itu memang kematian rasanya dekat sekali. Badai, dan tidak ada pelampung. Berenang di kolam tenang beberapa meter saja saya sudah megap-megap. Sudahlah, hanya bisa berdzikir mohon ampun, dengan badan tetap melompat kesana kemari.
Seorang bapak tua yang sejak tadi diam tenang mendekat ke arah kemudi. Beliau mencoba membaca kompas dan membantu kru yang panik. Perlahan, sepertinya speed boat berhasil diarahkan ke jalur yang benar.
Satu jam kemudian, kami sampai kembali di Tobelo. Total 3 jam perjalanan, molor 1,5 jam dari yang seharusnya, dalam kondisi badai.
Rasanya turun dari speedboat saya ingin langsung sujud mencium tanah di dermaga kapal. Sayangnya tidak bisa, hari sudah gelap, dan hujan rintik-rintik.
There ain't no such thing as a free lunchSayup dari kejauhan, terdengar suara seorang pemuda. Sebut saja Pemuda Tobelo, dia dan seorang temannya adalah warga lokal yang saya mintai bantuan selama survey seminggu kemarin.
"Ririn, astaga, syukurlah, sudah pulang. Saya cari kamu tadi ke penginapan. Mereka bilang kamu pergi ke Morotai! kenapa tidak ajak saya?"
"Malam ini kami ada kumpul pemuda Tobelo. Saya mau ajak kamu dan kenalkan ke teman-teman saya. Kamu ikut ya?!"
Saya hanya diam. Rasanya badan belum bisa berdiri tegak, masih berayun-ayun. Saya lantas minta izin untuk pulang dulu ke penginapan.
Beberapa jam kemudian, muncul pesan pendek dari pemuda Tobelo: "Ririn, dimana?"Sudah hampir tengah malam. Saya lelah jiwa dan raga selepas petulangan berbadai ria tadi. Saya tidak memutuskan tidak membalas pesannya. Tapi, beberapa menit kemudian, handphone saya bunyi terus-menerus. Telepon dari pemuda Tobelo.
Saya putuskan untuk mengangkat telepon, sekedar bermaksud sopan meminta maaf tidak bisa ikut karena capek sekali.
"Ririn sayang, ahahahaha. Kamu, ahahahaha. HA HA. Sayangku. Hahahaha"
Alih-alih obrolan waras, di ujung telepon terdengar mas Tobelo meracau. Tampaknya dia mabuk. Saya ingat, saat awal datang, pemilik penginapan menceritakan, minum-minuman keras merupakan hal yang biasa di Tobelo.
Saya memutuskan untuk menutup telepon dan pulang diam-diam keesokan paginya.
Sesampainya di Bandung, datang kembali pesan pendek dari abang Tobelo.
"Ririn, kenapa kamu tidak bilang akan pulang? kamu tinggal di Bandung? saya mau minta alamat kamu. Saya ada kongres pemuda di Bandung"
"Ririn, saya suka kamu. Kamu juga suka saya kan? Kamu terlihat senang sekali survey bersama saya. Kamu senang saya ambilkan kelapa waktu kita survey dulu. Kata teman saya kamu suka saya"
Saya tidak tahu harus membalas apa. Memang, survey di Tobelo ini agak istimewa. Bila biasanya saya harus angkat-angkat karung sampah sendiri, di survey kali ini, ada abang Tobelo yang siap siaga membantu. Selain itu, di hari-hari awal survey, cuaca terik panas sekali. Abang Tobelo tiba-tiba menghilang. Ternyata dia panjat pohon kelapa, mengambilkan buahnya untuk saya dan teman saya. Saya pikir itulah cara oang Tobelo menyambut wisatawan. Ternyata tidak, sodara-sodara.
Penutup
1/31/2022
Surat Untuk Pak Moleo
Dear Pak Moleo,
Terima kasih telah hadir menyambut kami di hari-hari awal kami mulai tinggal di desa.
Kau tahu, kami datang dalam situasi yang jauh dari kata mudah. Pindah mendadak karena aku harus isolasi mandiri, dimana anakku, terutama yang besar, harus kembali beradaptasi. Awal pandemi sudah memaksanya untuk beradaptasi dari lingkungan daycare yang ramai ceria, menjadi rumah dengan satu teman saja. Ceria masih ada, tetapi bertengkar sering juga. Butuh waktu untuk memahami itu semua, dan kami pindah di saat-saat dia sudah menikmati pertemanannya. Di desa ini, sama sekali tidak ada teman. Jangankan teman, manusia pun jarang terlihat. Adanya hanya berbagai hewan yang menikmati kehidupannya di semak belukar lebat di sekeliling rumah. Terbayang bagaimana rasanya. Orang dewasa saja merasa sulit, apalagi anak seusia dia.
Sang adik, melihat kegundahan kakaknya, tentu saja terbawa suasana. Apalagi bubu yang biasanya selalu siaga, kala itu hanya muncul di waktu-waktu menyusu saja. Itupun tidak terlihat wajahnya. Berbalut pakaian panjang dan masker medis ganda. Hanya menyusu, tanpa cium dan peluk menghangatkan yang biasanya langsung meredakan tangisannya. Sungguh aneh situasi kala itu.
Pasca sebulan kami disini, aku bergabung dalam grup pesan pendek beranggotakan ibu-ibu yang tinggal disini. Percakapan di grup itu isinya ghibah sekali.
"Bunbun baru saja melahirkan, Tom punya istri lagi"
"Chatty itu anaknya Moleo, tapi dinikahi juga sama bapaknya"
"Eh, Frank sekarang sudah punya istri lagi di komplek lain"
Shock tidak terkira. Apakah aku kurang berdoa memohon perlindunganNya dari lingkungan yang buruk. Mengapa aku disatukan dalam lingkungan yang suka membicarakan orang. Mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tanpa tabu, dan bapak-bapak disini beristri lebih dari satu.
Belum selesai pikiranku berputar, di lain harinya, muncul berita duka cita.
"Pagi ini Tom meninggal di rumah"
Disusul deretan pesan bernada penghiburan.
Pusing kepala, semuanya tanda tanya. Sambil mencoba menerka-nerka Bu Bunbun, Bu Chatty, Pak Tom dan Pak Moleo tinggal di blok apa nomor berapa. Jadi terpikir juga apakah Pak Tom sudah tua. Memang, karena pandemi, tidak seperti pindahan rumah yang sewajarnya, kami tidah bisa mengundang tetangga datang ke rumah atau mendatangi rumah mereka untuk berkenalan.
Belakangan setelah menerima laporan rutin keuangan komplek, aku tahu. Nama-nama yang aku cari tidak masuk dalam daftar penduduk disini. Kalaupun tinggal disini, mereka tidak diharuskan bayar iuran komplek. Memang, tahun lalu disepakati pembebasan iuran lingkungan untuk warga yang sedang berada dalam kondisi sulit.
Ah, sudah lah. Mungkin lain waktu, kalau pandemi sudah berlalu, aku bisa bertemu dengan mereka.
***
Hari berlalu, percakapan dalam grup itu terasa semakin aneh untukku.
"Bunbun sedang hamil lagi nih Ibu-ibu"
"Yang hamil kemarin anaknya lima belum selesai menyus"
"Anaknya lucu-lucu loh, abu kuning, putih"
Hayah. Mungkin perpindahan penuh kegalauan ini memang sudah benar-benar mengacau kepalaku. Grup itu membicarakan makhluk sejenismu, bukan sejenisku. Pantas saja diskusi di dalamnya tanpa sensor dan etika manusia.
***
Kamu bukan yang satu-satunya disini. Hampir setiap rumah memelihara makhluk sejenismu. Bukan cuma satu, tapi tiga atau empat. Bahkan ada rumah di ujung sana yang memelihara 19 ekor di luar rumah, dan begitu ada kesempatan berkunjung, kudapati yang 19 itu belum semuanya. Masih ada beberapa lainnya di dalam rumah.
Dari sekian banyak makhluk sejenismu di sini, anak keduaku hanya suka kepadamu. Belakangan aku tahu. Kamu lah Pak Moleo yang beristri banyak itu. Tidak hanya digandrungi ibu-ibu dari sejenismu, kau juga menarik perhatian anak perempuanku.
Kau satu-satunya yang selalu datang ke rumah di pagi hari dan mengeong memanggil. Bila belum ada jawaban, kau tunggu anakku dengan sabar. Duduk di teras rumah, berjemur di bawah sinar matahari, atau meringkuk saat cuaca dingin dan sejuk. Setia menunggu anakku jalan-jalan keluar rumah. Tidak hanya menunggu keluar, kau ikut menemani sepanjang perjalanannya. Entah apa yang kau harapkan. Canda tawa penuh kasih sayang, atau sekedar berbagi makanan karena kau lapar.
Sering kali, saat anakku ingin turun dari gendongan, kau bersikap sangat manja. Mendekat atau tidur meringkuk di sekitar kaki anakku. Anakku gembira sekali.
Namun, tidak jarang kau datang dengan penuh luka. Dekil, entah penyakit apa yang ada di tubuhmu. Aku hanya bisa menyingkirkan anakku jauh-jauh darimu. Aku sendiri tidak pernah dan tidak tahu cara memelihara makhluk sejenismu.
Satu yang aku tahu, aku selalu berangan-angan andaikan ada binatang peliharaan yang bisa dielus lucu, tapi tidak pup dan pipis. sembarangan.
Ya! seringkali kau pipis sembarangan. Katanya kau hanya ingin menandai teritori. Tapi mengapa? Rasanya sebal sekali kalau kau sudah mulai berbuat begini. Apalagi, di awal bulan lalu kau mengendap masuk rumah tanpa izin, dan menggondol satu-satunya potongan ayam yang tersisa untuk makan malam suamiku. Huhh, rasanya ingin kupentung dirimu.
Melihat aku yang emosi, engkau hanya mengeong dan menggoler manja seperti biasa. Tanpa rasa bersalah menikmati ayam panggang hasil curianmu di depanku. Huff!
Apa lah arti emosiku. Esok harinya kau tetap datang menyambangi anakku. Kau mengeong dan anak satu tahunku mengoceh tanpa kata. Bersaut-sautan, seru kali, tanpa ada yang bisa kupahami. Mungkin begini rasanya orang tua yang ingin nguping anaknya ngobrol apa dengan temannya, apa lagi pacarnya.
***
Hai Pak Moleo, kucing putih bermata biru abu. Kuyakin kau bukan kucing biasanya. Beberapa orang yang melihatmu, kagum. Warna mata yang berbeda menjadikan kau bukan kucing kampung sembarangan. Kucing mahal, kata orang-orang yang bergelut di duniamu.
Apapun itu, hanya satu pintaku. Tolong lah, bersikap baik, bukan hanya kepada anakku tapi juga kepadaku.
Andaikan kau bisa baca suratku ini.
Salam sebel-sebel gimana gitu,
Bubu
Saat Babeh Pergi
Bisa terbangun sebelum subuh dengan kondisi tidak ada deadline mendesak adalah hal yang saya nantikan. Suasana relatif hening, dan disitulah segala macam pikiran berputar di kepala. Sebagian besar diantaranya berkelebat ingatan tentang orang tua yang sudah tidak ada. Sedih, kecewa, tidak terima, merasa bersalah, menyesal. Semua rasa ini bercampur di dalam hati. Dzikir pagi dan adzan subuh yang sayup-sayup terdengar dari masjid menjadi pengiring saya yang berusaha berdamai dengan perasaan hati. Tidak untuk melupakan, saya hanya mencoba untuk menikmati setiap rasa itu. Beberapa menit setelah adzan usai biasanya saya sudah bisa berhenti sesenggukan, dan kembali ke dunia nyata.hehehe.
Cerita di tahun 2020
Tahun 2021 yang heboh sekali
Corona dan penanganan yang kurang tepat
Dan tibalah pagi itu
1/25/2022
Semua tentang Gajah: Bubu Gajah dan Gajah di Jalanan Ibu Kota
Sepertinya hampir semua orang setuju bahwa melihat dan mengomentari orang lain akan terasa lebih mudah dibanding dengan bercerita tentang-atau memberikan kritik untuk- diri sendiri. Masih kuat dalam ingatan, orang tua saya sering sekali membahas kehidupan orang lain dalam obrolan sehari-hari keluarga. Cerita yang diangkat mayoritas beraura negatif, diakhiri dengan istigfar mohon ampun agar dijauhkan dari kondisi tersebut, dan hamdallah bersyukur bahwa keluarga kami ada dalam kondisi yang jauh lebih baik dari tokoh di cerita itu.
Sedikit mengingat isi The Danish Way of Parenting, ternyata salah satu hal yang diyakini membuat anak-anak di Denmark tumbuh menjadi orang yang bahagia adalah buku cerita anak yang dibuat sesuai realita. Tidak hanya menampilkan suka, tetapi juga duka, dan tidak jarang memberikan akhir cerita yang sedih. Dipikir-pikir mungkin ini sejalan dengan kebiasaan orang tua saya. Entah sengaja dengan dasar ilmu parenting atau memang tabiat saja suka ngomongin orang (hahaha), kebiasaan ngrasani -membicarakan- orang sedari dini tanpa sadar membuat saya bahagia. Mungkin karena merasa hidup di tengah keluarga yang baik-baik saja, tidak seperti si anu atau si itu yang begini dan begitu. Tentunya kalau harus mengulangi gaya parenting seperti ini saya akan memilih mengangkat pembelajaran dari buku cerita saja, tidak se-ekstrim orang tua saya yang langsung mengutip dari kisah nyata.hahaha.
Selain sisi positif menumbuhkan rasa bahagia, kebiasaan mendiskusikan kondisi orang lain tadi ternyata membuat saya sering lupa untuk melihat ke dalam diri sendiri. Setelah hidup mandiri, terlebih saat kedua orang tua sudah tiada, rasanya seperti tertampar-tampar realita. Ternyata, kehidupan saya dan cerita orang tua saya, kok sama sama saja, ahahaha. Terlalu banyak memperhatikan orang lain, khawatir juga yah jadi orang yang tidak tahu diri. Agar kembali berpijak di bumi, mari kita tuliskan tentang diri sendiri kali ini. Mengingat saya tidak punya outstanding behaviour yang cukup menarik diceritakan apalagi dicontoh, mari kita ceritakan kehidupan sehari-hari saya sebagai mamah gajah saja.