Ibu tempatku mencari nyaman
Ingat sekali, menjelang akad nikah, saya termehek-mehek nangis sesenggukan, takut menikah. Takut tidak tahu apa yang akan terjadi setelau menikah. Takut berpindah dari tangan ayah dan ibu yang sudah terbukti keamanannya, ke tangan seorang laki-laki yang entah bagaimana lah nanti jadinya. Memeluk ibu, dan tidur beralaskan lengannya sebagai bantal, sesenggukan sampai tertidur menjelang akad nikah. Setelah menikah, rasanya tetap ingin memeluk ibu sesuka hati, tapi sulit sekali dengan posisi perut melentung hamil, apalagi setelah ada anak piyik yang saat itu baru lahir.
Garang di Bandung, tapi anak ketek begitu pulang ke Semarang. Iya, saya masih tidur mencari ketek Ibu meskipun sudah mahasiswa. Jangan ditanya ketika SMA, SMP, atau usia di bawahnya. Momen favorit adalah ketika Ibu sudah pulang dari mengajar di sekolah, dan saya bisa dusel dusel ketek Ibu tidur siang sampai puas. Ibu pun merasa ayem kalau bisa ngetekin anaknya, kalimat ini entah mengapa menjadi afirmasi positif, membuat saya merasa menjadi diri yang sangat berharga.
Ibu (ternyata) pemersatu keluarga
Ada kata ternyata di dalam kurung, karena ini baru saya sadari setelah Ibu tiada. Anggota keluarga ini selain ibu adalah 1 orang bapak sumbu pendek, 1 orang anak yang tidak pernah bisa dimengerti orang tuanya, dan 1 orang anak dengan weton yang sama dengan bapaknya, jadi konon tak akan pernah akur dengan bapaknya. Ajaibnya keluarga ini bisa berjalan bersama dengan baik-baik saja. Ternyata kuncinya ada pada ibunya. Setelah ibu tidak ada, saya heran bukan main. Mengapa sulit sekali berkomunikasi dengan Bapak. Ternyata selama ini Ibu saya semacam pemimpin redaksi, memfilter semua narasi 2 arah. Sampai ke tangan pembaca sudah terstruktur, mudah dimengerti, dan tentu saja dalam kasus keluarga saya hasil edit pimred tidak sebombastis naskah aslinya.
Selain karena kemampuan redaksionalnya yang memukau, saya masih berusaha mengingat-ingat apa yang dilakukan orang tua saya, terutama Ibu saya, sampai-sampai saya dan kakak sama sekali tidak tertarik untuk bermusuhan. Mungkin juga karena tidak ada harta warisan bombastis yang sering menjadi sumber perkara keluarga. Tapi sepertinya lebih dari itu. Saya cuma ingat ibu saya cerita, paska saya lahir, ibu berusaha untuk tetap memperhatikan kakak saya. Memastikan dia tidak kehilangan perhatian, meskipun sudah punya adik. Sampai-sampai kelewatan lupa memperhatikan saya, sehingga saya ngencut jempol dan gigi berantakan saking ibu tetap fokus ke kakak saya.
Ibu memperlihatkan bagaimana wanita harus berdaya
Berdaya disini kalau ala-ala instagram salah satunya adalah menyediakan menu makanan bergizi. Terlepas dari minimnya pengetahuan saat itu, salah satu prestasi terbesar ibu saya adalah memiliki 2 anak yang berat badannya melejit naik pada garis Kartu Menuju Sehat (KMS-kartu posyandu). Bukan hanya selalu naik, tapi mentok kelewat batas atas, sampai-sampai harus ditulis manual karena grafik yang ada sudah tidak cukup lagi angkanya. Tentu saja bukan masakan ibu yang saya kangen, karena kami selalu makan masakan embak ART. Tapi yang tercatat di kepala saya adalah agenda Ibu tiap hari sabtu pergi ke pasar, membeli beragam ikan, daging, dan ayam. Sampai rumah mencuci semuanya dan menyiapkan dalam porsi-porsi sekali masak. Dipikir-pikir canggih juga, sudah mengenal meal prep sejak jaman dulu.
Sisanya, adalah jalan ninja. Sarapan indomi bakso sayur telur, kornet telur, atau nyemil sosis goreng kecap. Tentu saja tidak sehat, tapi entah mengapa tetap bikin kangen Ibu.
Ibu saya bekerja, sebagai guru SMA. Berangkat pulang menyetir mobil, hijet merah hadiah dari kakek saya, yang sudah ada sejak saya lahir. Pulang pergi di tengah terik matahari Kota Semarang, Ibu saya baru berani bermimpi membeli mobil ber-AC ketika semua anaknya sudah masuk jenjang kuliah. Itu pun mobil bekas yang dijual oleh kakaknya dengan harga super miring dan pinjaman lunak selunak-lunaknya. Perempuan menyetir mobil kala itu masih jarang di Semarang. Makanya Ibu terkenal diantara kenek-kenek bus jurusan Ngaliyan Boja, rute yang Ibu lewati setiap menuju sekolah tempat mengajar dari rumah.
Satu lagi "ternyata" yang baru saya sadari ketika Ibu sudah tidak ada. Saya pikir menjadi guru SMA hanya hobi saja untuk Ibu karena gajinya tidak seberapa. Belakangan setelah saya lulus kuliah Ibu seperti bisa menikmati hidup yang sesungguhnya, mau beli apa saja bisa. Tapi saya pikir, ya itu karena sejauh yang terpikirkan olehnya ya yang dipengenin itu-itu saja. Ternyata, setelah Ibu tidak ada, Bapak heran dan pusing bukan main. Selama ini semua bisa terbayar. Hitang hitung, otak atik, tetap saja mustahil cukup untuk membayar semuanya. Yang jelas Bapak dan kami anak-anaknya tidak pernah merasa tidak tercukupi kebutuhannya. Kami tetap jalan-jalan dan makan diluar, sesuai kemampuan. Nggak nelangsa ngirit-ngirit banget lah. Ternyata, tidak terasa kontribusi ibu besar sekali. Mungkin gaji yang tidak seberapa selama ini benar-benar tidak pernah dipakai untuk dirinya sendiri. Mungkin juga jadi cukup berkat tangan sakti ibu yang kemampuan mengelola finansialnya luar biasa. Entah yang benar yang mana, intinya kok bisa.
Tidak berhenti disitu. Ibu saya, entah minum suplemen apa sampai-sampai besar sekali tenaganya, rajin sekali bikin ini itu. Bikin kolase foto, jadi tim heboh persiapan 17 agustusan di komplek rumah, jadi tim heboh pentas seni di sekolah, bikin slide power point untuk mengajar di sekolah dengan animasi dimana saat itu masih jarang sekali guru yang kepikiran mengajar dengan media digital, sampai menulis artikel di koran. Ckckckck. Saya cuma kerja dan ngurus anak sepulang kerja aja rasanya cuma pengen nggletak ketika ada kesempatan. Kok bisa.
Ibu, adalah benchmarking kanker usus
Ini khusus untuk saya pribadi. Bila kanker usus adalah prompt, chat GPT dalam kepala saya otomatis menghasilkan narasi adegan di Bulan Desember 2016-Januari 2017. Akhir tahun selalu bernada sendu kelabu untuk saya. Rentetan gejala, penyesalan lambat tindakan, rentetan tes, progress yang naik turun dan tidak jelas kabarnya, masih erat sekali rasanya. Apalagi akhir tahun cuaca selalu mendung-mendung kelabu. Film horor kembali berputar minggu lalu ketika ada rekan kantor yang istrinya wafat karena kanker usus. Mungkin semua orang aneh melihat saya, tiba-tiba sesenggukan tidak terkontrol. Duh, sudah lah.
***
Lalu, ini adalah foto mini me. Ya, kedua anak saya. Dibalik dua anak yang semua lahir ginok-ginok tapi lalu menemukan bentuknya masing-masing ketika semakin membesar, ada seorang Ibu yang berharap dapat menghasilkan memori luar biasa juga.
Tidak ada Subjudul khusus yang bisa saya tuliskan untuk menceritakan ibu dari kedua anak yang ini. Memori yang berputar di kepala sejauh ini adalah up and down kehidupan, yang membuatnya sering kali ingin kembali ke wujud anak ketek saja. Mencoba berdaya dengan bekerja, tetapi rasanya kondisi sekarang jauh berbeda dari kondisi dulu. Rasanya ingin sekali memanggil Ibu untuk bertanya, bagaimana saya dan kakak begini dan begitu, ketika Ibu pergi bekerja. Mencoba berdaya dengan menyiapkan bahan makanan dan jadi ahli pengatur keuangan keluarga, tapi tetap saja rasanya ada banyak tanda tanya.
Penuh syukur bisa terbangun pukul 23.15, sehingga masih bisa ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan November.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar