2/20/2024

Pembela Kebenaran

Sepertinya saya bisa bertahan di tempat kerja sekarang karena rekan kerja yang mirip-mirip kakak saya. Bukan hanya karena faktor usia yang mayoritas lebih tua, tetapi juga karena merekalah hidup saya tidak hanya dua bagian: memikirkan kantor atau memikirkan rumah. Seperti kakak yang menyadarkan saya bahwa di dunia ini ada jam tangan fossil yang agak pantas buat ke kantor selain jam tangan casio karet yang saya pakai pergi kuliah, mereka berhasil menggiring saya ke bioskop nonton Eras Tour sekitar 2 bulan yang lalu. Diluar dugaan, teriak-teriak nyanyi bagaikan nonton konser sungguhan bisa memberi inspirasi kehidupan. 
Mbak Taylor
(Sumber: Hardrock FM)

Melihat Taylor Swift di konser itu rasanya bukan lagi melihat mbak-mbak cengeng yang mewek patah hati. Narasi cerdas dan bagaimana dia menyiapkan rekaman HD selama konser untuk difilmkan menunjukkan kualitas diatas rata-rata. Wanita berkarakter yang profesional, pekerja keras, dan berkelas. Tiba-tiba ingin meniru mbak Taylor untuk menjadi berkualitas dan tidak ecek-ecek.

Mungkin inilah yang membuat saya bertahan di tempat kerja sekarang. Melihat gaji sih manusia tidak pernah ada puasnya ya. Tetapi teman penuh inspirasi, ini yang tak ternilai harganya. Woman support woman, begitu selalu kata teman saya yang aktivis perempuan. Memang, 6 orang perempuan di tim saya ini lebih mendominasi dibanding 4 orang laki-laki yang ada, termasuk bos saya. Suara lebih kencang, dan mungkin terdorong semangat perjuangan. Meski lebih sering bingung sendiri, apa sebenarnya yang diperjuangkan😂.

Berbekal keyakinan bahwa teman-teman saya ini selalu inspiring, saya mengangguk ketika minggu lalu mereka menyeret saya ke bioskop lagi. Tidak tanggung-tanggung, bukan selepas magrib seperti hangout sebelumnya, tetapi ini selepas makan siang. Izin ke bos dengan sopan dan malah didukung sepenuhnya karena beliau prihatin anak buahnya terlalu giat bekerja. Hidup memang sebaiknya seimbang. Setelah hura-hura sebaiknya tetap tidak lupa dengan nestapa. Setelah Eras Tour, kali ini saya diajak nonton Eksil.

Eksil
(sumber: Lembaga Sensor Film Republik Indonesia)

Sejak awal, film dengan durasi 2 jam ini sudah membuat saya heran. Bila film lainnya hanya menampilkan nama pemeran, disini ada juga Researcher. Saya yang jarang nonton film dokumenter karena takut melihat kenyataan, langsung berfikir betapa seriusnya pembuatan film ini. Lola Amaria, salah satu researcher-nya, tenar melalui sejumlah film kritik sosial -yang rawan dibredel pemerintah-. Cabaukan adalah salah satunya.

Tentu saja takjub bukan hanya di awal film. Saya sampai tercengang begitu keluar dari bioskop. Untungnya, setelah tercengang, terbitlah ide untuk mengisi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog tentang Harapan untuk Para Pemimpin😆.


Bukan Cerita Baru

Eksil menceritakan bagaimana sekelompok orang, dalam jumlah besar diberangkatkan untuk sekolah ke luar negeri, lebih tepatnya ke negara-negara beraliran komunis. Sudah bisa diduga, berbicara komunis tentunya akan mengarah ke peristiwa di tahun 65. Film ini menghadirkan sekitar 10 orang narasumber (yang saya ingat) yang merupakan "eksil" di sejumlah negara. 1 narasumber meninggal dunia seminggu sebelum jadwal shooting, 3 narasumber ikut shooting tetapi sudah meninggal saat film ini ditayangkan, dan sisanya syukurnya masih ada. Maklum, pembuatan film ini dimulai sejak tahun 2015, dan saya yakin penelitian untuk menemukan akar masalah dan narasumber yang tepat sudah dimulai jauh sebelumnya. Sudut pandang film ini tentu saja mengkritisi pemerintah. Mungkin secara tidak langsung ditujukan untuk mengkritisi pemerintah saat ini, tetapi melalui cerita kelam pemerintahan yang berkuasa di tahun 65. 

Potongan tutur kisah dari para narasumber, cuplikan foto dan video serta ilustrasi film ini sukses membuat saya mewek. Dipikir-pikir, para Eksil ini orang-orang pintar yang tentunya pilihan. Untuk bisa sekolah di luar negeri dengan pembiayaan negara atau partai tentunya bukan sembarang orang akan lolos seleksinya. Tak heran, meskipun rata-rata sudah sangat sepuh, ingatan mereka masih tajam. Tutur kata masih lugas, dan sebagian besar diantaranya masih aktif menjadi peneliti atau ahli di bidang tertentu. 

Entah apa yang dipikirkan oleh Indonesia, emas berharga dibuang begitu saja, gemas rasanya. Negara yang mereka datangi untuk "bersembunyi" berlomba-lomba menawarkan kewarganegaraan. Sebagian besar diantaranya hidup puluhan tahun tanpa kewarganegaraan demi penantian kembali ke kampung halaman. Yang paling ironi, hampir semua narasumber akhirnya menerima tawaran kewarganegaraan, setelah puluhan tahun terkatung-katung, hanya demi punya paspor dan bisa melakukan perjalanan berkunjung ke Indonesia. 

Hasil Didikan Pemerintah

Saya yang jarang baca dan selalu ketiduran kalau dengar cerita sejarah sudah lama berdebat dengan suami tentang apa itu komunis. Suami saya yang memang hobi baca dan suka sejarah merasa tidak nyambung ngomong dengan saya yang menganggap komunis itu tidak beragama. 

Selain sulit memahami penjelasan suami, sebetulnya saya punya pertanyaan yang tidak terjawab ketika bapak saya berulang kali menceritakan betapa mencekamnya suasana kala itu. Bapak saya kelahiran 58, jadi saat kejadian di tahun 65, beliau cukup bisa memahami bahwa eyang kakung saya-dan keluarganya- ada dalam posisi yang terancam. Bekerja sebagai aparat pemerintahan, eyang saya yang katanya lurus sekali ini diburu karena dianggap antek komunis. Saya pribadi tidak pernah bertemu eyang kakung. Melihat eyang putri saya yang terang terangan beragama islam, saya jadi bingung. Loh, jadi komunis atau bukan sih? 

Belakangan di usia senja eyang putri saya belajar sholat. Lalu munculah kesimpulan baru di kepala saya: Oh ya mungkin dianggap komunis karena kejawen. Jadi komunis adalah kejawen #tentu saja makin ngawur.

Saya tahu ada sesuatu di tahun 1965, meskipun tidak paham betul apa detailnya. Sepanjang saya duduk di sekolah dasar, rasanya mencekam sekali mendekati tanggal 30 September. Bukan, bukan karena takut anggota keluarga saya akan diculik, tetapi setiap tanggal ini saya harus merem melek tutup mata menghindari nonton film G30SPKI yang entah kenapa diputar dimana-mana. Dalam kepala saya, gerakan komunis ini adalah soal menghabisi nyawa dan berbuat keji, pokoknya ngeri sekali.

Jungkir Balik Fakta

Ingin menangis rasanya setelah keluar dari bioskop nonton Eksil. Bukan hanya sedih membayangkan sulitnya kehidupan para narasumber tetapi yang paling sedih adalah saya merasa dibohongi. 

Entah siapa yang membohongi atau saya aja yang kepolosan. Setelah nonton Eksil, saya baru paham bahwa komunis adalah ideologi politik #kemana aja Rin? 

Partainya adalah partai politik biasa, seperti pemilik bendera beraneka warna yang bebas bersuara saat ini. Partai komunis yang jadi sorotan film ini adalah wadah bagi masyarakat kelas rakyat. Palu dan arit menjadi simbol karena rakyat yang bertumpu pada sektor pertanian. Partai dengan jumlah anggota bombastis yang mungkin sebagian diantara anggotanya ya sholat 5 waktu juga atau pergi ke gereja. Yang tidak beragama atau tidak punya kepercayaan mungkin ada saja, tapi bukan karena arahan partai. Haduh, betapa bodohnya saya.

Menceritakan Kebenaran

Ultraman dan Godzilla
(sumber: Channel Youtube Kutufilm)

Karena sedang sebal menjadi korban jungkir balik fakta di buku sejarah, mungkin harapan tertinggi saya untuk pemimpin yang akan berkuasa adalah jadilah pembela kebenaran. Tidak, saya tidak bermimpi punya presiden seperti ultraman daiya atau satria baja hitam yang membela kebenaran dan kebajikan lalu pergi bertarung melawan godzilla. Cukup dengan tidak takut berbicara yang benar, bisa membela diri-dan negara- bila memang benar, dan mengaku lalu minta maaf bila salah. Tentunya setelah itu memperbaiki kesalahan dong ya.

Menegakkan hak asasi manusia dan lebih tinggi lagi berbicara kesetaraan gender seperti yang dielu elukan teman kantor saya sepertinya sulit dipenuhi bila yang dibicarakan selama ini jauh dari kebenaran. Lebih parahnya lagi bila takut dengan kebenaran, atau pura-pura tidak tau yang mana yang benar. Bisa juga kondisinya sama seperti saya, tidak takut dan tidak pura-pura, tapi bingung aja gitu

Ya kalau bingungan mah jangan jadi pemimpin atuh, Pak!

Penutup

Begitulah mamah-mamah. Sekali sekali bolehlah nonton bioskop, ternyata bisa jadi inspirasi untuk tantangan blogging 1 bulan untuk menggapai ambisi ikut posting tantangan MGN tanpa bolong 2024.hehehe.


2 komentar:

Shanty Dewi Arifin mengatakan...

Jadi pengen nonton film Exile nih. Dulu juga sempat nonton film dengan tema ini: Surat dari Praha. Sedih juga sampai nggak bisa pulang ke Indonesia.

ALFI DIGITAL PRINTING mengatakan...

jadi pengen