11/20/2024

Foto dua anak







Ini adalah foto saya dan kakak. Di balik dua anak ginok-ginok dalam foto ini, ada seorang Ibu yang menciptakan memori luar biasa, terutama untuk anak bungsunya.

Ibu tempatku mencari nyaman

Ingat sekali, menjelang akad nikah, saya termehek-mehek nangis sesenggukan, takut menikah. Takut tidak tahu apa yang akan terjadi setelau menikah. Takut berpindah dari tangan ayah dan ibu yang sudah terbukti keamanannya, ke tangan seorang laki-laki yang entah bagaimana lah nanti jadinya. Memeluk ibu, dan tidur beralaskan lengannya sebagai bantal, sesenggukan sampai tertidur menjelang akad nikah. Setelah menikah, rasanya tetap ingin memeluk ibu sesuka hati, tapi sulit sekali dengan posisi perut melentung hamil, apalagi setelah ada anak piyik yang saat itu baru lahir.

Garang di Bandung, tapi anak ketek begitu pulang ke Semarang. Iya, saya masih tidur mencari ketek Ibu meskipun sudah mahasiswa. Jangan ditanya ketika SMA, SMP, atau usia di bawahnya. Momen favorit adalah ketika Ibu sudah pulang dari mengajar di sekolah, dan saya bisa dusel dusel ketek Ibu tidur siang sampai puas. Ibu pun merasa ayem kalau bisa ngetekin anaknya, kalimat ini entah mengapa menjadi afirmasi positif, membuat saya merasa menjadi diri yang sangat berharga. 

Ibu (ternyata) pemersatu keluarga

Ada kata ternyata di dalam kurung, karena ini baru saya sadari setelah Ibu tiada. Anggota keluarga ini selain ibu adalah 1 orang bapak sumbu pendek, 1 orang anak yang tidak pernah bisa dimengerti orang tuanya, dan 1 orang anak dengan weton yang sama dengan bapaknya, jadi konon tak akan pernah akur dengan bapaknya. Ajaibnya keluarga ini bisa berjalan bersama dengan baik-baik saja. Ternyata kuncinya ada pada ibunya. Setelah ibu tidak ada, saya heran bukan main. Mengapa sulit sekali berkomunikasi dengan Bapak. Ternyata selama ini Ibu saya semacam pemimpin redaksi, memfilter semua narasi 2 arah. Sampai ke tangan pembaca sudah terstruktur, mudah dimengerti, dan tentu saja dalam kasus keluarga saya hasil edit pimred tidak sebombastis naskah aslinya. 

Selain karena kemampuan redaksionalnya yang memukau, saya masih berusaha mengingat-ingat apa yang dilakukan orang tua saya, terutama Ibu saya, sampai-sampai saya dan kakak sama sekali tidak tertarik untuk bermusuhan. Mungkin juga karena tidak ada harta warisan bombastis yang sering menjadi sumber perkara keluarga. Tapi sepertinya lebih dari itu. Saya cuma ingat ibu saya cerita, paska saya lahir, ibu berusaha untuk tetap memperhatikan kakak saya. Memastikan dia tidak kehilangan perhatian, meskipun sudah punya adik. Sampai-sampai kelewatan lupa memperhatikan saya, sehingga saya ngencut jempol dan gigi berantakan saking ibu tetap fokus ke kakak saya. 

Ibu memperlihatkan bagaimana wanita harus berdaya

Berdaya disini kalau ala-ala instagram salah satunya adalah menyediakan menu makanan bergizi. Terlepas dari minimnya pengetahuan saat itu, salah satu prestasi terbesar ibu saya adalah memiliki 2 anak yang berat badannya melejit naik pada garis Kartu Menuju Sehat (KMS-kartu posyandu). Bukan hanya selalu naik, tapi mentok kelewat batas atas, sampai-sampai harus ditulis manual karena grafik yang ada sudah tidak cukup lagi angkanya. Tentu saja bukan masakan ibu yang saya kangen, karena kami selalu makan masakan embak ART. Tapi yang tercatat di kepala saya adalah agenda Ibu tiap hari sabtu pergi ke pasar, membeli beragam ikan, daging, dan ayam. Sampai rumah mencuci semuanya dan menyiapkan dalam porsi-porsi sekali masak. Dipikir-pikir canggih juga, sudah mengenal meal prep sejak jaman dulu.

Sisanya, adalah jalan ninja. Sarapan indomi bakso sayur telur, kornet telur, atau nyemil sosis goreng kecap. Tentu saja tidak sehat, tapi entah mengapa tetap bikin kangen Ibu.

Ibu saya bekerja, sebagai guru SMA. Berangkat pulang menyetir mobil, hijet merah hadiah dari kakek saya, yang sudah ada sejak saya lahir. Pulang pergi di tengah terik matahari Kota Semarang, Ibu saya baru berani bermimpi membeli mobil ber-AC ketika semua anaknya sudah masuk jenjang kuliah. Itu pun mobil bekas yang dijual oleh kakaknya dengan harga super miring dan pinjaman lunak selunak-lunaknya. Perempuan menyetir mobil kala itu masih jarang di Semarang. Makanya Ibu terkenal diantara kenek-kenek bus jurusan Ngaliyan Boja, rute yang Ibu lewati setiap menuju sekolah tempat mengajar dari rumah.

Satu lagi "ternyata" yang baru saya sadari ketika Ibu sudah tidak ada. Saya pikir menjadi guru SMA hanya hobi saja untuk Ibu karena gajinya tidak seberapa. Belakangan setelah saya lulus kuliah Ibu seperti bisa menikmati hidup yang sesungguhnya, mau beli apa saja bisa. Tapi saya pikir, ya itu karena sejauh yang terpikirkan olehnya ya yang dipengenin itu-itu saja. Ternyata, setelah Ibu tidak ada, Bapak heran dan pusing bukan main. Selama ini semua bisa terbayar. Hitang hitung, otak atik, tetap saja mustahil cukup untuk membayar semuanya. Yang jelas Bapak dan kami anak-anaknya tidak pernah merasa tidak tercukupi kebutuhannya. Kami tetap jalan-jalan dan makan diluar, sesuai kemampuan. Nggak nelangsa ngirit-ngirit banget lah. Ternyata, tidak terasa kontribusi ibu besar sekali. Mungkin gaji yang tidak seberapa selama ini benar-benar tidak pernah dipakai untuk dirinya sendiri. Mungkin juga jadi cukup berkat tangan sakti ibu yang kemampuan mengelola finansialnya luar biasa. Entah yang benar yang mana, intinya kok bisa. 

Tidak berhenti disitu. Ibu saya, entah minum suplemen apa sampai-sampai besar sekali tenaganya, rajin sekali bikin ini itu. Bikin kolase foto, jadi tim heboh persiapan 17 agustusan di komplek rumah, jadi tim heboh pentas seni di sekolah, bikin slide power point untuk mengajar di sekolah dengan animasi dimana saat itu masih jarang sekali guru yang kepikiran mengajar dengan media digital, sampai menulis artikel di koran. Ckckckck. Saya cuma kerja dan ngurus anak sepulang kerja aja rasanya cuma pengen nggletak ketika ada kesempatan. Kok bisa.

Ibu, adalah benchmarking kanker usus

Ini khusus untuk saya pribadi. Bila kanker usus adalah prompt, chat GPT dalam kepala saya otomatis menghasilkan narasi adegan di Bulan Desember 2016-Januari 2017. Akhir tahun selalu bernada sendu kelabu untuk saya. Rentetan gejala, penyesalan lambat tindakan, rentetan tes, progress yang naik turun dan tidak jelas kabarnya, masih erat sekali rasanya. Apalagi akhir tahun cuaca selalu mendung-mendung kelabu. Film horor kembali berputar minggu lalu ketika ada rekan kantor yang istrinya wafat karena kanker usus. Mungkin semua orang aneh melihat saya, tiba-tiba sesenggukan tidak terkontrol. Duh, sudah lah

***


Lalu, ini adalah foto mini me. Ya, kedua anak saya. Dibalik dua anak yang semua lahir ginok-ginok tapi lalu menemukan bentuknya masing-masing ketika semakin membesar, ada seorang Ibu yang berharap dapat menghasilkan memori luar biasa juga.

Tidak ada Subjudul khusus yang bisa saya tuliskan untuk menceritakan ibu dari kedua anak yang ini. Memori yang berputar di kepala sejauh ini adalah up and down kehidupan, yang membuatnya sering kali ingin kembali ke wujud anak ketek saja. Mencoba berdaya dengan bekerja, tetapi rasanya kondisi sekarang jauh berbeda dari kondisi dulu. Rasanya ingin sekali memanggil Ibu untuk bertanya, bagaimana saya dan kakak begini dan begitu, ketika Ibu pergi bekerja. Mencoba berdaya dengan menyiapkan bahan makanan dan jadi ahli pengatur keuangan keluarga, tapi tetap saja rasanya ada banyak tanda tanya.  

Penuh syukur bisa terbangun pukul 23.15, sehingga masih bisa ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan November.


 










10/02/2024

Menua Sedunia

Tersenyum saya melihat topik tantangan bulan ini. Setelah 3 kali gagal dan menyisakan tumpukan draft terbengkalai yang semakin tinggi pada dashboard blog saya, marilah kali ini kita mulai sejak hari pertama tantangan. Kalau sampai gagal submit lagi, ampun deh Rin. 


Tentu saja, cerita kali ini ditujukan untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Oktober 2024, berjudul Hari Tua. Ide tulisan kali ini lagi-lagi dari tempat kerja saya. Entah karena kerjaan saya se -absurd-menarik itu, atau karena saya sekudet itu, kerja melulu sampai-sampai tidak ada hal lain yang bisa diceritakan selain tentang pekerjaan. hahaha -ketawa miris sambil was was.

12 tahun berlalu, pekerjaan saya tidak jauh-jauh dari isu menjaga lingkungan. Bukan karena cinta almamater TL garis keras, tapi karena ya rejekinya disitu.hehehe. Merupakan pengalaman yang tidak biasa ketika 4 bulan ini saya tiba-tiba tercemplung ke dalam topik Jaminan Sosial. Jamkes, Jamket, JKP, JHT, je je je je terbata-bata saya mengingat semua singkatan itu karena selama ini berbicara jaminan sosial yang ada di kepala saya hanya jamsostek. Hahahaha. Sekarang jadi BPJS, dan ternyata di dalamnya ada segambreng program pemerintah. Sebetulnya, banyak sekali jaminan sosial yang digelontorkan pemerintah. Baru tau :)

Konferensi bikin tua?

Belum selesai mencerna je je je tadi, saya terseret dalam koordinasi persiapan Ageing Conference. Bloon total soal ini, saya berguman dalam hati, apakah saya salah dengar. Ageing conference? Konferensi penuaan? Apakah pemerintah juga menyediakan jaminan sosial skin care untuk menghilangkan flek ageing? Atau ini konferensi untuk kakek nenek berkumpul? Atau bisa juga, konferensi yang membuat pesertanya mendadak tua setelah keluar dari ruangan?

Ageing conference
Sumber: https://baliconventioncenter.com/

Sungguh malu dengan kekudetan saya, ternyata ageing, alias penuaan ini, menjadi isu global yang hangat. Fokusnya adalah untuk memikirkan bagaimana nasib negara-negara yang laju kelahirannya menurun, sehingga akan tiba masanya negara itu berisi orang-orang tua. Indonesia sendiri diprediksi akan diisi 25% populasi tua di tahun 2026. 

Usia 60 atau lebih selama ini hanya dilihat sebagai kelompok dengan produktivitas yang menurun, dan butuh pertolongan dari orang lain. Intinya, menjadi beban bagi kelompok usia lainnya. Masih cukup jauh dari hari tua, tapi belum apa-apa saya sudah sedih memikirkannya. 

Apakah menyerah dengan hari tua?

Sungguh konferensi ini adalah refleksi diri. Hari tua sudah pasti datangnya. Tapi ternyata ada cara-cara yang katanya bisa meningkatkan kualitas hari tua kita. Aktif berkomunitas adalah salah satu caranya. Konon katanya, orang tua bisa tetap produktif bila aktif berperan dalam komunitas. Bukan hanya mengikuti arus, tetapi komunitas tersebut berjalan dengan memikirkan kebutuhan elderly. Dengan memberikan ruang dan kesempatan, beberapa komunitas bahkan menjadi maju setelah dipimpin oleh anggota mereka yang sepuh. Wah!

Cara lainnya adalah dengan intergenerational sharing alias ngobrol, mah! Berkomunitas saja sudah baik, tapi kalau mau lebih ajaib lagi, banyak-banyak lah ngobrol dengan lintas generasi. Jadi ingat kembali film Live to 100: Secret of the Blue Zone yang saat itu direkomendasikan Mamah May. Ternyata bukan hanya di blue zone, mengobrol dengan anak-anak muda menjadi cara yang globally proven untuk meningkatkan kualitas hari tua. 

Mengobrol lintas generasi untuk menolak tua
Sumber: https://faithachiaa.com/

Bukan hanya untuk mencegah pikun, ternyata ngobrol lintas generasi ini dianggap bisa membantu ketahanan terhadap perubahan iklim dan adaptasi teknologi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ngobrol menjadi sesuatu yang berfaedah bahkan didorong. Konon katanya, melalui obrolan ini, yang sepuh bisa menceritakan pengalaman bertahan di masa lalu dengan wisdom yang seringkali anak muda tidak ketahui. Sebaliknya, anak muda juga bisa berbagi cara-cara mereka untuk bertahan dalam kehidupan yang semakin menantang saat ini, terlebih dalam hal bagaimana mereka menggunakan teknologi. Inspirasi bisa didapat oleh kedua belah pihak. Menjadi refleksi bagi saya yang menuju tua, jangan malu mendengar dari anak-anak yang lebih muda.

Kembali ke realita

Lepas dari mengurusi seantero dunia yang sedang memikirkan hari tuanya, suatu hari saya duduk bersama teman kantor saya, menunggu kereta kembali ke Jakarta. Duduk sekitar 2,5 jam di foodstall stasiun KCIC karena salah perhitungan jam, dengan latar belakang matahari senja yang cerah. Entah terbawa suasana atau memang ya mencari topik obrolan saja, tiba-tiba teman saya bergumam tentang hari tuanya. Beliau sekitar 15 tahun lebih tua dari saya dan sudah berkeluarga. "Nanti saat tua diurus siapa" adalah isu yang berputar dalam benaknya. 

"Kamu sih ada anak, Rin," 

"Yah ada anak juga nggak menjamin ada yang ngurus 24 jam," saya menimpali, teringat kembali bagaimana kedua orang tua saya melewatkan hari-hari terakhirnya.

"Iya sih," sepertinya kali ini gantian beliau yang teringat orang tua yang saat ini masih ada.

Obrolan lantas berlanjut ke senior living care alias "panti jompo" modern yang saat ini mulai muncul di Indonesia. Bukan panti yang sesungguhnya tapi lebih ke rumah full service. Saya sendiri belum terbayang seperti apa bentuknya, tapi memang kalau curi-curi intip dokumen pemerintah sih, konon katanya akan ada kota-kota pusat pertumbuhan, yang fokusnya menjadi retirement city. Kota pensiun, salah satunya Batam. Mungkin rumah full service tadi ada di kota semacam ini. Biayanya sekitar 12-15 juta rupiah per bulan. 

"Semahal itu, udah pensiun gimana cara bayarnya coba, Rin?" terlihat raut wajah teman saya yang seperti memikirkan apakah harus mulai puasa setiap hari untuk berhemat hingga bisa menyisakan 15 juta per bulan hingga meninggal dunia. 

Padahal pada level beliau, seharusnya ya enggak segitunya sih😂.

Memikirkan senja
Sumber: kompasiana.com


Di kesempatan lainnya, saat break acara pelatihan, 2 teman saya membicarakan topik ini juga. Bagaimana mereka gelisah memikirkan hari tua. Yang satu lebih slow santai aja, mungkin karena masih sibuk memikirkan putra putri-nya, alih-alih sudah bisa konsentrasi memikirkan hari tua. Yang satu lagi, kebetulan belum berkeluarga. Mereka berdua membahas peluang hidup orang Indonesia yang saat ini rata-rata ada di usia maksimal 60-65 tahun. Saya cuma angguk-angguk khusyuk mendengarkan. Mereka berdua ini memang berkecimpung dengan isu sosial di pekerjaannya, jadi lumayan bisa dipercaya lah, pikir saya.

Obrolan makin hangat ketika mereka berhitung kebutuhan biaya untuk hidup hingga usia 65 tahun. Hidup saja mungkin tidak menjadi masalah. Tapi pertanyaannya, berapa yang dibutuhkan kalau tidak ingin mengurangi kualitas hidup setelah pensiun?

Mereka komat kamit sambil ketak ketik kalkulator. Es kelapa di mulut saya hampir tersembur, keselek, mendengar teman saya tiba-tiba berteriak dengan suara menggelegar, UMUR SUDAH SEGINI KEK MANA MAU NGUMPULIN EMPAT MILIAR BUAT HIDUP SAMPAI UMUR 65. MASA HARUS JADI ANI-ANI?!

Memikirkan diri sendiri

Senyam-senyum saya mengingat kembali obrolan dengan teman kantor. Tidak berapa lama sebelum itu, saya dan suami adu argumen cukup panjang, tentang bagaimana kami harus mulai menyiapkan hari tua. Tentang mau dimana, dengan siapa, dan tentunya berapa uangnya. 

Pengetahuan minim saya menggiring ke pikiran sederhana. Intinya, tidak mau merepotkan anak-anak. Yang penting, kapan pun ingin mengunjungi mereka saya bisa melakukannya. Suami saya yang lebih futuristik sudah memikirkan banyak angan. Tinggal di desa dengan kolam ikan dan air mancur mengalir kricik kricik adalah salah satu tujuan hidupnya yang hakiki. Keinginan lainnya adalah bisa set up ruangan game dan menghabiskan waktu main game - sesuatu yang sangat mewah untuk dilakukan sekarang. Mengingat, baru 5 menit menghilang minum teh saja sudah ada yang teriak Babaaaaa... baba dimanaaaa??? 😂

Menutup dengan kembali lagi ke bumi

Perdebatan antara saya dan suami semakin memanas ketika memikirkan berapa banyak yang harus kami tabung hari ini untuk mempersiapkan kondisi pensiun yang kami harapkan. Kepala realistis saya penuh sanggahan seperti apakah di desa ada internet yang bagus untuk main game? apakah kita bisa rajin menyapu halaman dan membersihkan rumah karena sepertinya untuk menjadi orang desa idealnya harus rajin bekerja. Yang sudah pasti, hidup di desa akan minim bantuan seperti mamang gojek, eceu goclean, atau penyedia jasa lainnya. Sebaliknya, kepala pragmatis suami saya mengatakan, ya intinya harus menabung sebanyak-banyaknya agar tidak gelisah dan punya pilihan yang lebih luas. Harus merencanakan sebaik-baiknya agar tidak was-was dan zonk di akhir. 

Pusing sekali memikirkan hari tua setelah pensiun ini. Padahal ketika mencoba membahas topik ini dengan kakak saya, dia cuma tanya: 

"Orang tua kita meninggal umur berapa?"
            
"58 dan 60."

"Sudah pensiun?"

"Belum."

"Nah, ya udah."

-selesai-

9/24/2024

Zero Waste, cerita dari sisi lainnya

Maju mundur memikirkan apakah akan ikut Zero Waste Blog Challenge adalah salah satu aktivitas penting saya sebulan ini. Memang sungguh kurang berfaedah, kenapa nggak langsung nulis aja, Rin😂. Mengetahui bahwa batas pengumpulan tantangan mundur, marilah kita bulatkan tekad untuk maju.. maju ikut tantangan maksudnya, hehehe. Kita coba dulu ya mah, semoga sukses.

Zero waste adalah istilah yang sering sekali berseliweran di kepala saya. Entah dari teks yang saya baca, dari mendengarkan orang lain berbicara, atau dari mulut saya yang sedang bekerja memberikan ceramah saran. Saking seringnya lewat, sampai terkadang saya bingung sendiri zero waste iki opo tho yo jane- zero waste itu apa sih sebetulnya ?


Ketika kantor ikut mengatur

Masih terseok-seok belajar dan gagap mendengar kata zero waste, apalagi untuk menerapkannya di rumah, sekitar 9 tahun yang lalu, tempat saya bekerja sudah mulai menerapkan aturan pengurangan penggunaan kemasan plastik. Salah satu cara yang paling didorong adalah dengan melarang penggunaan air mineral dalam kemasan botol plastik sekali pakai saat kami mengadakan acara.

Kantor saya biasa mengadakan acara di berbagai tempat, mayoritas dengan menyewa ruang pertemuan di hotel, atau meminjam ruang pertemuan di kantor-kantor pemerintahan. Saat itu, isu pengurangan sampah belum sehangat sekarang. Beberapa hotel dengan jaringan internasional sudah melek dengan isu ini, jadi ketika kami meminta penyajian air minum dengan gelas dan teko atau dispenser, meskipun belum terbiasa, mereka bisa memenuhi permintaan kami. Beda cerita dan sungguh jadi tantangan ketika harus menyelenggarakan acara di hotel minim bintang atau hotel di luar Jakarta. Saat itu, permintaan kami biasanya ditanggapi dengan tatapan tercengang.

Ketika kami bilang tidak boleh pakai air mineral dalam kemasan sekali pakai

sumber: MakeAMeme.org

Tatapan ini bisa berakhir dengan beberapa skenario. Pertama, JJP alias Janji Janji Palsu. Di depan bilang iya, di belakang botol plastik masih muncul juga dalam acara. Kedua, JJBB alias Janji Janji tapi Bisanya Begini. Gelas-gelas dan teko yang jarang dipakai muncul di permukaan. Dispenser yang entah diambil dari mana terpasang di ruang pertemuan. Kalau sudah begini, bersiap untuk puasa minum karena setelah melewati peralatan-peralatan jarang dipakai ini, air minum biasanya beraroma agak aneh. Atau pilihan lainnya ya tetap minum, dengan memanfaatkan previllage sebagai bangsa Indonesia: kebal makan minum tidak higienis😂. 

Skenario ketiga yang berakhir bahagia. Hotel dapat menyajikan dengan baik permintaan kami, entah hasil meminjam gelas hotel lain atau mungkin dari rumah salah satu pegawainya, kami tutup mata. Yang jelas, hotel-hotel dengan hasil yang ketiga ini akan masuk daftar hotel recommended untuk didatangi lagi.

Zero waste dari hati

Masih dalam rangka mengikuti peraturan dari kantor, tantangan makin meningkat ketika lokasi acara bukan di hotel. Melainkan di kantor pemerintahan. Untuk beberapa instansi yang terdepan dalam prestasi, isu minim sampah ini sudah mulai terinternalisasi. Meskipun masih on off, paling tidak mereka sudah siap dengan segala umbo rampe perlengkapannya. Gawatnya, banyak juga lembaga yang berprinsip hidup yang biasa-biasa, low profile saja. Nah, kalau sudah begini, berarti siap-siap dakwah zero waste harus benar-benar keluar dari hati. 

Bukan hanya "menasehati" tetapi biasanya kerja dengan hati itu artinya saya ikut terjun mengerjakan bersama. Kejadian paling epic adalah ketika tiba-tiba saya jadi tukang inventori di suatu kantor pemerintahan. Bukan, bukan karena saya ahli pendataan dokumen atau semacamnya. Saya mendadak bikin daftar inventori untuk memuluskan kebijakan kantor saya, mengadakan pertemuan minim sampah. Iya, saya mendadak sibuk ikut menghitung jumlah gelas, piring saji, dan teko yang ada di kantor itu.  Masih mending kalau gelas piringnya sudah ditumpuk dan tinggal dihitung saja. Yang ini harus buka-buka lemari. Mana bukan di kantor sendiri, saya kodok-kodok sudut berdebu, dan tiap menemukan piring atau gelas rasanya seperti emas. 

Yah, kalau kata para ahli mah, ini semacam pemetaan kondisi eksisting untuk mengetahui kapital atau modal sebelum menerapkan skenario kebijakan, agar rekomendasi kebijakannya applicable.😂   

Kreativitas yang Teruji

Senang sekali ketika akhirnya isu pengurangan sampah ini menjadi hangat dibicarakan. Tidak ada lagi tatapan are you crazy ketika memberikan saran untuk menghindari kemasan botol plastik sekali pakai. Lebih dari itu, mengadakan pertemuan, terutama yang berlokasi di gedung pemerintahan, sempat menjadi hal yang saya tunggu-tunggu. Bukan selain karena konten-nya, saya menunggu-nunggu sajian apa yang mereka hidangkan. 

Ubi, singkong, dan jagung rebus tersaji di atas piring rotan beralas daun pisang. Mereka naik pangkat jadi hidangan mewah di atas meja pertemuan. Di hari lainnya muncul buah potong yang tersaji di dalam mangkok keramik cantik. Aneka kue jajan pasar, dihidangkan dengan manis dalam piring-piring kecil. Lebih hebatnya lagi, mereka menggunakan alternatif pembungkus daun untuk beberapa kue yang biasanya saya lihat terbalut plastik. Selama ini saya hanya tahu daun pisang yang bisa digunakan untuk kemasan berbagai kue. Ternyata ada banyak daun lainnya yang bisa digunakan. Daun kelapa dan daun kunyit salah satunya. Tidak hanya cantik tetapi aroma kue jadi haruuuum.
Dengan asumsi sampah organik lebih mudah terurai dari sampah plastik, boleh lah upaya-upaya ini kita acungi jempol👍    

Beyond expected result

Ternyata kreativitas yang muncul akibat semangat zero waste belum berhenti pada isian piring saji. Ide lainnya muncul saat saya berkesempatan mengunjungi lokasi pilot di luar Jakarta, yang kegiatan utamanya adalah meningkatkan kesadaran anak-anak usia sekolah terkait isu kelestarian lingkungan. 

Bekerjasama dengan pemerintah daerah dan pengelola sekolah, tadinya saya hanya berekspektasi menjumpai deretan piring dan botol minum yang disediakan oleh sekolah, atau dibawa dari rumah oleh para siswa. Untuk makan siang, biar tidak banyak sampah kardus, mungkin caranya akan seperti sistem makan siang di pabrik, atau di penjara ala film Peddington 2. Maksudnya, yang mau makan antri membawa piring, dan makanan disendokkan ke piring oleh petugas. Rasanya langsung kurang selera makan membayangkan kondisi ini. Memang kadang perkara mengurangi sampah ini jadinya tarik ulur dengan hygiene. Tapi demi perintah kantor zero waste, ya sudahlah mau bagaimana lagi. 

Saat yang dinantikan tiba, apalagi kalau bukan waktu istirahat makan siang. Bersiap antri sambil membawa nampan, saya terbelalak melihat tumpukan nasi kotak yang disajikan oleh pihak sekolah. Tidak kotak sempurna, karena wadahnya terbuat dari besek. Isinya nasi, pepes telur asin dengan lembaran daun kemangi, nasi liwet, ayam goreng kampung, sambal, serta potongan lalap dan buah. Semua tertata dalam besek beralas daun pisang. Bukan hanya layak, tetapi memikat.

Lebih hebohnya lagi, besek-besek ini dikumpulkan setelah makan, dicuci, dan dijemur di terik matahari sampai kering kerontang. Jadilah seperti besek baru, bisa digunakan lagi dalam acara di hari lainnya. Kalau sudah begini rasanya acara peningkatan kesadaran ini mencapai ultimate outcome-nya. Penduduk sekolah belajar menjaga lingkungan bukan hanya dari teori-teori di tayangan power point, tetapi juga praktek langsung. 

Salah kaprah

Masalahnya, kisah zero waste tidak selalu berakhir bahagia seperti kebanyakan cerita dongeng. Seperti yang banyak terjadi di Indonesia, terkadang kita latah mengikuti trend tanpa tahu apa maksud dan tujuannya. Bukan hanya untuk yang viral, tetapi mengikuti regulasi juga ternyata bisa salah kaprah bila tidak paham betul apa maksudnya. 

Masih di kota yang sama tetapi dalam kesempatan yang berbeda, kami berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk menyelenggarakan pertemuan, yang seperti biasa harus minim sampah. 

Hari pertemuan tiba, kotak kertas berisi cemilan terhidang, dengan satu kotak teh kemasan UHT di sampingnya. Dibagikan ke setiap orang di dalam ruang pertemuan, saya pikir minuman manis ini terhitung sebagai cemilan. Berniat melihat ada kue menarik apa hari itu, saya membuka kotak kue, dan mendapati satu lagi minuman teh dengan kemasan UHT di dalamnya. Tiba waktu makan siang, tak sabar lagi saya menghampiri rekan saya yang menangani langsung perkara makanan-minuman ini.

Teman saya yang nyengir kuda melihat saya datang dengan alis naik sebelah, langsung sigap menyodorkan kota nasi untuk makan siang sambil memberikan klarifikasi. 

    "Mbak, mereka nggak ada dispenser yang bisa dibawa ke ruangan ini. Kita kan tidak mau pakai botol plastik, jadi mereka ganti dengan minuman kemasan UHT".
    
    "Lalu, karena khawatir kurang, mereka beli 3 kotak untuk masing-masing orang".

Saya lantas membuka kotak nasi, dan mendapati 1 lagi kemasan UHT. Kali ini minuman sari bau buah #tepok jidat.   

Menelan ludah karena tahu betul belum ada pengolahan kemasan multi-layer UHT di Indonesia. Sementara, yang namanya pabrik plastik daur ulang itu bisa ditemukan dimana-mana. Yang lebih gawat, zero waste yang diterapkan dengan salah kaprah ternyata bisa berasosiasi dengan meningkatnya resiko diabetes di Indonesia😂. 

Bisa karena terbiasa

Berawal dari tuntutan pekerjaan, lama-lama menjadi beban moril sendiri. Walk the talk, begitu kata teman kantor saya yang suaranya menggema di kepala setiap saya sibuk nyeramahin orang tentang pengelolaan sampah, tetapi ingat di rumah sendiri juga masih acak adut. Botol minum dan tas belanja menjadi barang wajib di tas saya. Kalau tidak ada dua barang ini rasanya seperti kurang lengkap saja. 
Tumbler dan tas belanja, penenang hati di saat pergi

Motifnya sederhana. Kalau haus, dimanapun tinggal buka botol dan minum. Kalau belanja, tidak repot bawa barang belanjaan karena mayoritas toko/supermarket di Jabodetabek saat ini tidak lagi menyediakan kantong belanja sekali pakai. Motif lainnya tentu saja kesukaan mamah-mamah, yaitu masalah ekonomis. Daripada beli air mineral, lebih baik bawa air dari rumah. Daripada beli paper bag atau tas belanja spunbond, lebih baik bawa tas belanja sendiri.     

Penutup

Zero waste bisa hadir dalam berbagai sudut pandang. Ada yang terlihat melalui aksi-aksi nyata dengan dampak langsung mengurangi sampah, ada pula yang terbalut dalam upaya tidak langsung mengurangi sampah. Semoga cerita yang saya bagikan kali ini cukup menghibur dan mendorong kita untuk mendukung zero waste.

6/20/2024

30 Menit Tantangan Perempuan

Meskipun tidak mudah, rasanya sayang sekali untuk melewatkan setor Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni ini. Berbicara tantangan perempuan rasanya langsung ingin menumpahkan isi kepala yang mungkin kalau ditarik keluar jadi benang-benang sepeti Dumbledore di Harry Potter tidak lagi cukup untuk ditampung dalam satu cawan. Bisa jadi satu ember, atau satu toren, atau mungkin berkubik-kubik tangki truk air yang bisa melayani ratusan rumah tangga. Sebelum saya meracau lebih lanjut, mari kita ingat bahwa batas pengumpulan tantangan adalah 30 menit lagi dan saya baru saja mulai menulis. hahaha. 




Peliknya tantangan yang harus dihadapi oleh seorang wanita mungkin bisa digambarkan dari isi kepalanya. Mengambil sample acak kehidupan seorang wanita, beginilah isi kepala saya dalam 30 menit di tengah malam ini:

Dinas keluar kota tidak sesederhana kelihatannya

Rasanya paling deg-degan kalau sudah mulai ada pembicaraan traveling staff di kantor. Saya yang jadi si paling berkelit untuk travel ini akhirnya tidak bisa berkelit lagi dan harus pergi ke Bandung 2 hari ini. Hanya ke Bandung, dan sama sekali tidak sulit, seharusnya. Tetapi kenyataannya memang tidak selalu mudah. Jadwal traveling yang hanya 2 hari dengan jarak dekat ini bertepatan dengan jadwal libur ART di rumah. Intinya tidak mungkin saya meninggalkan anak-anak tanpa ada yang bisa menjaga. Jadilah saya membawa mereka semua ikut serta. Kehebohan lainnya menyusul memenuhi kepala mamak ketika ternyata jadwal traveling bersamaan dengan jadwal foto raport anak sulung dan ada acara perpisahan kelas pula di esok harinya. Alamak!   

Anak kecil mendadak sakit

Memang mamak tidak boleh sombong. Setelah 3 minggu anak-anak sehat, saya sesumbar berpikir mereka sudah membesar dan imunitasnya menguat. Malam sebelum kami pergi ke Bandung anak bungsu tiba-tiba sumeng. Dilanjutkan dengan demam yang semakin tinggi seharian tadi, dan berakhir malam ini saya begadang bangun 15 menit sekali untuk cek suhu. Sudah lewat 39 derajat celcius dan mamak harus siaga memikirkan harus bagaimana bila terjadi apa-apa. Dengan riwayat anak kejang, sudah pasti mana bisa tidur nyenyak.   

Besok anak kecil makan apa

Saya cukup beruntung pergi dinas ke kota tempat kakak saya tinggal. Bisa menitipkan anak, seperti daycare plus plus plus. Lengkap dengan teman bermain sepupu-sepupu dan hiburan yang  saya tidak perlu pusing lagi. Makanan juga bukan masalah besar. Tetapi jadi heboh karena anak bungsu tipe anak rumahan yang harus makan teratur dengan menu lengkap. Jadilah isi kepala saya tentunya bolak balik cek ke kakak saya di kulkas dia ada apa saja isinya.hahahahaha  

Ingetin pak suami

Ada wanita dibalik kesuksesan suami. Kalimat ini mungkin kalau didetailkan jadinya: ada wanita ceriwis yang sibuk mengingatkan suami harus melakukan apa saja atau menyiapkan segala keperluannya. Sudah disiapkan pun masih harus diingatkan, jangan lupa dibawa.

Minggu depan harus terima arisan komplek

Waduh, udah seminggu lagi, belum mikir mau nyuguhin apa.

Kebun berantakan banget

Duh, belum dapat tukang kebun yang bisa datang rutin. Angan-angan membersihkan sendiri tapi kok tidak kesampaian.

Haduh belum baca materi buat meeting besok

Ohiyaaa.. ke bandung kan dinas kantor. Malah kelupaan nyiapin materi buat besok. haduh baju meeting kusut ketimpa baju anak-anak. Jepit rambut ditaruh dimana ya tadi habis dimainin si adek? haduh lupa baju renang belum dikucek, sikat gigi adek enggak kebawa lagi. Ikan cupang di rumah udah dikasih makan atau belum ya? Besok nganter anak-anak ke rumah kakak habis itu masih keburu sarapan dulu nggak ya?  #makin kecampur-campur 

Tidaaaak belum bikin tantangan EmGe EEEnnnnnn😂



Penutup

Mamah dan segala kepelikan dalam kehidupannya tentunya menghadirkan inspirasi masing-masing. Seperti mengikuti tantangan di malam ini, rasanya seperti secuplik contoh bagaimana saya selalu ingin menyerah di setiap menghadapi kepusingan hidup, tetapi ketagihan juga untuk terus memaksa diri melewatinya. Karena setelah lewat, rasanya menyenangkan sekali. Bangga.

Untuk terus bisa melewati tantangan yang bertubi-tubi, saya mulai menuliskan satu persatu isi kepala saya. Selain itu, meminta bantuan adalah hal yang wajib dilakukan bila mulai kewalahan. 

 


 
 

5/20/2024

Membandingkan Manusia: 1 dari 1000 cerita di kepala saya

Suka deh saya dengan teman bulan ini. Perbandingan. Banyak sekali yang bisa dibandingkan, dan kebanyakan manusia memang hobinya membanding-bandingkan. Terutama saya. Sering kali perlu introspeksi, jangan terlalu sibuk membandingkan karena jadi pusing sendiri,hahaha. Khusus untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei bertema Perbandingan (Versus)Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei bertema Perbandingan (Versus), terima kasih sudah memfasilitasi hobi saya untuk membanding-bandingkan.



Kali ini saya ingin cerita isi kepala saya tentang perbedaan manusia dalam memaknai kehidupan #sungguh berat.hahaha. Di antara sekian banyak aspek kehidupan yang bisa dipandang dengan sangat berbeda oleh setiap orang, kali ini saya ingin membahas sudut pandang terhadap pernikahan, hamil, dan punya anak. Sangat terkait dengan Mamah lah pokoknya.

Perbedaan Pandangan terhadap Anak

Banyak anak, siapa takut 
sumber foto: nalarpolotik.com


Setelah 3 bulan harus mengurus rumah dengan kondisi hamil, mengasuh 1 balita, dan tetap bekerja karena pandemi, akhirnya saya memutuskan untuk mencari 1 orang asisten.

"Ibu, hamil anak kedua ini betul-betul mau hamil? Apa nggak sengaja?," begitu pertanyaan pertama dari ibu asisten yang baru kerja 2 hari di rumah saya. 

Saya heran bukan main dengan pertanyaan ini. Kalau anak pertama, dan tidak ada suaminya, mungkin lah dia curiga saya tekdung sebelum menikah. Tapi ini anak kedua dan suami saya pulang ke rumah setiap hari setelah bekerja, bisa dilihat ada loh bapaknya.

Selang beberapa hari ibu ini bekerja di rumah, saya baru tahu, kalau beliau ini punya 6 orang anak. Agak kaget juga, karena usianya baru akan mendekati 40 saat itu. Tidak bisa KB katanya. 

"Kenapa?," tanya saya penasaran. 

"Katanya bahaya buat badan kita bu. Bikin badan sakit sekali. Ibu juga jangan ya bu, ngeri". 

"Loh, kata siapa yang bilang gitu?," sungguh saya merasa kurang sopan. Ingin tahu dapur orang lain yang baru kenal seminggu. Tapi saya benar-benar ingin tahu, dan prihatin.

Punya anak dalam persepsi saya bukan perkara main-main. Memang betul anak datang dengan rejeki masing-masing. Tapi sebelum berserah diri kita juga harus berupaya, kan? Memikirkan bagaimana saya akan memelihara anak adalah salah satu upaya yang bisa saya lakukan. Memastikan titipan Tuhan ini saya jaga dengan sebaik-baiknya, paling tidak ada dalam batas kemampuan saya. Perkara betul kejadian atau di luar rencana, barulah pasrah saja sambil terus berdoa.

Untuk saya, anak adalah subyek dan bukan obyek. Anak adalah variabel bebas yang mengikat variabel lainnya, bukan sebaliknya. Menggunakan kontrol kelahiran atau tidak menurut saya berangkat dari keputusan merencanakan berapa jumlah anak, lalu sisanya lah yang mengikuti. Termasuk rasa sakit yang "katanya" harus ditanggung oleh bapak dan ibunya. Minum aspirin atau paracetamol tiap hari, bisa lah diatur nanti.

Makin prihatin saya ketika mendengar cerita, bahwa dari keenam anaknya itu 1 anak hampir buta dan bolak balik harus operasi mata, dan belakangan 1 anak terdiagnosa penyakit darah akut. Kalau sudah nasib memang betul tidak pernah ada yang tahu. Tapi saya bertanya-tanya, dengan sumber daya yang sama, kalau saja jumlahnya lebih sedkit, mungkin kualitas yang diberikan bisa bertambah.

Masa Kehamilan yang Berbeda

Awal dari perjalanan panjang yang berarti
sumber foto:momfuse.com

Karena berencana punya anak dengan kesadaran yang sepenuhnya, saya sadar pula akan melewati tahapan hamil. Untuk saya, fase kehamilan ini betul-betul harus dijaga, dan tentunya jadi variabel pengikat, sama dengan anak. 

Makanan yang saya makan, saya suka atau tidak suka, diatur oleh kebutuhan kehamilan saya. Tidak jajan dan irit pooool, semua diatur demi bisa menjamin biaya lahiran di tempat terbaik yang bisa diusahakan. Makan setiap hari dengan tempe goreng dan telur ceplok sampai wajah mirip teflon anti lengket, kami terima saja. Pakai masker double medis dan KN95 yang super engap padahal harus ngengkol mesin di pabrik yang panas pool juga dijalani oleh suami saya yang tidak bisa wfh saat pandemi, demi mengusahakan tidak bawa virus covid untuk calon anak kami. 

Yah begitulah, kehamilan anak kedua, dan kehidupan anak pertama yang utama. Sisanya bisa lah diatur nanti.

Nilai terhadap sesuatu, seringkali diturunkan oleh orang tua. Saya terngiang-ngiang oleh kata-kata Ibu saya yang selalu pamer, saya dilahirkan di Rumah Sakit Ibu dan Anak terbaik di Semarang, meskipun kala itu gaji bapak dan ibu pas-pasan. 

Belum selesai cerita ibu asisten saya. Anak keduanya sudah menikah dan punya 1 anak. Berkebutuhan khusus, tidak bisa mendengar. Selang beberapa bulan bekerja, beliau menemui saya sambil menahan tangis. Menceritakan bahwa anak keduanya hamil lagi. Saya bingung harus bereaksi apa, bukannya kehamilan harusnya disambut dengan bahagia?

"Hamil lagi bu. Saya sudah nggak ngerti lagi mau gimana. Kebobolan. Wong yang pertama saja sudah pontang panting biayanya bu". Ternyata, cucu pertama dari anak kedua ini butuh terapi, bukan hanya untuk bantuan pendengaran dan berbicara, tetapi juga terapi berjalan karena ada kekurangan di bagian fisik lainnya, kaki dan syarafnya.

Saya tidak bisa berkata apa-apa selain menenangkan, tentunya dengan kata-kata anak datang dengan rejeki masing-masing.

Di bulan ke 9 kehamilan, ayah calon bayi menerima THR dari tempatnya bekerja, dan mereka memutuskan untuk membeli motor baru. DP terbayar, dan tinggal memulai cicilannya. Sempat terbesit rasa heran. Tapi mencoba memahami, bahwa tidak semua orang mempersiapkan lahiran perlu sengoyo saya. Mungkin yang ini sudah hitung biaya lahiran, dan uangnya masih kelebihan jadi bisa beli motor.

Tibalah waktu melahirkan. Sang Ibu yang selama hamil hanya bisa makan cuangki, dan bolak balik demam, mengalami komplikasi. Harus dirawat intensif di rumah sakit karena tidak sadar setelah melahirkan. Bayinya, dipulangkan dengan kondisi ibu masih di rumah sakit. Bapak dan kakeknya pontang panting mengurus anak pertama dan bayi baru lahir ini, dengan neneknya menunggui ibunya di rumah sakit. Bukan hanya lelah fisik, tapi tentu saja diikuti dengan tagihan rumah sakit yang membludak. Dan sayangnya, ayah sang anak tidak punya sepeser pun uang untuk bayar rumah sakit.

Cerita ini berlanjut dengan bayi yang bolak balik demam, tapi seluruh keluarga merasa baik dan sehat-sehat saja. Sedih sekali rasanya ketika mendengar bayi ini hanya berumur 6 bulan saja.

Membandingkan Makna Menikah
Sah!
Sumber foto: siakapkeli.my

Menikah untuk saya adalah perkara besar. Ibu asisten yang saya cuplik ceritanya pada paragraf-paragraf di atas menegaskan pendidikan kepada anak-anaknya. Semua harus lulus tingkat SMK. Setelah lulus mau apa, silahkan ditentukan sendiri. Dari 6 anak, baru 2 orang anak yang menikah. Padahal ada 4 yang sudah usia dewasa. 

Agak berbeda, asisten saya yang lain lebih memandang pernikahan bagaikan solusi jitu untuk segala macam masalah kehidupan.

5 hari lagi libur lebaran usai. Sebuah pesan pendek muncul di handphone saya. "Bu, saya harus mundur pulangnya ke rumah Ibu. Anak saya mau nikah minggu depan". Kok tiba-tiba nikah? Tanya saya heran. 

Heran sekali, karena saya sendiri berpikir untuk menikah sekitar H-1 tahun sebelum pernikahan itu terjadi. Bahkan malam akad nikah, saya memeluk erat Ibu saya, menangis, masih berfikir apa kita batalkan saja pernikahan ini, saking takutnya.

Ya, takut menghadapi apa yang akan terjadi. Takut menerima tanggung jawab, takut tidak bisa lagi bergantung kepada orang tua untuk semua masalah hidup, takut ini dan takut itu. Takut sekali.

"Memang kenapa bu kok tiba-tiba nikah?"

"Iya, waktu saya pulang, anak yang kecil cerita sering ada teman laki-laki kakaknya main ke rumah. Saya takut bu. Yasudah langsung saja saya panggil anak laki-laki itu, terus saya suruh nikah sekalian. Sepakat nikahnya minggu depan, bu"

Untung Ibu saya dulu punya pandangan yang berbeda. Kalau sama, bisa-bisa saya nikah di usia SMP. Wong teman laki-laki bolak balik datang ke rumah. Bukannya dinikahkan, tapi malah didukung. Orang tua lebih tenang, anaknya ngobrol di teras rumah. Meskipun air es dan sirup di kulkas jadi lebih cepat habis, paling tidak mereka bisa intip-intip anaknya sedang apa dengan teman laki-lakinya.

Yang mendadak dinikahkan tadi adalah anak kedua dari empat bersaudara. Adiknya, perempuan juga, baru kelas 1 SMA, mogok sekolah. Ingin menikah saja, begitu katanya. Yang bontot masih SMP, sebisa mungkin saya bantu biar tidak putus sekolah. Syaratnya satu, sekolah yang betul, jangan kebelet nikah dulu. Selepas menikah, anak kedua yang langsung hamil. Sang Ibu berhenti bekerja membantu mengurus cucu pertamanya.

Ketika akan kembali bekerja, saya tanya untuk meminimalkan drama, "ada rencana mau nikahkan anak dalam waktu dekat nggak? Jangan mendadak lagi ya"

"Nggak ada bu, paling tahun depan, nikahkan yang kedua, baru lamaran bulan lalu"

Persis seminggu kemudian.

"Bu, haduh saya minta ijin bu, mau ke bogor. Anak saya yang pertama, yang laki-laki, mau nikah besok."

Sekian menit saya bengong. Nikah? Kapan nikahnya? Hah gimana tadi? Besok? Siapa yang nikah? Kucing?? Kucing saja mau kawin ngeong-ngeong persiapannya seminggu. Ini bicara nikah hari sabtu, untuk acara nikah minggu pagi. Kepala saya, sama sekali tidak bisa memproses informasi yang baru saya dengar. 

Hari minggu tiba, ibu asisten ijin pergi dan kembali dengan wajah datar biasa saja.

"Ternyata sudah isi duluan bu. Sudah 7 bulan. Duh, saya merasa masih bersyukur. Ternyata saya susah, masih ada lagi yang lebih susah. Anak saya 27 tahun. Cewenya ini masih 19 tahun. Tinggal dengan orang tuanya yang serumah dengan kakek neneknya. Enam bersaudara, paling kecil masih 6 bulan. Rumah saya jelek, tapi yang tadi lebih prihatin bu."

Sama sekali seperti tidak ada apa-apa yang tidak seharusnya.

"Saya udah pesenin nanti harus ngontrak sendiri jangan ikut rumah orang tua. Kepenuhan. 2 bulan lagi melahirkan bu," ibu asisten saya berkata ringan, bisa dikatakan riang, menyambut calon cucu kedua yang sebentar lagi lahir.
                                                        

Dan saya pun bingung harus berkomentar apa.



Penutup

Lagi-lagi, semua perbandingan selalu tergantung sudut pandang. Cerita disini hanya potret dari secuil halaman yang saya lihat. Tentunya bisa saja jadi tidak benar kalau melihat keseluruhan album fotonya. Tapi ya beginilah manusia, ada-ada saja pikirannya, ada yang lucu, banyak yang bikin melongo.























4/20/2024

Berbagai Kostum Penjaga Bumi

Menjaga Bumi ala Mamahzilla

"Pak, tolong matikan. Saya sudah bilang berapa kali ke Bapak. Kenapa Bapak masih saja mengulangi. Di rumah saya ada 2 orang punya asma. Tetangga sebelah saya kanker stadium 4 dan punya masalah pernafasan". 

"Bapak kalau tidak bisa diajak bicara baik-baik, sudah saya menyerah, Pak. Biar Tuhan saja yang membalas perbuatan Bapak".

Kejadian pagi itu sungguh membuat saya ingin pergi kontrol ke dokter jantung. Nafas saya tersengal-sengal, sesak nafas, dan keringat dingin. Berjalan bolak balik menggotong ember besar penuh berisi air dengan air mata bercucuran dan mulut mengiba meluncurkan kata-kata drama. Menyiramkan air ke tumpukan sampah yang terbakar api berkobar-kobar di balik tembok pembatas komplek, tepat di samping rumah saya. 

Asap pekat membumbung tinggi. Api padam meninggalkan bara yang malah semakin memperparah kepulan asap di balik tembok pembatas komplek samping rumah saya. Tiga hari tiga malam tidak hilang, mengasapi rumah saya, tentu saja beserta isinya. Pernah makan ikan asap? Begitulah kira-kira hidup keluarga saya 3 hari berikutnya. Bukan hanya bau, tapi sampai tidak bisa lagi melihat dengan jelas di dalam rumah karena berasap. Dan ini kejadian yang entah sudah keberapa kalinya.

"Saya hanya bakar tumpukan daun, biar tidak ada ular," seloroh bapak pembakar sampah yang ingin menyelamatkan komplek rumahnya dari ular dengan cara mengasapi komplek lain. 

"Daun kan nggak bahaya asapnya," lanjut si pelaku yang matanya sudah tertutup entah apa sehingga berbagai kemasan snack dan botol plastik yang jelas-jelas berserakan dalam kobaran api itu dianggapnya daun.

"Bu, dia kan bakar sampahnya di lahan umum. Terserah dong dia mau berbuat apa. Itu bukan lahan Ibu, Ibu nggak boleh dong larang orang lain," kata tetangga si pembakar sampah yang heran melihat saya teriak-teriak sambil keluar masuk kompleknya gotong-gotong air.

"Oh iya betul, Pak. Kalau gitu saya taruh bom di depan pintu komplek ini ya Pak, kan jalan umum".

Saya lepas kendali.

Sungguh saya merasa bukan menjadi diri saya hari itu. Si pelaku ini tipikal bapak-bapak yang meremehkan perempuan. Memandang sebelah mata dan mencemooh setiap perkataan saya dengan kata-kata balasan yang tidak ada isinya. Mungkin dia pikir perempuan tidak ada yang sekolah sehingga tidak bisa membedakan kemasan plastik dengan daun. Apalagi perempuan bisa ngoceh ceramah peraturan terkait sampah, sepertinya jauh di luar jangkauan akalnya. Menyulut saya menjadi Mamahzilla. Mamah godzilla yang ngamuk karena kepencet tombolnya. 


Hampir enam bulan terakhir ini, tidak pernah ada lagi yang membakar sampah di samping rumah saya. Belakangan baru saya tahu, kejadian itu tenar seantero komplek, membuat si pelaku malu karena ditegur oleh tetangga-tetangganya.

Melestarikan Lingkungan ala Advisor

Tugas sekolah anak yang paling sulit untuk saya adalah menjelaskan profesi orang tua.

 "Bubu kerjanya apa sih, telepon-telepon orang aja," kata anak saya selalu.

"Advisor," jawab saya

"Iya, kerjanya apa?"

"Memberikan advis, nasehatin orang".

*percakapan berakhir dengan ekspresi heran anak saya. Ibunya dibayar karena suka bawel nasehatin orang lain*



Tidak seperti financial advisor yang rata-rata sukses mengelola keuangannya sendiri sehingga bisa langsung memberikan case investasi pribadi, saya harus memberikan nasehat di bidang lingkungan. Sesuatu yang membuat saya berkeringat dingin karena diri sendiri juga belum bisa berkontribusi untuk lingkungan. Setelah sebelumnya tentang perubahan iklim, tiga tahun terakhir ini saya  menguleni pengelolaan sampah. Selama tiga tahun ini juga saya mules setiap kali menyerukan kesadaran mengurangi, memanfaatkan kembali, memilah, dan mendaur ulang sampah. Mengajari keluarga saya memilah sampah saja sampai tensi naik, belum berhasil sampai sekarang.




Memang mengurus sampah ini gampang-gampang susah. Kata ahlinya, untuk membereskan sampah itu ada dua pilihan. Mau keluar tenaga, atau mau keluar uang?

Idealnya, kedua pilihan ini berjalan berdampingan. Saya lebih tertarik dengan opsi kedua tentu saja. Tadinya, dugaan saya, lebih mudah mencari uang untuk mengelola sampah daripada mengumpulkan tenaga masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri. 

Berangkatlah saya dengan semangat menggebu, meluncurkan berbagai nasehat untuk memperbaiki sistem retribusi sampah dan memfasilitasi kerjasama dengan pihak swasta untuk pengelolaan sampah. Namun, ternyata berbicara uang tidak semudah itu, alehandro.

"Wah, saya nggak kuat mbak kalau bayar sampah sebulan 15 ribu," kata seorang Bapak yang menjadi salah satu narasumber untuk survei kemauan dan kemampuan bayar masyarakat.

"Berat ya Pak?"

"Iya mba. Kami biasanya buang saja langsung ke sungai," imbuhnya sambil menyesap rokok dengan kotak berlogo A besar. 

"Rokok, mbak," lanjutnya sambil bercanda menawarkan rokok ke saya.

"Wah sudah habis sekotak tadi pagi Pak, sekarang puasa dulu deh," jawab saya sambil cengengesan.

"Sekotak habis berapa hari Pak biasanya?"

"2 hari. Kadang sehari mbak kalau lagi pusing. Tergantung situasi aja".

"Oh," saya mencari harga rokok dan berusaha keras tidak ngomel.

***
Di lain harinya, saya terlibat perbincangan santai sambil makan siang nasi kotak.

"Udah site mana saja mas yang jalan tahun ini?," tanya saya kepada seseorang dari perusahaan yang memanfaatkan sampah sebagai bahan bakar alternatif. 

"Wah, macet mba. Kayanya kalau kita datang ke kota itu dilihat seperti celengan uang berjalan. Krincing-krincing gitu, dibuka keluar uang," jawab beliau miris.

Padahal, setiap daerah wajib mengelola sampah warganya. Sebaliknya, perusahaan bisa berhemat dari harga batubara yang tinggi. Tapi kok gitu ya jadinya.

Mencoba Berkontribusi ala Mamah Gajah
Heran rasanya, kenapa kok banyak sekali orang yang tidak peduli pada bumi. Seperti tidak berfikir jauh ke depan. Ini baru masalah sampah, belum lagi yang lainnya. Kalau bumi rusak, kita mau tinggal dimana coba #di bulan kata orang NASA. Hekekeke

Berbicara kerusakan bumi tidak ada habisnya, tapi bisa kita tarik benang merahnya. Rata-rata yang tidak peduli itu tidak punya kesadaran menjaga bumi. Kenapa tidak sadar? Karena tidak mengingat bagaimana bahagianya punya bumi yang indah.

Tiba-tiba ingat, mengajarkan agama pada anak yang diawali dengan kecintaan pada hasil ciptaan Tuhan. Atau, mengajarkan puasa sedari dini dimulai dari mengenalkan suasana bahagia waktu berbuka puasa, dan bukannya diawali dengan beratnya menahan kantuk saat sahur. 

Di penghujung libur lebaran tahun ini, saya dan keluarga impulsif camping ala-ala. Sebetulnya impian akhir sih camping betulan di alam. Tapi kalau langsung camping betulan, khawatir terlalu banyak shock dan akhirnya malah jadi frustasi. Untungnya sekarang ini banyak sekali glamping. Camping tapi glamor. Yang ini rata-rata pakai tenda betulan. Meskipun ada lampu, kasur, dan seperti penginapan saja rasanya, saya tetap belum berani. 

Scroll-scroll, ternyata ada yang levelnya di atas glamping, tapi di bawah penginapan. Yes, menginap di bangunan solid, tapi di hutan. Perpaduan high tech dan natural. Cocok untuk kami yang super amatir latihan sebelum langsung nyemplung ke alam yang sesungguhnya.

Cabin kayu di tengah hutan pinus

Mendekat kepada alam, tapi dengan mengeliminasi segala yang mungkin menakutkan dari alam. Binatang buas, ular, kegelapan, basah kehujanan, dan kelaparan karena harus masak dulu untuk makan tidak perlu dijumpai disini. Tersisa pohon-pohon pinus rindang, udara dingin sejuk, air jernih, kicau burung, dan pergantian warna langit yang memukau. Deforestrasi, menurut saya minim, karena letaknya di hutan milik Perhutani, tampaknya hutan produksi.

Menambah keceriaan anak-anak, kita juga bisa pesan grill barbeque dan api unggun. Selain itu, tentu saja smart cabin dengan fitur jendela dan lampu kamar yang bisa diatur fiturnya hanya dengan menyentuh panel layar sentuh. 

Lampu yang bisa diatur warna dan tingkat terangnya sesuai mood; Pemandangan hutan pinus dari samping tempat tidur. Jendela bisa diatur blur atau transparan. Untung panel sentuh dibuat tahan banting, karena menarik sekali untuk anak-anak cetak cetek bolak balik ganti warna lampu dan buka tutup jendela😂.


Camping ala-ala ini terbilang sukses. Selanjutnya mungkin bisa coba glamping dengan tenda kain, dan kalau si adek sudah SD harapannya kami siap camping beneran



Penutup

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan April 2024 dengan tema Bumi menginspirasi saya untuk menuliskan cerita sekaligus merenung. Mungkin begitu juga ya harusnya mengajak orang-orang agar peduli pada lingkungan. Pendidikan sedari dini memang betul penting adanya. Bukan untuk mengancam atau menakut-nakuti, tapi untuk menumbuhkan kecintaan. 

Ketika kecil, saya selalu gembira setiap Bulan Ramadhan tiba. Alasannya sederhana, saya bisa bawa pulang banyak sekali cemilan, snack takjil ikut pesantren ramadhan atau tadarus di masjid. Ketika dewasa, meskipun tentunya takjil harus beli sendiri 😁, tetap untuk saya rasanya Bulan Ramadhan itu menyenangkan sekali.

Mungkin, kalau semua orang punya kenangan yang indah tentang Bumi, tidak akan ada lagi yang tidak peduli padanya, karena tau betapa berharganya bumi kita.



2/20/2024

Pembela Kebenaran

Sepertinya saya bisa bertahan di tempat kerja sekarang karena rekan kerja yang mirip-mirip kakak saya. Bukan hanya karena faktor usia yang mayoritas lebih tua, tetapi juga karena merekalah hidup saya tidak hanya dua bagian: memikirkan kantor atau memikirkan rumah. Seperti kakak yang menyadarkan saya bahwa di dunia ini ada jam tangan fossil yang agak pantas buat ke kantor selain jam tangan casio karet yang saya pakai pergi kuliah, mereka berhasil menggiring saya ke bioskop nonton Eras Tour sekitar 2 bulan yang lalu. Diluar dugaan, teriak-teriak nyanyi bagaikan nonton konser sungguhan bisa memberi inspirasi kehidupan. 
Mbak Taylor
(Sumber: Hardrock FM)

Melihat Taylor Swift di konser itu rasanya bukan lagi melihat mbak-mbak cengeng yang mewek patah hati. Narasi cerdas dan bagaimana dia menyiapkan rekaman HD selama konser untuk difilmkan menunjukkan kualitas diatas rata-rata. Wanita berkarakter yang profesional, pekerja keras, dan berkelas. Tiba-tiba ingin meniru mbak Taylor untuk menjadi berkualitas dan tidak ecek-ecek.

Mungkin inilah yang membuat saya bertahan di tempat kerja sekarang. Melihat gaji sih manusia tidak pernah ada puasnya ya. Tetapi teman penuh inspirasi, ini yang tak ternilai harganya. Woman support woman, begitu selalu kata teman saya yang aktivis perempuan. Memang, 6 orang perempuan di tim saya ini lebih mendominasi dibanding 4 orang laki-laki yang ada, termasuk bos saya. Suara lebih kencang, dan mungkin terdorong semangat perjuangan. Meski lebih sering bingung sendiri, apa sebenarnya yang diperjuangkan😂.

Berbekal keyakinan bahwa teman-teman saya ini selalu inspiring, saya mengangguk ketika minggu lalu mereka menyeret saya ke bioskop lagi. Tidak tanggung-tanggung, bukan selepas magrib seperti hangout sebelumnya, tetapi ini selepas makan siang. Izin ke bos dengan sopan dan malah didukung sepenuhnya karena beliau prihatin anak buahnya terlalu giat bekerja. Hidup memang sebaiknya seimbang. Setelah hura-hura sebaiknya tetap tidak lupa dengan nestapa. Setelah Eras Tour, kali ini saya diajak nonton Eksil.

Eksil
(sumber: Lembaga Sensor Film Republik Indonesia)

Sejak awal, film dengan durasi 2 jam ini sudah membuat saya heran. Bila film lainnya hanya menampilkan nama pemeran, disini ada juga Researcher. Saya yang jarang nonton film dokumenter karena takut melihat kenyataan, langsung berfikir betapa seriusnya pembuatan film ini. Lola Amaria, salah satu researcher-nya, tenar melalui sejumlah film kritik sosial -yang rawan dibredel pemerintah-. Cabaukan adalah salah satunya.

Tentu saja takjub bukan hanya di awal film. Saya sampai tercengang begitu keluar dari bioskop. Untungnya, setelah tercengang, terbitlah ide untuk mengisi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog tentang Harapan untuk Para Pemimpin😆.


Bukan Cerita Baru

Eksil menceritakan bagaimana sekelompok orang, dalam jumlah besar diberangkatkan untuk sekolah ke luar negeri, lebih tepatnya ke negara-negara beraliran komunis. Sudah bisa diduga, berbicara komunis tentunya akan mengarah ke peristiwa di tahun 65. Film ini menghadirkan sekitar 10 orang narasumber (yang saya ingat) yang merupakan "eksil" di sejumlah negara. 1 narasumber meninggal dunia seminggu sebelum jadwal shooting, 3 narasumber ikut shooting tetapi sudah meninggal saat film ini ditayangkan, dan sisanya syukurnya masih ada. Maklum, pembuatan film ini dimulai sejak tahun 2015, dan saya yakin penelitian untuk menemukan akar masalah dan narasumber yang tepat sudah dimulai jauh sebelumnya. Sudut pandang film ini tentu saja mengkritisi pemerintah. Mungkin secara tidak langsung ditujukan untuk mengkritisi pemerintah saat ini, tetapi melalui cerita kelam pemerintahan yang berkuasa di tahun 65. 

Potongan tutur kisah dari para narasumber, cuplikan foto dan video serta ilustrasi film ini sukses membuat saya mewek. Dipikir-pikir, para Eksil ini orang-orang pintar yang tentunya pilihan. Untuk bisa sekolah di luar negeri dengan pembiayaan negara atau partai tentunya bukan sembarang orang akan lolos seleksinya. Tak heran, meskipun rata-rata sudah sangat sepuh, ingatan mereka masih tajam. Tutur kata masih lugas, dan sebagian besar diantaranya masih aktif menjadi peneliti atau ahli di bidang tertentu. 

Entah apa yang dipikirkan oleh Indonesia, emas berharga dibuang begitu saja, gemas rasanya. Negara yang mereka datangi untuk "bersembunyi" berlomba-lomba menawarkan kewarganegaraan. Sebagian besar diantaranya hidup puluhan tahun tanpa kewarganegaraan demi penantian kembali ke kampung halaman. Yang paling ironi, hampir semua narasumber akhirnya menerima tawaran kewarganegaraan, setelah puluhan tahun terkatung-katung, hanya demi punya paspor dan bisa melakukan perjalanan berkunjung ke Indonesia. 

Hasil Didikan Pemerintah

Saya yang jarang baca dan selalu ketiduran kalau dengar cerita sejarah sudah lama berdebat dengan suami tentang apa itu komunis. Suami saya yang memang hobi baca dan suka sejarah merasa tidak nyambung ngomong dengan saya yang menganggap komunis itu tidak beragama. 

Selain sulit memahami penjelasan suami, sebetulnya saya punya pertanyaan yang tidak terjawab ketika bapak saya berulang kali menceritakan betapa mencekamnya suasana kala itu. Bapak saya kelahiran 58, jadi saat kejadian di tahun 65, beliau cukup bisa memahami bahwa eyang kakung saya-dan keluarganya- ada dalam posisi yang terancam. Bekerja sebagai aparat pemerintahan, eyang saya yang katanya lurus sekali ini diburu karena dianggap antek komunis. Saya pribadi tidak pernah bertemu eyang kakung. Melihat eyang putri saya yang terang terangan beragama islam, saya jadi bingung. Loh, jadi komunis atau bukan sih? 

Belakangan di usia senja eyang putri saya belajar sholat. Lalu munculah kesimpulan baru di kepala saya: Oh ya mungkin dianggap komunis karena kejawen. Jadi komunis adalah kejawen #tentu saja makin ngawur.

Saya tahu ada sesuatu di tahun 1965, meskipun tidak paham betul apa detailnya. Sepanjang saya duduk di sekolah dasar, rasanya mencekam sekali mendekati tanggal 30 September. Bukan, bukan karena takut anggota keluarga saya akan diculik, tetapi setiap tanggal ini saya harus merem melek tutup mata menghindari nonton film G30SPKI yang entah kenapa diputar dimana-mana. Dalam kepala saya, gerakan komunis ini adalah soal menghabisi nyawa dan berbuat keji, pokoknya ngeri sekali.

Jungkir Balik Fakta

Ingin menangis rasanya setelah keluar dari bioskop nonton Eksil. Bukan hanya sedih membayangkan sulitnya kehidupan para narasumber tetapi yang paling sedih adalah saya merasa dibohongi. 

Entah siapa yang membohongi atau saya aja yang kepolosan. Setelah nonton Eksil, saya baru paham bahwa komunis adalah ideologi politik #kemana aja Rin? 

Partainya adalah partai politik biasa, seperti pemilik bendera beraneka warna yang bebas bersuara saat ini. Partai komunis yang jadi sorotan film ini adalah wadah bagi masyarakat kelas rakyat. Palu dan arit menjadi simbol karena rakyat yang bertumpu pada sektor pertanian. Partai dengan jumlah anggota bombastis yang mungkin sebagian diantara anggotanya ya sholat 5 waktu juga atau pergi ke gereja. Yang tidak beragama atau tidak punya kepercayaan mungkin ada saja, tapi bukan karena arahan partai. Haduh, betapa bodohnya saya.

Menceritakan Kebenaran

Ultraman dan Godzilla
(sumber: Channel Youtube Kutufilm)

Karena sedang sebal menjadi korban jungkir balik fakta di buku sejarah, mungkin harapan tertinggi saya untuk pemimpin yang akan berkuasa adalah jadilah pembela kebenaran. Tidak, saya tidak bermimpi punya presiden seperti ultraman daiya atau satria baja hitam yang membela kebenaran dan kebajikan lalu pergi bertarung melawan godzilla. Cukup dengan tidak takut berbicara yang benar, bisa membela diri-dan negara- bila memang benar, dan mengaku lalu minta maaf bila salah. Tentunya setelah itu memperbaiki kesalahan dong ya.

Menegakkan hak asasi manusia dan lebih tinggi lagi berbicara kesetaraan gender seperti yang dielu elukan teman kantor saya sepertinya sulit dipenuhi bila yang dibicarakan selama ini jauh dari kebenaran. Lebih parahnya lagi bila takut dengan kebenaran, atau pura-pura tidak tau yang mana yang benar. Bisa juga kondisinya sama seperti saya, tidak takut dan tidak pura-pura, tapi bingung aja gitu

Ya kalau bingungan mah jangan jadi pemimpin atuh, Pak!

Penutup

Begitulah mamah-mamah. Sekali sekali bolehlah nonton bioskop, ternyata bisa jadi inspirasi untuk tantangan blogging 1 bulan untuk menggapai ambisi ikut posting tantangan MGN tanpa bolong 2024.hehehe.