4/20/2024

Berbagai Kostum Penjaga Bumi

Menjaga Bumi ala Mamahzilla

"Pak, tolong matikan. Saya sudah bilang berapa kali ke Bapak. Kenapa Bapak masih saja mengulangi. Di rumah saya ada 2 orang punya asma. Tetangga sebelah saya kanker stadium 4 dan punya masalah pernafasan". 

"Bapak kalau tidak bisa diajak bicara baik-baik, sudah saya menyerah, Pak. Biar Tuhan saja yang membalas perbuatan Bapak".

Kejadian pagi itu sungguh membuat saya ingin pergi kontrol ke dokter jantung. Nafas saya tersengal-sengal, sesak nafas, dan keringat dingin. Berjalan bolak balik menggotong ember besar penuh berisi air dengan air mata bercucuran dan mulut mengiba meluncurkan kata-kata drama. Menyiramkan air ke tumpukan sampah yang terbakar api berkobar-kobar di balik tembok pembatas komplek, tepat di samping rumah saya. 

Asap pekat membumbung tinggi. Api padam meninggalkan bara yang malah semakin memperparah kepulan asap di balik tembok pembatas komplek samping rumah saya. Tiga hari tiga malam tidak hilang, mengasapi rumah saya, tentu saja beserta isinya. Pernah makan ikan asap? Begitulah kira-kira hidup keluarga saya 3 hari berikutnya. Bukan hanya bau, tapi sampai tidak bisa lagi melihat dengan jelas di dalam rumah karena berasap. Dan ini kejadian yang entah sudah keberapa kalinya.

"Saya hanya bakar tumpukan daun, biar tidak ada ular," seloroh bapak pembakar sampah yang ingin menyelamatkan komplek rumahnya dari ular dengan cara mengasapi komplek lain. 

"Daun kan nggak bahaya asapnya," lanjut si pelaku yang matanya sudah tertutup entah apa sehingga berbagai kemasan snack dan botol plastik yang jelas-jelas berserakan dalam kobaran api itu dianggapnya daun.

"Bu, dia kan bakar sampahnya di lahan umum. Terserah dong dia mau berbuat apa. Itu bukan lahan Ibu, Ibu nggak boleh dong larang orang lain," kata tetangga si pembakar sampah yang heran melihat saya teriak-teriak sambil keluar masuk kompleknya gotong-gotong air.

"Oh iya betul, Pak. Kalau gitu saya taruh bom di depan pintu komplek ini ya Pak, kan jalan umum".

Saya lepas kendali.

Sungguh saya merasa bukan menjadi diri saya hari itu. Si pelaku ini tipikal bapak-bapak yang meremehkan perempuan. Memandang sebelah mata dan mencemooh setiap perkataan saya dengan kata-kata balasan yang tidak ada isinya. Mungkin dia pikir perempuan tidak ada yang sekolah sehingga tidak bisa membedakan kemasan plastik dengan daun. Apalagi perempuan bisa ngoceh ceramah peraturan terkait sampah, sepertinya jauh di luar jangkauan akalnya. Menyulut saya menjadi Mamahzilla. Mamah godzilla yang ngamuk karena kepencet tombolnya. 


Hampir enam bulan terakhir ini, tidak pernah ada lagi yang membakar sampah di samping rumah saya. Belakangan baru saya tahu, kejadian itu tenar seantero komplek, membuat si pelaku malu karena ditegur oleh tetangga-tetangganya.

Melestarikan Lingkungan ala Advisor

Tugas sekolah anak yang paling sulit untuk saya adalah menjelaskan profesi orang tua.

 "Bubu kerjanya apa sih, telepon-telepon orang aja," kata anak saya selalu.

"Advisor," jawab saya

"Iya, kerjanya apa?"

"Memberikan advis, nasehatin orang".

*percakapan berakhir dengan ekspresi heran anak saya. Ibunya dibayar karena suka bawel nasehatin orang lain*



Tidak seperti financial advisor yang rata-rata sukses mengelola keuangannya sendiri sehingga bisa langsung memberikan case investasi pribadi, saya harus memberikan nasehat di bidang lingkungan. Sesuatu yang membuat saya berkeringat dingin karena diri sendiri juga belum bisa berkontribusi untuk lingkungan. Setelah sebelumnya tentang perubahan iklim, tiga tahun terakhir ini saya  menguleni pengelolaan sampah. Selama tiga tahun ini juga saya mules setiap kali menyerukan kesadaran mengurangi, memanfaatkan kembali, memilah, dan mendaur ulang sampah. Mengajari keluarga saya memilah sampah saja sampai tensi naik, belum berhasil sampai sekarang.




Memang mengurus sampah ini gampang-gampang susah. Kata ahlinya, untuk membereskan sampah itu ada dua pilihan. Mau keluar tenaga, atau mau keluar uang?

Idealnya, kedua pilihan ini berjalan berdampingan. Saya lebih tertarik dengan opsi kedua tentu saja. Tadinya, dugaan saya, lebih mudah mencari uang untuk mengelola sampah daripada mengumpulkan tenaga masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri. 

Berangkatlah saya dengan semangat menggebu, meluncurkan berbagai nasehat untuk memperbaiki sistem retribusi sampah dan memfasilitasi kerjasama dengan pihak swasta untuk pengelolaan sampah. Namun, ternyata berbicara uang tidak semudah itu, alehandro.

"Wah, saya nggak kuat mbak kalau bayar sampah sebulan 15 ribu," kata seorang Bapak yang menjadi salah satu narasumber untuk survei kemauan dan kemampuan bayar masyarakat.

"Berat ya Pak?"

"Iya mba. Kami biasanya buang saja langsung ke sungai," imbuhnya sambil menyesap rokok dengan kotak berlogo A besar. 

"Rokok, mbak," lanjutnya sambil bercanda menawarkan rokok ke saya.

"Wah sudah habis sekotak tadi pagi Pak, sekarang puasa dulu deh," jawab saya sambil cengengesan.

"Sekotak habis berapa hari Pak biasanya?"

"2 hari. Kadang sehari mbak kalau lagi pusing. Tergantung situasi aja".

"Oh," saya mencari harga rokok dan berusaha keras tidak ngomel.

***
Di lain harinya, saya terlibat perbincangan santai sambil makan siang nasi kotak.

"Udah site mana saja mas yang jalan tahun ini?," tanya saya kepada seseorang dari perusahaan yang memanfaatkan sampah sebagai bahan bakar alternatif. 

"Wah, macet mba. Kayanya kalau kita datang ke kota itu dilihat seperti celengan uang berjalan. Krincing-krincing gitu, dibuka keluar uang," jawab beliau miris.

Padahal, setiap daerah wajib mengelola sampah warganya. Sebaliknya, perusahaan bisa berhemat dari harga batubara yang tinggi. Tapi kok gitu ya jadinya.

Mencoba Berkontribusi ala Mamah Gajah
Heran rasanya, kenapa kok banyak sekali orang yang tidak peduli pada bumi. Seperti tidak berfikir jauh ke depan. Ini baru masalah sampah, belum lagi yang lainnya. Kalau bumi rusak, kita mau tinggal dimana coba #di bulan kata orang NASA. Hekekeke

Berbicara kerusakan bumi tidak ada habisnya, tapi bisa kita tarik benang merahnya. Rata-rata yang tidak peduli itu tidak punya kesadaran menjaga bumi. Kenapa tidak sadar? Karena tidak mengingat bagaimana bahagianya punya bumi yang indah.

Tiba-tiba ingat, mengajarkan agama pada anak yang diawali dengan kecintaan pada hasil ciptaan Tuhan. Atau, mengajarkan puasa sedari dini dimulai dari mengenalkan suasana bahagia waktu berbuka puasa, dan bukannya diawali dengan beratnya menahan kantuk saat sahur. 

Di penghujung libur lebaran tahun ini, saya dan keluarga impulsif camping ala-ala. Sebetulnya impian akhir sih camping betulan di alam. Tapi kalau langsung camping betulan, khawatir terlalu banyak shock dan akhirnya malah jadi frustasi. Untungnya sekarang ini banyak sekali glamping. Camping tapi glamor. Yang ini rata-rata pakai tenda betulan. Meskipun ada lampu, kasur, dan seperti penginapan saja rasanya, saya tetap belum berani. 

Scroll-scroll, ternyata ada yang levelnya di atas glamping, tapi di bawah penginapan. Yes, menginap di bangunan solid, tapi di hutan. Perpaduan high tech dan natural. Cocok untuk kami yang super amatir latihan sebelum langsung nyemplung ke alam yang sesungguhnya.

Cabin kayu di tengah hutan pinus

Mendekat kepada alam, tapi dengan mengeliminasi segala yang mungkin menakutkan dari alam. Binatang buas, ular, kegelapan, basah kehujanan, dan kelaparan karena harus masak dulu untuk makan tidak perlu dijumpai disini. Tersisa pohon-pohon pinus rindang, udara dingin sejuk, air jernih, kicau burung, dan pergantian warna langit yang memukau. Deforestrasi, menurut saya minim, karena letaknya di hutan milik Perhutani, tampaknya hutan produksi.

Menambah keceriaan anak-anak, kita juga bisa pesan grill barbeque dan api unggun. Selain itu, tentu saja smart cabin dengan fitur jendela dan lampu kamar yang bisa diatur fiturnya hanya dengan menyentuh panel layar sentuh. 

Lampu yang bisa diatur warna dan tingkat terangnya sesuai mood; Pemandangan hutan pinus dari samping tempat tidur. Jendela bisa diatur blur atau transparan. Untung panel sentuh dibuat tahan banting, karena menarik sekali untuk anak-anak cetak cetek bolak balik ganti warna lampu dan buka tutup jendela๐Ÿ˜‚.


Camping ala-ala ini terbilang sukses. Selanjutnya mungkin bisa coba glamping dengan tenda kain, dan kalau si adek sudah SD harapannya kami siap camping beneran



Penutup

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan April 2024 dengan tema Bumi menginspirasi saya untuk menuliskan cerita sekaligus merenung. Mungkin begitu juga ya harusnya mengajak orang-orang agar peduli pada lingkungan. Pendidikan sedari dini memang betul penting adanya. Bukan untuk mengancam atau menakut-nakuti, tapi untuk menumbuhkan kecintaan. 

Ketika kecil, saya selalu gembira setiap Bulan Ramadhan tiba. Alasannya sederhana, saya bisa bawa pulang banyak sekali cemilan, snack takjil ikut pesantren ramadhan atau tadarus di masjid. Ketika dewasa, meskipun tentunya takjil harus beli sendiri ๐Ÿ˜, tetap untuk saya rasanya Bulan Ramadhan itu menyenangkan sekali.

Mungkin, kalau semua orang punya kenangan yang indah tentang Bumi, tidak akan ada lagi yang tidak peduli padanya, karena tau betapa berharganya bumi kita.



5 komentar:

Shanty Dewi Arifin mengatakan...

Beberapa waktu lalu tetanggaku juga ada yang mengeluh soal tetangga depan rumahnya yang hobi bakar sampah. Sementara dia engap banget dengan asap. Si tetanggaku yang terganggu ini agak sungkan buat negur, padahal dia sangat merasa terganggu. Berharapnya ada tetangga lain yang bisa bantu negur. Ternyata tetangga lain yang bahkan lebih dekat tidak merasa terganggu. Repot ya kalau begitu. Padahal sebenarnya membakar sampah kan jelas-jelas dilarang karena akan menyebabkan polusi.

Riskawati Chandra mengatakan...

Hebat teh bisa berani negor. Kalo di komplek saya sekarang, bakar2 gitu hal yg biasa teh. Klo udah lama gak hujan, mulai deh bau asap berkeliaran. Gak ada yg negor karena anggep itu hal yg biasa. Pdhl asepnya kan ganggu bgt ya teh.

fsrinurilla mengatakan...

Ririn, awal-awal aku kira fiksi lho.

Mamah keren, Ririn. Berani speak up untuk kebenaran. Aku selalu suka dengan Ibu Pemberani begini. ๐Ÿฅฐ
Alhamdulillah tindakan fearless Ririn di hadapan geng Bapack-bapack membuahkan hasil yang positif. Semoga tidak akan terulang kembali. Aku heran sebenarnya Bapak tersebut tuh ignorant, egois, atau memang bod*h ya...

Dalam kompleks, harusnya Pak RTnya paham dan bisa membuat aturan tentang ini.

a l f i mengatakan...

Aduh, aku ikut emosi baca awal tulisannya. Semoga bener2 jera dan nggak terulang lagi ya ๐Ÿ™

Andina mengatakan...

Aku jadi ingat dulu pernah tinggal di rumah kontrakan yang gerbang depannya agak jauh dan jarang dilalui orang. Kadang tetangga ga sadar kalau rumah sudah ditempati orang. Dan ada dari mereka yang buang sampah di depan gerbang itu dong. Astaghfirullah, kalau ingat itu usep dada aja. Memang ya kadang orang terdekat kenapa bisa jadi ngga toleran banget.