5/17/2025

Sampah yang Tidak Populer

Mencoba menulis tentang opini tidak populer rasanya membawa saya kepada memori perdebatan di kantor tentang sampah. Hampir semua orang (paling tidak orang Indonesia, lah), tertarik dengan topik ini. Mungkin karena peduli pada bumi, dan pengalaman pribadi-terganggu oleh sampah, atau melihat sisi lain dari permasalahan umat manusia ini. 

Untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang batas pengumpulannya tinggal 2 jam lagi ๐Ÿ˜, saya ingin mendokumentasikan beberapa opini tidak populer yang ternyata benar-benar tidak populer, soal sampah.


Mengubah sampah menjadi berkah

Masih teringat jelas bagaimana Ibu Sri Bebassari, salah satu legenda perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia, dengan suara khas berapi-apinya menjelaskan tentang bagaimana sampah seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang bernilai. Menurut beliau, dan banyak ahli lainnya, sampah tidak seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang menjijikkan dan harus dihindari. Sebaliknya, paradigma sampah perlu digeser sedikit menjadi sesuatu yang membawa berkah. Definisi sampah pun menjadi lebih luas dengan paradigma baru ini, bukan hanya residu yang tidak terpakai, tetapi sampah adalah segala sesuatu yang berada tidak pada tempatnya atau menimbulkan gangguan pada sekitarnya.

Ibu Sri Bebassari, legenda sampah Indonesia
Sedih sekali, kemarin beliau berpulang untuk selamanya
foto: greeners.co

Tumpukan daun kering di halaman belakang yang tidak mengganggu sudah bisa dikeluarkan dari kategori sampah. Sisa potongan sayur adalah sampah, tetapi ketika mereka dimanfaatkan kembali, bisa mengubah nasibnya. Bukan lagi sampah, tetapi berkah. Tetangga Mamah punya mobil mewah baru, tapi parkir sembarangan dan menyusahkan orang mau lewat, nah itu sampah, bukan barang mewah. Saya yakin Mamah punya contoh sampah pada banyak kasus lainnya ๐Ÿ˜„. Baru paham mengapa sampah dijadikan kata umpatan, sesederhana dan setepat itu ternyata cara penggunaannya.

Definisi sampah dari Ibu Sri Bebassari ini diadopsi oleh semakin banyak orang. Sependek pemahaman saya, maksudnya adalah untuk mendorong masyarakat untuk mau mengelola sampah, tidak hanya jijik lalu tidak mau ada sampah di dekatnya. Di tengah banyak orang sepakat dengan konsep ini, saya pribadi termasuk golongan yang malah jadi agak ngeri. Saya, seperti berjuta orang lainnya, juga masih takut dengan sampah. Meskipun bertahun-tahun mendapat rezeki melalui topik ini, tapi ketika melihat sampah sebagai berkah, yang bagi sebagian besar orang di Indonesia dimaknai sebagai pundi-pundi rupiah, akan menjadi sangat berbeda akhir ceritanya. 

Langsung terbayang lagi cerita tentang mesin pengumpul botol plastik. Setiap memasukkan botol plastik, kita akan mendapatkan poin hadiah yang bisa dikumpulkan dan ditukar menjadi voucher belanja. Bukan hanya memasukkan botol bekas minumannya, ternyata banyak orang yang secara aktif mengumpulkan botol bekas, entah dari manapun. Pilihan lainnya adalah sengaja banyak-banyak minum minuman kemasan, agar punya banyak botol bekas. Memang betul, Indonesia itu lahan subur industri kreatif. Namanya orang Indonesia, ada aja idenya. Kalau sudah begini, bukan sobat pegadaian namanya, menyelesaikan masalah dengan masalah lainnya.  
 

Soal menyerah memilah sampah

Sabar jangan emosi dulu yah, Mah. Saya juga masih mencoba memilah sampah. Apalagi kalau ingat tugas di kantor, dakwah soal pemilahan sampah. Rasanya hidup di dunia ini seperti bermuka dua. hahaha.

Mungkin beberapa Mamah merasakan kondisi sulit saat TPA Leuwi Gajah meledak dan longsor. Banyak TPA lainnya menuju ke nasib yang sama, mah. Karena kapasitasnya sudah tidak cukup lagi, tetapi selama masih ada manusia di bumi, tentu saja sampah terus saja dihasilkan. Untuk itulah sampah harus dihindari sejak dari sumbernya, dan disini peran Mamah sebagai CEO di rumah sangat diperlukan.

Kalau boleh unjuk suara dari hati yang terdalam, sejujurnya saya termasuk yang kurang beriman pada gerakkan memilah sampah. Apalagi setelah ditantang oleh client menghitung impact dari kegiatan memilah sampah yang saya anjurkan. Sungguh sulit jungkir balik sirkus, membuat angkanya menjadi terlihat signifikan. Siapa yang bilang memilah sampah itu mudah. Nooo. Tapi kan memilah sampah itu tidak ada biayanya. Siapa bilaaaaang. Justru effort terbesar, dan terempong dari membangun sistem pengelolaan sampah adalah bagian menggerakkan masyarakatnya.  Sudah lah sulit, setelah memilah, ternyata masih ada ber-ratus ton sampah yang harus ditimbun di TPA setiap harinya mengalir dari rumah-rumah di seluruh kota. Bukan mengecilkan upaya kita, tapi memang kecil sih, Mah ๐Ÿ’.

Terlepas dari pro dan kontra-nya, cara pengelolahan sampah paling jitu, terutama untuk Indonesia (dengan keaneka ragaman industri kreatifnya), untuk saya adalah Insinerator.

Tentu saja cara ini harus dikelola dengan proper yah. Jangan jadi kayak tetangga sebrang komplek saya juga. Meskipun sama-sama pembakaran, yang bakar sampah di kebon sebelah ini bikin bengek. Insinerator seharusnya tidak. Dalam case ini, saya sepakat dengan netijen pengguna mesin botol plastik: memilah sampah untuk mencari berkah. Memilah yang bisa dimanfaatkan untuk menambah pemasukkan. Sisanya, langsung dibakar saja. Dengan operasional proper, sobat pegadaian bisa berkumpul, menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Perlu berapa jenis tong sampah?

Sungguh menyulut emosi di jiwa kalau ingin buang sampah di tempatnya, tetapi yang ada di hadapan adalah deretan wadah menyerupai pelangi. Mejikuhibiniu. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Belum lagi labelnya cuma berisi gambar saja, tanpa tulisan keterangan. Apalagi label daur ulang yang segitiga berpanah itu. Menurut saya, artinya adalah wadah untuk plastik atau material-material yang bisa didaur ulang. Pas dibuka, eh isinya sampah basah semua. Ternyata wadah itu untuk sampah organik. Lha, gimana sih.

Sudah lah bukan fans berat pemilahan sampah. Masih harus berjuang memikirkan penggolongan sampah, tentu saja bubar jalan.

Mejikuhibinibu-karena yang terakhir abu-abu, hahaha
sumber: mbizmarket

Saya selalu berpendapat, sepertinya tong sampah itu cukup ada 2 jenis pemilahan. Untuk material yang mungkin masih berguna dan untuk sampah yang sesungguhnya. Kalau untuk di rumah, boleh lah 3 wadah, karena sampah basah masih berpotensi untuk diselamatkan. Jadi ketika datang ke tempat sampah, cukup berpikir, yang mau saya buang ini betul-betul sampah, atau mungkin masih ada gunanya. Apalagi di tempat-tempat umum dengan jumlah sampah besar. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau tong sampahnya ada 7. Wadah berlabel daur ulang, sudah pasti isinya mix, antara organik atau plastik, karena ada orang-orang seperti saya, maupun orang-orang berjenis pemikiran berbeda lainnya. 

Mungkin akan lebih mudah kalau jenis tongnya hanya ada 2. Petugas sampah akan mengambil kantong berisi material masih berharga untuk diserahkan ke bandar selanjutnya. Lalu, sisanya, langsung menjadi santapan bergizi bagi insinerator.

Penutup

Begitulah mah, sekelumit cerita semi curcol soal pendapat saya yang tidak populer. Tentunya dihasilkan dari pemahaman saya yang masih minim juga. Kalau menurut Mamah bagaimana?
 

 

4/23/2025

Pamitan: Bentuk Bertahan dalam Perubahan Zaman

"Salim, salim, kita mau pulang. Sini salim dulu sama bude, sama pakde. Itu sama embah belum salim."

Salim, dalam tradisi masyarakat Jawa diasosiasikan dengan mencium tangan. Kebanyakan dilakukan ketika akan pamit. Berpamitan ini terutama dilakukan oleh yang lebih muda ke orang yang lebih tua. Sejak covid melanda, atau bertemu dengan orang-orang yang sedang merokok, saya memodifikasikan tradisi tersebut. Dari salim menjadi salam. Anak-anak tidak perlu mencium tangan, tetapi bisa dengan mengucapkan salam saja. Sejauh ini tidak dapat complain dari para tetua, jadi sepertinya aman. Bagaimana pun bentuknya, tradisi berpamitan ini tetap ada.

Salim, tradisi berpamitan
sumber: https://altsaqafah.id/

Berpamitan ternyata tidak hanya bisa dilihat pada moment casual keluarga, atau pun hanya milik suku bangsa Jawa, tetapi juga menjadi tradisi yang mendunia, antara lain dengan berbalut alasan etika. Tidak hanya pada ranah keluarga, tradisi berpamitan juga muncul pada set up profesional, di saat bekerja. Meskipun tidak diatur oleh pakde bude, atau tetua lainnya, tradisi berpamitan ini cukup sukses berevolusi di ranah korporat tentunya dengan bentuk aplikasi yang beragam. 

Untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana tradisi berpamitan diaplikasikan oleh berbagai orang, dalam balutan gaya korporat. 




Berpamitan ala tokoh milik sejuta umat

Hampir 10 tahun bekerja di tempat yang sama membuat keisengan saya meningkat pesat. Selain email berisi tumpukan masalah kehidupan, cukup menarik memperhatikan email-email berjudul good bye atau see you again. Biasanya, saya akan melihat siapa yang mengirimkan email tersebut, karena akan menentukan perasaan saat membaca isinya: apakah terlarut dalam sendu, atau sebaliknya.

Saya sering kagum ketika menerima email-email tersebut. Pertama, kagum dengan kata-kata yang dituliskan, kok bisa secantik itu. Kedua, kagum dengan keberanian orang yang mengirimkan email. Seringkali, saya menerima email tersebut karena dikirim ke label "all staff". Tandanya, tanpa harus memilah, email akan otomatis terkirim ke semua staff di perusahaan tempat saya bekerja. Terkirim ke khalayak se-Indonesia Raya saja sudah heboh menurut saya- yang ini terkirim ke seluruh staff di regional Indonesia dan Asia Tenggara. Membuat saya langsung merasa lebih beken dari Raisa kalau melakukan hal yang sama.  

Tak terbayang rasanya kalau sampai saya lebih beken dari Raisa
Sumber: Viva

Kalau sudah begini, menurut analisa saya, ada 2 golongan pengirimnya. Golongan Pertama biasanya orang dengan posisi tinggi yang memang dikenal rakyat sejagat raya. Kepergiannya menimbulkan dampak besar, dan biasanya beberapa bulan sebelumnya sudah ada tweety yang berkicau membahas rencana kepergiannya. Untuk memvalidasi keberpemilikan sosok tersebut, beberapa hari sebelum email official good bye itu dikirim, akan ada semacam undangan berkumpul, potluck, yang diatur sebagai pesta perpisahan. 

Sedangkan, Golongan Kedua, dengan email perpisahan melibatkan penerima sejagad raya lainnya adalah orang-orang yang malas mengetik alamat email satu per satu. Untuk yang ini, tidak ada banyak cerita, hanya sejenak setelah membaca, sebagian besar penerima -termasuk saya- akan berpikir: ini siapa ya?

Berpamitan dengan kebingungan

Kerja berkelompok tentunya menghadirkan dinamika. Ada yang menjadi tulang rusuk, ada yang menjadi gula-gula kapas. Ada juga yang tidak punya peran tersurat tapi menemukan sendiri fungsinya di dalam team dengan bersikap baik, dan syukur-syukur menghibur. Yang seperti ini, biasanya memegang prinsip bila tidak bisa membantu, paling tidak berusaha agar tidak merepotkan. Uniknya, ada juga orang-orang yang diciptakan untuk memegang prinsip sebaliknya. Kalau bisa sulit, mengapa harus mudah.

Begitu juga dengan berpamitan. Tradisi awal salim, yang dalam ranah korporat saya anggap diwakilkan oleh email, ternyata tidak bisa semudah itu diaplikasikan bagi sebagian orang. Bagi beberapa teman yang terjebak dalam kondisi "sulit", mereka akan menciptakan tweet-nya sendiri, tentu untuk mengabarkan rencana kepergiannya. Kicauan ini biasanya sudah beredar 1-3 bulan sebelum tanggal rencana resign. Sering kali, setiap mendekati tanggal resign, ada tweet baru mengabarkan pengunduran waktu resign. Awalnya akan resign di Februari 2024, mundur ke Juni 2024. Lalu hingga September 2024 masih ada saja orangnya. Konon katanya di awal tahun depan beliau akan resign

Bingung dan membingungkan, memang jadi hobi bagi beberapa orang. Jangan sampai jadi tradisi yang dilestarikan. 
sumber: peakpx

Mencoba untuk peduli, biasanya team yang ditinggalkan akan langsung mengatur strategi: bagaimana agar departure personel ini tidak menimbulkan kegaduhan..... dalam tim solid yang selama ini memang solid bekerja tanpa perannya.

Sudah bulan keempat di tahun berikutnya, ternyata tak jadi resign karena belum dapat tempat di posisi lainnya๐Ÿ‘€. 

Berpamitan dalam diam

Ini pengalaman pribadi, ketika suami harus berpamitan dengan kantor lama, karena laid off. Berbeda dengan pengalaman karyawan Sritex yang bahkan sempat diliput TV dulu sebelum benar-benar resmi berhenti bekerja, suami saya mendapat berita PHK di jam 7 pagi, dan resmi pengangguran per jam 12 di siang harinya.

5 jam tersisa dengan akses identitas untuk membereskan semua file di laptop kantor. Boro-boro kirim email perpisahan, ngabarin istri saja baru bisa setelah kembali bernafas normal di malam harinya. Apalagi ingat istrinya sedang hamil dan bulan depan melahirkan. Dalam kasus ini, tentu saja tidak berlaku salim. Pamitan hanya bisa dilakukan dalam diam.

Berpamitan dengan Sakral

Bekerja, untuk beberapa orang maknanya bukan hanya menyelesaikan pekerjaan dan mendapat bayaran. Ada moment bersama teman yang seringkali menjadi lebih berharga dari sekedar pekerjaan itu sendiri. Apalagi kalau teman ini kumpulan orang yang sudah melewati pahitnya dunia tantangan kehidupan bersama, pamitan jadi bukan sekedar berpindah label, tetapi juga lepas dari teman-teman kesayangan. 

Tipikal golongan ini biasanya tidak perlu berkicau untuk menginfokan rencana kepergiannya. Sebaliknya, orang-orang akan secara aktif alias kepo, menanyakan akan pindah kemana? Atau yang lebih akrab lagi akan bertanya kenapa resign?

Menyusun strategi "life after his/her departure" biasanya tidak akan langsung dilakukan oleh team karena kehidupan seakan berhenti berputar. Saking banyaknya role, tidak akan semudah itu untuk menggantikan posisinya. Alih-alih berpikir cepat, rekan yang ditinggalkan akan merenung agak linglung. Bingung, mau marah pun tak bisa. 

Dalam gamang, berpamitan biasanya dilakukan melalui pertemuan kecil yang disiapkan oleh internal team. Biasanya, isinya, mengharu biru. Nangis-nangis. 

Pada hari terakhir orang ini bekerja, email akan dikirimkan ke anggota team, atau kolega yang merasa akrab. Isinya ditulis dengan hati, mengutarakan perasaan yang semua penerima emailnya bisa relate. Kalau sudah begini, cerita mellow biasanya diakhiri dengan deretan email respon yang senada "You will be missed!"

Penutup

Datang mengetuk pintu, maka pulang pun perlu berpamitan. Unggah-ungguh sebetulnya, kurang yakin juga, apakah termasuk dalam tradisi lokal atau tidak. 

3 minggu lagi saya akan meninggalkan kantor lama. Yang jelas, saya hanya rakyat biasa, yang tidak cukup pede mendapat respon "ini siapa?". Jadi kita lihat saja bagaimana nanti jadinya.

3/18/2025

Seni Bertahan ala Roker

Perubahan dalam hidup adalah hal yang sudah biasa dan semestinya. Menyaksikan perubahan ke arah yang lebih baik tentunya menjadi hal yang kita nanti-nantikan. Namun, apa jadinya kalau perubahan yang terjadi tidak sesuai prediksi kita sebelumnya. Apalagi, kalau terjadinya secara tiba-tiba. Bisa jadi sebetulnya tidak berdampak apa-apa, tetapi pusingnya sudah terpampang nyata di kepala๐Ÿ˜†.  

Untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret, kali ini saya ingin berbagi cerita seni bertahan dari perubahan, ala Roker -Rombongan Kereta. Barangkali, bisa memberikan ide bagi Mamah dalam mengarungi perubahan di kehidupan. 



Sudah bukan rahasia lagi bahwa RoKer, Rombongan Kereta, alias para pengguna KRL (Kereta Rel Listrik) adalah ras terpilih yang diyakini keunggulannya dalam bertahan di muka bumi. Apalagi kalau bukan karena kemampuannya untuk bertahan terhadap perubahan. Ada 700.000 commuter yang  setiap hari mengasah kemampuan bertahannya. Bisa dibayangkan ketika jam padat berangkat dan pulang kantor, jangan pernah coba-coba untuk bergelut dengan ras unggul ini kalau Mamah tidak punya modal yang cukup. Perubahan jadwal kereta, perubahan cuaca, perubahan lajur antrian -yang memang tidak pernah ada๐Ÿ˜-, hingga perubahan mood penumpang lain dimana Mamah akan dengan mudah berkata, lah apa hubungannya dengan saya?, menjadi tempaan kehidupan sehari-hari bagi para RoKer. Bagaimana mereka bertahan dengan segala bentuk perubahan? Check it out!

Mengidentifikasi adalah kunci

Wajib hukumnya bagi RoKer, untuk mengidentifikasi kondisi lapangan dalam memprediksi perubahan. Di tengah kerumunan yang sering kali membuat jumlah oksigen sangat terbatas, bisa berpikir jernih adalah suatu keahlian tersendiri. Bagi suhu-suhu RoKer dengan track record panjang, mereka akan berjalan dengan tenang memasuki stasiun KRL, menjaga kadar oksigen tetap baik untuk berpikir jernih. Sementara itu, para RoKer fresh graduate akan panik setiap mendengar klakson kereta, berlari menyongsong kereta yang datang, ingin segera masuk dalamnya. 

Penumpang KRL menanti kereta datang
sumber: detik.com

Para suhu sama sekali tak terganggu. Alih-alih ikut mempercepat langkah menuju pinggir rel, mereka malah berbelok santai menuju minimarket. Keluar dengan menenteng kudapan dan minuman, berjalan santai ke peron, dan mendapati para freshgrad masih juga ada disitu, menggerutu karena tak bisa masuk ke kereta yang tadi heboh dikejar. 

Bagi kebanyakan orang, perubahan kondisi yang serba cepat di dalam stasiun KRL bisa mengancam kewarasan, bahkan keselamatan jiwa. Orang-orang yang berlari dengan cepat, suara pengumuman yang sering kali terlewat untuk didengarkan saking cepatnya, hingga suara klakson kereta yang memekakkan telinga. Bagi RoKer, menghadapi kondisi ini bisa dilakukan dengan duduk santai di bangku, menikmati kudapan, sambil memperhatikan kondisi sekitar. Antrian mana yang paling panjang, kereta jurusan mana yang akan datang, dan berapa jumlah gerbongnya. Apakah ada gerbong wanita atau tidak, dan bahkan mengamati di pintu-pintu mana penumpang-penumpang low skill berdiri untuk mengantri. 

Tetap tenang untuk mengidentifikasi apa yang sebetulnya sedang terjadi adalah kunci.

Saatnya beraksi penuh energi

Mempersiapkan yang bisa disiapkan, sisanya adalah urusan nanti menjadi motto andalan para RoKer. Pasalnya, terlalu banyak yang tidak pasti untuk bisa memprediksi semua perubahan yang akan dilalui. Terlalu lama berpikir bisa beresiko kehabisan kereta. Membayangkan argo taksi sudirman-banten plus macet yang bisa berpotensi mengeliminisasi jatah makan entah berapa hari tentunya lebih horor lagi. Daripada pusing sendiri, lebih baik melakukan apa yang bisa dilakukan. Pastikan perut tidak lapar, tidak haus, dan tidak ingin ke toilet sebelum memasuki peron stasiun. Sisanya, kalau ada apa-apa yah kita anggap apes saja๐Ÿ˜.

Pikiran yang tenang, persiapan yang baik, membuat para RoKer punya energi yang cukup untuk beraksi. Beberapa RoKer senior berkamuflase, dengan santun ikut mengantri di pinggir peron dan dengan penuh semangat tertib, masuk ke dalam kereta. Sebagian lainnya tidak ikut mengantri, tapi dengan santun inserting her/himself  ke dalam penuh sesak penumpang di dalam gerbong. Menyelinap di sela-sela orang lain, memanfaatkan posisi awkward penumpang lain yang menghasilkan ruang kosong, maupun dengan sopan meminta orang lain bergeser adalah beberapa cara RoKer tipe kedua ini untuk bertahan hidup dan membaur dengan khalayak umum. Tipikal kedua ini ngeselin bagi penumpang lainnya, tetapi masih bisa dimaafkan karena masih ada kata-kata maaf, maaf, permisi mbak, permisi mas. Berhubung hidup di negara yang permisif -berbuat dulu lalu bisa minta maaf belakangan-,  golongan RoKer jenis ini cenderung dapat diterima masyarakat. 

Seni bertahan ala golongan RoKer yang ketiga hanya bisa ditiru oleh orang-orang yang bermental baja dan berenergi luar biasa. RoKer jenis ini akan berdiri jauh dari kerumunan antrian di pinggir peron, bahkan duduk atau menyender di tembok, seolah-olah pergi ke stasiun hanya untuk menonton saja dan tidak perlu naik kereta. Ketika kereta datang, mereka tetap tenang. Ketika pintu terbuka, dan orang-orang lainnya mulai berhimpitan berebutan untuk masuk, mereka tetap tak bergeming. 

Ketika semua penumpang yang memenangkan pertandingan masuk kereta sudah ada di dalam gerbong, dan 3 detik lagi pintu kereta ditutup, RoKer jenis ketiga ini beranjak dari posisinya, mengambil kuda-kuda, dan berlari kencang bagaikan super saiyan. Memunculkan kilat-kilat yang bergerak cepat mendekat ke arah gerbong. Diakhiri dengan gerakan melemparkan dirinya ke kerumunan sesak yang ajaibnya menghasilkan ombak gerakan manusia yang terbelah, menyisakan ruang di dekat pintu untuk menampung badannya #applause



RoKer jenis ketiga, bagaikan super saiyan
sumber: pinterest


Tenang, yang tadi belum seberapa epic. Bila tidak keburu melemparkan seluruh badannya, RoKer jenis ini tak akan kehabisan akal. Ransel, tas jinjing, botol minum, atau sebagian tangan dan sebagian kaki, mungkin juga setengah badan temannya, apapun lah, akan dia lemparkan ke arah pintu kereta yang hampir menutup. Intinya, hanya untuk mengganjal pintu dan membuat sensor pintu kereta mendeteksi ada yang terjepit. Secara otomatis pintu akan membuka kembali, dan seluruh badan RoKer bisa masuk dengan elegan ke dalam gerbong #standing applause

Tentukan strategi, mau beraksi seperti apa. Lalu, kumpulkan seluruh energi untuk mengupayakannya.

Bertahan, benar-benar bertahan 

Bila semua upaya sudah dilakukan, hal yang harus dilakukan untuk mengakhiri cerita dengan indah adalah sebisa mungkin bertahan. Bertahan yang sesungguhnya, ala RoKer adalah ketika badan tidak lagi melawan. Ketika sudah masuk ke dalam gerbong kereta, dan di dalam sangat penuh, untuk bertahan yang bisa dilakukan hanya lah mengikuti arus. Tanpa melawan, cukup ikuti gerakan yang mengarahkan badan bagai amoeba yang terombang ambing di air.

Pasrah bagai amoeba
Sumber: CNN Indonesia

Terkadang, bukan hanya berdiri berhimpitan. RoKer seringkali merasa tidak lagi menapak di bumi๐Ÿ˜‚. Iya, saking penuh keretanya, kita tidak lagi punya ruang untuk menapak. Badan melayang terbawa himpitan manusia lainnya. Kehilangan kontrol badan yang semakin kita melawan, semakin aneh jadinya. Sebaliknya, dengan fleksibel mengikuti arus, kita mengurangi resiko pergerakan yang mengganggu orang lain, dan malah bisa saving energi. Nggak usah ngoyo. Diam saja dan bertahan.

Tutup mata dan telinga menjadi kunci yang cukup jitu untuk bertahan di dalam gerbon KRL. Biarlah orang lain bicara apa, biarlah orang lain berbuat apa, yang penting kita selamat sampai di stasiun tujuan. Dalam beberapa kondisi ekstrim, menutup hidung juga sangat membantu. Bau-bau ajaib yang berseliweran tidak akan menyurutkan tekad kita untuk sampai di tujuan.

Pasrah dan fokus pada tujuan, biarkan yang lain berkata apa.

Penutup

Begitulah secuplik cerita seni bertahan ala Rombongan Kereta, semoga menginspirasi mamah!  
 


2/15/2025

Kebiasaan deh!

Sungguh saya tergelitik mendengar celetukan Kak Risna saat pengumuman topik Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang pertama. "Kebiasaan jadi deadliner tuh," celetuknya sambil tertawa. Mencoba mengelak tapi setelah ditelusuri lagi, memang, hal yang cukup konsisten saya lakukan hingga bisa dibilang itu kebiasaan saya adalah jadi deadliner di tantangan MGN (ketawa geli sambil malu sendiri).




Baiklah, mari kita zoom in kilas balik kebiasaan saya untuk bisa ikut tantangan MGN tanggal 20 di setiap bulan, paling tidak diprotret dalam hampir 12 bulan belakangan.

Merencanakan akhir yang Indah

Saya tahu, tercepot-cepot nulis dan submit tantangan di setiap bulan bukan lah pengalaman yang menyenangkan untuk diulangi lagi. Makanya, di awal bulan, terutama saat tema tantangan sudah diumumkan, saya selalu bertekad kuat langsung menulis saat itu juga. Biasanya ide langsung muncul ketika pertama kali membaca tema. Bahkan poin demi poin gagasan langsung mengalir deras. Saat itu, dimana dan kapanpun setting waktunya, rasanya seperti sedang menyambut pagi yang indah, matahari bersinar dan burung berkicau, menyongsong masa depan yang cerah.

Bangun rin, bangun. Selang beberapa menit setelah saya selesai membaca tema tantangan dan mencetuskan poin-poin kerangka tulisan di kepala, alarm berbunyi. Tergopoh-gopoh saya terbangun dari mimpi indah sedang duduk di pagi hari yang indah.

 "BUBUUUUUU," teriak anak wedok memanggil. Kakiku gatal, punggungku nggak enak, aku mimpi zombie, atau di hari-hari lainnya, ketika saya rasa semua sudah disiapkan untuk menghindari ini, anak wedok tetap bangun. "Bubu udah beliin aku makanan kucing?". Dengan berbagai alasan yang bisa dijadikan alasan, ibunya harus berhenti menatap handphone agar segera bisa menatap wajahnya. 

Semacam membandingkan pembukaan UUD 45 dan menjalani kehidupan sebagai warga negara di Indonesia, saya semakin paham bahwa cita-cita tidak selalu bisa, apalagi mudah, untuk terlaksana. Di awal kemerdekaan, cita-citanya adalah negara yang adil dan makmur. Ternyata setelah lebih dari 75 tahun berjalan, rasanya seperti semakin jauh dari rencana ya. Nah, tidak usahlah sibuk mengomentari para pengatur negara, karena mewujudkan cita-cita pribadi saja kalang kabut, Rin. Padahal bukan cita-cita yang setinggi-tinggi langit. Ini hanya rencana sederhana, ikut tantangan MGN dengan lebih bersahaja. 

Tidak perlu menunggu 75 tahun, 2-3 jam saja setelah saya selesai membaca tema tantangan, biasanya cita-cita setor tantangan MGN yang sudah saya harapkan di setiap bulan, buyar.

Tapi yang namanya hidup, harus optimis dan jalan terus. Rencana, tentu harus ada  cadangannya dong. Kalau gagal, kita ganti rencana. Kalau sebelumnya saya membaca tema tantangan di pagi hari saat bangun pagi, di bulan selanjutnya saya akan membaca tema tantangan di Bus, saat perjalanan ke kantor.

Memasuki bus, matahari kembali bersinar dan kicau burung menyambut saya masuk ke dunia harapan. Membuka web MGN, membaca, dan bersiap membuka blogger mobile. Sambil menunggu loading, tangan saya bergerak membuka channel kantor. Membalas 1 pesan, 2 pesan, 3 pesan, lalu disusul getar handphone menandakan pesan lainnya masuk. 4 pesan, 5, 6, 7. Sampailah saya di halte depan kantor, yang artinya sudah saatnya saya turun dari Bus. Ya, hari itu berakhir dengan laman blogger saya terbuka, tanpa ada tulisan apa-apa di dalamnya.

Menunda-nunda

Saya punya 18 hari setelahnya, tetapi selalu ada alasan untuk menunda. Ah masih ada besok. Besoknya, masih ada besok lagi. Ah, masih seminggu lagi. Tidak terasa, sudah tanggal 18, tandanya besok adalah hari terakhir untuk bisa duduk cantik, ikut tantangan dengan bersahaja tanpa harus dikejar-kerja detak jam.

Tanggal 19 datang, dan cerita di awal bulan tantangan berulang. Biasanya di hari ini, ceritanya lebih heboh lagi. Tiba-tiba dikirim kantor ke luar kota dan seharian heboh di lapangan, atau 1 dari dua anak sakit. Sebagai pelengkap heboh, bisa juga 2 anak kompak sakitnya. Hari damai untuk menulis tantangan akhirnya berganti menjadi hari heboh pergi ke dokter, atau maraton dakwah bertemu orang-orang di lapangan.

Dan hari itu datang

Tanggal 20, biasanya saya akan menjadi lebih galak dari biasanya. Kalau sudah begini, saya akan berangkat ke kantor pagi-pagi, dan fokus untuk tidak tergoda membuka channel kantor ketika duduk di bus. 

Ketak ketik ketak ketik.

Yang saya heran, hampir setiap saya merencanakan posting di bus, jalanan ke kantor tiba-tiba menjadi lancar. Waktu perjalanan berkurang sekitar 15-20 menit. Dan akhirnya, kurang 1-2 paragraf lagi, saya sudah harus turun dari bus. Nanti lanjut di kantor deh, begitu selalu pikiran saya.

Menuju lift saya terus merapal, untuk menancapkan ingatan harus posting. Semacam anak-anak yang didoktrin melalui kata-kata. Sayangnya, doktrin kata-kata hanya di dalam kepala saya saja. Orang-orang di kantor saya mana tau sedang ada apa. Jadilah begitu masuk melangkah ke dalam kantor, bertemu orang tak ada jedanya. Hingga tiba waktunya pulang. Hedeh, perasaan kalender kosong.

Kebiasaan lainnya adalah ketika tanggal 20 adalah jadwal saya kerja dari rumah. Rasanya ingin bersyukur, karena bisa ngumpet sejenak, tetapi memang tetap tidak boleh sombong. Setiap sombong dan optimis berlebihan, meskipun kerja dari rumah, selalu ada kejadian-kejadian aneh. Kebakaran dalam arti bukan sebenarnya selalu terjadi ketika saya merasa akan punya banyak waktu di hari itu untuk menikmati hari posting tantangan. Telepon tiada henti berdering, dan berakhir lebih heboh dibanding hari-hari dimana saya harus ke kantor. 

Dua skenario akhir cerita

Kalau sudah heboh tiada henti begitu, biasanya saya akan merasa bersalah, dan sore hari, ketika harusnya bisa posting, saya akan keluar dari gua tempat semedi bekerja dan bermain dengan anak. Berikutnya, saya akan mewanti-wanti anak untuk tidur lebih cepat karena masih ada yang harus bubu kerjakan di malam ini. Berikutnya, saya akan minum kopi dan makan tidak terlalu banyak agar tidak mengantuk.

Beberapa jam setelahnnya, semakin saya berharap anak saya cepat tidur, semakin mereka berdua sulit tidur. Hingga akhirnya saya menyerah dan ikut berbaring untuk memeluk mereka. Satu skenario adalah ketika saya bisa bangun pukul 23.00 atau paling tidak 23.00, lalu tercepot-cepot menulis tantangan. Atau skenario lainnya adalah saya bangun 00.02, dan meratap.

Penutup

Benar-benar catatan receh yang bisa saya tuliskan disini. Bukan untuk terus menjadi kebiasaan, tapi maksudnya untuk refleksi, evaluasi biar tidak terjadi lagi. Meskipun untuk posting kali ini, tetap belum bisa terealisasi ya perbaikan evaluasinya. hehehe