Tentu saja, cerita kali ini ditujukan untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Oktober 2024, berjudul Hari Tua. Ide tulisan kali ini lagi-lagi dari tempat kerja saya. Entah karena kerjaan saya se -absurd-menarik itu, atau karena saya sekudet itu, kerja melulu sampai-sampai tidak ada hal lain yang bisa diceritakan selain tentang pekerjaan. hahaha -ketawa miris sambil was was.
12 tahun berlalu, pekerjaan saya tidak jauh-jauh dari isu menjaga lingkungan. Bukan karena cinta almamater TL garis keras, tapi karena ya rejekinya disitu.hehehe. Merupakan pengalaman yang tidak biasa ketika 4 bulan ini saya tiba-tiba tercemplung ke dalam topik Jaminan Sosial. Jamkes, Jamket, JKP, JHT, je je je je terbata-bata saya mengingat semua singkatan itu karena selama ini berbicara jaminan sosial yang ada di kepala saya hanya jamsostek. Hahahaha. Sekarang jadi BPJS, dan ternyata di dalamnya ada segambreng program pemerintah. Sebetulnya, banyak sekali jaminan sosial yang digelontorkan pemerintah. Baru tau :)
Konferensi bikin tua?
Belum selesai mencerna je je je tadi, saya terseret dalam koordinasi persiapan Ageing Conference. Bloon total soal ini, saya berguman dalam hati, apakah saya salah dengar. Ageing conference? Konferensi penuaan? Apakah pemerintah juga menyediakan jaminan sosial skin care untuk menghilangkan flek ageing? Atau ini konferensi untuk kakek nenek berkumpul? Atau bisa juga, konferensi yang membuat pesertanya mendadak tua setelah keluar dari ruangan?
Ageing conference
Sumber: https://baliconventioncenter.com/
Sungguh malu dengan kekudetan saya, ternyata ageing, alias penuaan ini, menjadi isu global yang hangat. Fokusnya adalah untuk memikirkan bagaimana nasib negara-negara yang laju kelahirannya menurun, sehingga akan tiba masanya negara itu berisi orang-orang tua. Indonesia sendiri diprediksi akan diisi 25% populasi tua di tahun 2026.
Usia 60 atau lebih selama ini hanya dilihat sebagai kelompok dengan produktivitas yang menurun, dan butuh pertolongan dari orang lain. Intinya, menjadi beban bagi kelompok usia lainnya. Masih cukup jauh dari hari tua, tapi belum apa-apa saya sudah sedih memikirkannya.
Apakah menyerah dengan hari tua?
Sungguh konferensi ini adalah refleksi diri. Hari tua sudah pasti datangnya. Tapi ternyata ada cara-cara yang katanya bisa meningkatkan kualitas hari tua kita. Aktif berkomunitas adalah salah satu caranya. Konon katanya, orang tua bisa tetap produktif bila aktif berperan dalam komunitas. Bukan hanya mengikuti arus, tetapi komunitas tersebut berjalan dengan memikirkan kebutuhan elderly. Dengan memberikan ruang dan kesempatan, beberapa komunitas bahkan menjadi maju setelah dipimpin oleh anggota mereka yang sepuh. Wah!
Cara lainnya adalah dengan intergenerational sharing alias ngobrol, mah! Berkomunitas saja sudah baik, tapi kalau mau lebih ajaib lagi, banyak-banyak lah ngobrol dengan lintas generasi. Jadi ingat kembali film Live to 100: Secret of the Blue Zone yang saat itu direkomendasikan Mamah May. Ternyata bukan hanya di blue zone, mengobrol dengan anak-anak muda menjadi cara yang globally proven untuk meningkatkan kualitas hari tua.
Mengobrol lintas generasi untuk menolak tua
Sumber: https://faithachiaa.com/
Bukan hanya untuk mencegah pikun, ternyata ngobrol lintas generasi ini dianggap bisa membantu ketahanan terhadap perubahan iklim dan adaptasi teknologi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ngobrol menjadi sesuatu yang berfaedah bahkan didorong. Konon katanya, melalui obrolan ini, yang sepuh bisa menceritakan pengalaman bertahan di masa lalu dengan wisdom yang seringkali anak muda tidak ketahui. Sebaliknya, anak muda juga bisa berbagi cara-cara mereka untuk bertahan dalam kehidupan yang semakin menantang saat ini, terlebih dalam hal bagaimana mereka menggunakan teknologi. Inspirasi bisa didapat oleh kedua belah pihak. Menjadi refleksi bagi saya yang menuju tua, jangan malu mendengar dari anak-anak yang lebih muda.
Kembali ke realita
Lepas dari mengurusi seantero dunia yang sedang memikirkan hari tuanya, suatu hari saya duduk bersama teman kantor saya, menunggu kereta kembali ke Jakarta. Duduk sekitar 2,5 jam di foodstall stasiun KCIC karena salah perhitungan jam, dengan latar belakang matahari senja yang cerah. Entah terbawa suasana atau memang ya mencari topik obrolan saja, tiba-tiba teman saya bergumam tentang hari tuanya. Beliau sekitar 15 tahun lebih tua dari saya dan sudah berkeluarga. "Nanti saat tua diurus siapa" adalah isu yang berputar dalam benaknya.
"Kamu sih ada anak, Rin,"
"Yah ada anak juga nggak menjamin ada yang ngurus 24 jam," saya menimpali, teringat kembali bagaimana kedua orang tua saya melewatkan hari-hari terakhirnya.
"Iya sih," sepertinya kali ini gantian beliau yang teringat orang tua yang saat ini masih ada.
Obrolan lantas berlanjut ke senior living care alias "panti jompo" modern yang saat ini mulai muncul di Indonesia. Bukan panti yang sesungguhnya tapi lebih ke rumah full service. Saya sendiri belum terbayang seperti apa bentuknya, tapi memang kalau curi-curi intip dokumen pemerintah sih, konon katanya akan ada kota-kota pusat pertumbuhan, yang fokusnya menjadi retirement city. Kota pensiun, salah satunya Batam. Mungkin rumah full service tadi ada di kota semacam ini. Biayanya sekitar 12-15 juta rupiah per bulan.
"Semahal itu, udah pensiun gimana cara bayarnya coba, Rin?" terlihat raut wajah teman saya yang seperti memikirkan apakah harus mulai puasa setiap hari untuk berhemat hingga bisa menyisakan 15 juta per bulan hingga meninggal dunia.
Padahal pada level beliau, seharusnya ya enggak segitunya sih😂.
Memikirkan senja
Sumber: kompasiana.com
Obrolan makin hangat ketika mereka berhitung kebutuhan biaya untuk hidup hingga usia 65 tahun. Hidup saja mungkin tidak menjadi masalah. Tapi pertanyaannya, berapa yang dibutuhkan kalau tidak ingin mengurangi kualitas hidup setelah pensiun?
Mereka komat kamit sambil ketak ketik kalkulator. Es kelapa di mulut saya hampir tersembur, keselek, mendengar teman saya tiba-tiba berteriak dengan suara menggelegar, UMUR SUDAH SEGINI KEK MANA MAU NGUMPULIN EMPAT MILIAR BUAT HIDUP SAMPAI UMUR 65. MASA HARUS JADI ANI-ANI?!
Memikirkan diri sendiri
Senyam-senyum saya mengingat kembali obrolan dengan teman kantor. Tidak berapa lama sebelum itu, saya dan suami adu argumen cukup panjang, tentang bagaimana kami harus mulai menyiapkan hari tua. Tentang mau dimana, dengan siapa, dan tentunya berapa uangnya.
Pengetahuan minim saya menggiring ke pikiran sederhana. Intinya, tidak mau merepotkan anak-anak. Yang penting, kapan pun ingin mengunjungi mereka saya bisa melakukannya. Suami saya yang lebih futuristik sudah memikirkan banyak angan. Tinggal di desa dengan kolam ikan dan air mancur mengalir kricik kricik adalah salah satu tujuan hidupnya yang hakiki. Keinginan lainnya adalah bisa set up ruangan game dan menghabiskan waktu main game - sesuatu yang sangat mewah untuk dilakukan sekarang. Mengingat, baru 5 menit menghilang minum teh saja sudah ada yang teriak Babaaaaa... baba dimanaaaa??? 😂
Menutup dengan kembali lagi ke bumi
Perdebatan antara saya dan suami semakin memanas ketika memikirkan berapa banyak yang harus kami tabung hari ini untuk mempersiapkan kondisi pensiun yang kami harapkan. Kepala realistis saya penuh sanggahan seperti apakah di desa ada internet yang bagus untuk main game? apakah kita bisa rajin menyapu halaman dan membersihkan rumah karena sepertinya untuk menjadi orang desa idealnya harus rajin bekerja. Yang sudah pasti, hidup di desa akan minim bantuan seperti mamang gojek, eceu goclean, atau penyedia jasa lainnya. Sebaliknya, kepala pragmatis suami saya mengatakan, ya intinya harus menabung sebanyak-banyaknya agar tidak gelisah dan punya pilihan yang lebih luas. Harus merencanakan sebaik-baiknya agar tidak was-was dan zonk di akhir.
Pusing sekali memikirkan hari tua setelah pensiun ini. Padahal ketika mencoba membahas topik ini dengan kakak saya, dia cuma tanya:
"Orang tua kita meninggal umur berapa?"
"58 dan 60."
"Sudah pensiun?"
"Belum."
"Nah, ya udah."
-selesai-
6 komentar:
Hidup itu tiba-tiba jadi rumit banget kalau diukur dengan duit. Padahal faktanya banyak orang baik-baik saja dengan uang secukupnya di masa tua.
Betuuul sekali teh Shanty, setuju
Teh Ririn ... Kalimat endingnya makjeb ih ... Jadi ingat Bapa meninggal pada usia 58 tahun belum pensiun. Nah ... Mamah masih usia 48 tahun yang -ketempuhan- masih ada tanggungan anak-anak yang kuliah dan belum menikah. Saat itu yang menikah baru aku saja. Bersyukur ... Alhamdulillah semua bisa baik-baik saja, walau dengan perjuangan yang tidak mudah. Sekarang Mamahku usia 74 tahun, menikmati hidupnya dengan banyak bersyukur.
Kenapa aku tersenyum simpul dengan "masa harus jadi ani-ani!?!'...Emang bikin keselek sih kalau dihitung-hitung...
"Intinya, tidak mau merepotkan anak-anak. Yang penting, kapan pun ingin mengunjungi mereka saya bisa melakukannya."
Sepakaaatttt 👍
Haduhh, ku ngakak yang bagian ani-ani itu Mamah Ririn. Wkwkwk. Oiya, Ririn, definisi "ageing conference" yang ada di pikiran Ririn tuh memang ada beneran, Ririn. Di Amerika, para peneliti sedang berlomba-lomba untuk mengatasi permasalahan "aging" ini, dari masalah apperance hingga masalah kejiwaan dan kognitif (otak). Ada banyak Institute of Aging di sana. Luar biasa. Ehehe.
Posting Komentar